Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nelayan Gelar Aksi Segel Proyek Reklamasi

Melihat Pulau G Teluk Jakarta

Senin, 18 April 2016, 09:17 WIB
Nelayan Gelar Aksi Segel Proyek Reklamasi
foto:net
rmol news logo Puluhan nelayan Muara Angke mendatangi Pulau G, dan melakukan aksi teatrikal penyegelan tempat tersebut, kemarin. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap reklamasi Teluk Jakarta.

Pukul 08.00 WIB, puluhankapal tongkang bergerak menujuke Pulau G Teluk Jakarta, Penjaringan Jakarta Utara. Bendera merah putih dan beberapa ben­dera organisasi massa (ormas) tampak berkibar di atas perahu-perahu tersebut.

Pada bagian samping keban­yakan kapal tadi terbentang aneka spanduk, yang pada inti­nya beriisi pernyataan penolakan terhadap reklamasi di Teluk Jakarta. Spanduk tersebutlah yang mereka gunakan pada aksi ujuk rasa di Pulau G.

Tak lama mereka pun sam­pai di Pulau G. Para nelayan kemudian mengatur kapalnya untuk bersandar di pinggir pulau. Puluhan perahu tersebut diatur membentuk barisan memanjang ke samping, hingga mendekati dermaga Pulau G. Massa pun turun dari kapal dan naik ke pulau. Mereka bertahan semen­tara di pinggir pulau, sambil menunggu para koordinator aksi yang menyusul bersama para awak media.

Kondisi pulau G sendiri masih berupa hamparan pasir. Pada beberapa bagian di pulau ter­lihat masih terisi oleh air laut. Sejumlah alat berat pun terlihat disiapkan di sisi kiri pulau untuk mengangkut pasir. Karena belum apa-apa, dari pulau tersebut ter­lihat beberapa apartemen tinggi menjulang yang ada di kawasan Pluit, di antaranya apartemen Pluit City dan apartemen Pluit Green Bay.

Pengerjaan pulau G ini di­pegang oleh PT Muara Wisesa Samudra (MWS), yang meru­pakan anak perusahaan dari PT Agung Podomoro Land (APL). Pulau G saat ini masih dalam proses pengerasan pasir agar nantinya dapat dijadikan sebagai lahan bangunan. Untuk menca­pai Pulau G bisa menggunakan kapal dari Pelabuhan Muara Angke selama 20-30 menit.

Ketika para koordinator dan awak media sampai, puluhan petugas keamanan di pulau itu telah menunggu. Para petugas tersebut menyambut di ping­gir dermaga Pulau G. Seluruh petugas keamanan berseragam itu menggunakan life jacket dengan warna dominan oranye, dan topi.

Setelah berkumpul semua di dermaga, massa lalu bergerak agak ke dalam pulau. Petugas keamanan mengizinkan massa berunjuk rasa beberapa meter dari dermaga. Sesampainya di lokasi, massa langsung berbaris memanjang dan membentuk setengah lingkaran.

Spanduk penolakan terhadap reklamasi dibentangkan di bari­san terdepan. Salah satu spanduk tersebut bertuliskan "Nelayan Marah...Lumbung Ikan Hilang Ditelan Reklamasi".

Seorang nelayan tiba-tiba pin­dah ke bagian depan kerumunan. Di lehernya, dia mengalungkan sebuah replika gembok yang terbuat dari kertas karton. Pada replika gembok berwarna dasar merah tua itu terdapat tulisan,

"Disegel Nelayan" warga hi­tam. Aksi teatrikal tersebut adalah simbolis penyegelan pulau reklamasi.

"Dengan ini kami menyatakan Pulau G disegel oleh nelayan dan rakyat. Mulai hari ini tidak ada lagi pekerjaan reklamasi! Kami dari Kerukunan Masyarakat Muara Angke berharap Jokowi mendengar dan melihat ini," teriak Haji Suari, seorang tokoh dari Forum Nelayan Tradisional Muara Angke, ketika mengawali orasinya.

Suari menyatakan, para ne­layan tidak pernah ada yang memberikan dukungan terh­adap reklamasi. Para nelayan yang dihadirkan dalam sidang PTUN dan mendukung rekla­masi, kata dia, bukanlah nelayan asli. Mereka hanya nelayan pendatang yang tidak meng­gantungkan kehidupannya di sini. Sebab, menurutnya, mereka hanya ada di Muara Angke saat tertentu saja.

"Soalnya nelayan yang asli sini butuh laut, bukan reklamasi. Karena sumber penghidupannya dari sana," tandasnya.

Dia pun mempertanyakan kepentingan dilakukannya re­klamasi. Sebab, dia menilai, reklamasi tidak ada manfaatnya bagi rakyat kecil dan juga bagi para nelayan. Pasalnya, selama ini tidak ada keuntungan yang diberikan kepada mereka. Dia pun curiga kegiatan reklamasi ini hanya untuk menguntungkan pengembang.

"Kalau buat rakyat, rakyat yang mana? Kami diberi fasilitas aja enggak. Giliran banyak ikan mati, nelayan yang disalahin. Padahal ikan mati karena limbah dari darat dan lumpur yang di­hasilkan ketika mengeruk untuk membuat pulau," sesalnya.

Diding Setyawan, seorang nelayan Muara Angke membe­narkan pernyataan tersebut. Dia mengatakan, sebelum adanya re­klamasi, Teluk Jakarta itu ibarat akuarium raksasa. Berbagai jenis ikan hidup dan terperangkap di tempat tersebut. Akuarium raksasa itu pun tercemar karena lumpur di dasar laut naik keper­mukaan. Akibatnya, banyak ikan yang terperangkap dan mati.

"Kalau mau bukti, ayo Ahok ikut ke laut sama saya. Biar jangan cuma ngomong teori di media. Tenang saja, makan dan minum selama di laut, saya yang tanggung," tantangnya.

Menurut bapak empat anak ini, proyek reklamasi sangat merugi­kan nelayan. Sejak awal penger­jaan pulau buatan, nelayan tidak bisa lagi mencari ikan. Kawasan tempat mencari ikan dan udang sekarang sudah ditutup, karena berlangsung pengerjaan proyek. Mereka juga tidak bisa mendekat di sekitarnya.

"Begitu mendekat langsung diusir sama petugas. Padahal kapal kami banyak yang enggak bisa kalau harus nyari ikan di tengah," terangnya.

Lelaki yang sudah menjadi nelayan sejak tahun 1974 itu membandingkan pendapatannya per hari dari melaut. Sebelum dilakukannya reklamasi, Diding bisa memperoleh pendapatan Rp 3 juta-Rp 4 juta setiap harinya. Pendapatan kotor itu diperoleh­nya dari melaut sejak jam 4 sore, hingga jam 9-10 malam. Sementara sekarang, dengan modal hingga Rp 500 ribu untuk logistik dan bahan bakar, dirinya kerap tidak mendapat ikan.

"Saya dan banyak nelayan angke lainnya sudah seminggu ini enggak melaut. Soalnya percuma enggak dapat ikan dan uang yang bisa dibawa pulang. Yang ada semakin rugi karena modal enggak balik," kata dia.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Diding dan para nelayan lainnya pun banyak yang bekerja sampingan sebagai pedagang, kuli bagunan, dan buruh pelabu­han. Para nelayan bahkan ban­yak yang mempertimbangkan beralih pekerjaan, dan tidak lagi jadi nelayan. Sebab, kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi.

"Saya juga mikir mau lebih fokus dagang aja. Nelayan yang jadi sampingannya. Sesekali tetap melaut karena punya kapal," ucap pria berusia 50 tahun ini.

Diding pun curiga, Pemprov DKI mengorbankan nelayan demi kepentingan pengembang.Pasalnya, menurut dia, para nelayan disingkirkan secara sistematis. Dimulai dengan menyingkirkan nelayan yang berada di wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK) yang nelayannya sedikit, berlanjut Kamal Muara dan Marunda yang nelayannya agak banyak. Terakhir, Muara Angke yang nelayannya banyak. Supaya kalau pun ada perlawa­nan, mudah untuk ditangani.

"Apalagi Luar Batang juga digusur. Berkurang lagi jumlah nelayan yang bakal ngelawan," jelas anggota Forum Nelayan Tradisional Angke ini.

Diding pun berharap Presiden Jokowi turun tangan mengh­entikan proyek reklamasi ini. Sebab, nelayan menjadi se­makin sengsara dengan adanya proyek tersebut. Nelayan, kata dia, hanya butuh agar sumber mata pencahariannya tidak di­ganggu.

"Kami mohon, Presiden dan Wakil Presiden turun tangan segera. Kami enggak minta duit, kami hanya minta agar proyek ini dihentikan. Hanya Pak Jokowi yang bisa selesai­kan," tandasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA