Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

1 Ruang RSUD Pasar Rebo Isinya Pasien DBD Semua

Wabah Demam Berdarah Belum Tuntas

Jumat, 08 April 2016, 09:31 WIB
1 Ruang RSUD Pasar Rebo Isinya Pasien DBD Semua
foto:net
rmol news logo Wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) belum reda. Di Jakarta, pasien DBDantara lain ditangani di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di rumah sakit ini saja, pasien DBD 39 orang.

Hari menjelang sore. Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Beberapa pasien yang menderita DBD berbaring di ranjang ruang Flamboyan RSUD Pasar Rebo, kemarin.

Sejumlah anggota keluarga menemani pasien selama dira­wat. "Banyak pasien DBD sudah tiga hari dirawat di sini," kata Sukartiono Pri Prabowo, Kepala Satuan Pelaksana Marketing, RSUD Pasar Rebo.

Memasuki akhir musim hujan, jumlah pasien demam berdarah masih banyak. Mereka dirawat tersendiri di ruang Flamboyan. Ruangan yang berada di Lantai 4 ini cukup luas dan nyaman karena dilengkapi pendingin ruangan.

Tercatat ada lima ruang den­gan ukuran lebih kecil yang masing-masing terdapat 5 bed dan kursi kecil untuk tempat menunggu keluarga. "Ada juga pasien DBD yang dirawat di ruang lain. Tapi mereka kelas 1 dan 2," ujar Sukartiono.

Namun, petugas tidak mem­perbolehkan media masuk ke da­lam kamar karena takut keluargapasien terganggu. "Kalau sudah ada izin dari petugas sama ke­luarga pasien baru diperbole­hkan masuk ke kamar," kata Sukartiono.

Seluruh ruang yang berada di Flamboyan sudah penuh semua dengan pasien DBD. "Kalau ada pasien datang, mungkin akan dirawat di ruang lain karena sudah penuh," terangnya.

Pria setengah baya ini menye­but, jumlah pasien DBD yang saat ini dirawat berjumlah 39 orang. Terdiri dari 20 orang de­wasa dan sisanya anak-anak.

"Jumlahnya sedikit menurun dibanding Jumat lalu sebanyak 51 orang," sebut dia.

Mereka sudah banyak yang pulang karena sudah dinyatakan sembuh. "Ada yang dirawat tiga hari, ada yang sampai seminggu. Semua tergantung daya tahan tubuh pasien," ucapnya.

Demi mempercepat proses penyembuhan pasien, pihak ru­mah sakit, kata Sukartiono, telah menyiapkan infus dan juga ma­kanan yang bergizi. "Yang pentingbagaimana trombosit pasien segera normal," sebut dia.

Pria yang mengenakan ke­meja putih ini menambahkan, pasien DBD yang dirawat di RSUD Pasar Rebo paling banyak dibanding rumah sakit milik pemerintah lainnya.

"Paling tidak setiap hari ada dua sampai tiga pasien DBD yang datang dan dirawat di sini," ungkapnya.

Mereka, kata Sukartiono berasal dari seluruh wilayah di Jakarta Timur. "Tapi ada juga penduduk dari wilayah lain karena memang di sana rumah sakitnya tidak sanggup menangani atau ruang perawatan penuh," tuturnya.

Dia memastikan, seluruh pasien DBD yang dirawat di rumah sakit milik pemerintah ini tetap akan mendapat kamar. "Kami total menyediakan 360 bed. 60 persennya kelas 3," sebut dia.

Seluruh pasien DBD yang dirawat di RSUD Pasar Rebo, kata dia, membayar sesuai denganketentuan yang berlaku di perusahaan ini. "Tapi yang memegang BPJS gratis untuk semua kelas, baik 1,2 dan 3," ucapnya.

Sukartiono menyebutkan, biaya rawat inap di RSUD Pasar Rebo bervariasi, tergantung kelas. Kelas 3 sebesar Rp 50 ribu/hari, kelas 2 Rp 260 ribu/hari, kelas 1 Rp 375 ribu/hari, kelas VIP Rp 575 ribu/hari. "Harga itu belum termasuk obat dan tindakan dokter," sebutnya.

Kendati sudah banyak pasien DBD yang dirawat di rumah sakit, Sukartiono mengatakan, pemerintah belum menetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). "Kalau sudah ditetapkan sebagai KLB biasanya semua biaya perawatan ditanggung pemerintah," tandasnya.

Agar tidak terserang DBD, ia meminta kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggalnya dan memperhatikan makan dan minum agar selalu higienis. "Semoga dengan cara hidup se­hat bisa terhindar dari penyakit DBD," tutupnya.

Peningkatan jumlah pasien DBD juga terlihat di RSUD Cengkareng, Jakarta Barat. Berdasarkan data di RSUD tersebut hingga awal April, pasien DBD yang dirawat di rumah sakit milik pemerintah ini mencapai 70 pasien.

Mereka terdiri dari, perem­puan dewasa sebanyak 24 orang, pria dewasa 19 orang, anak laki-laki 14 orang, dan anak perem­puan 13 orang. Mereka rata-rata berdomisili di Kecamatan Cengkareng.

Sedangkan sepanjang Maret 2016, rumah sakit tersebut men­erima 373 pasien DBD, mening­kat 61 persen dari Februari 2016 sebanyak 230 pasien. Sementara itu, Januari 2016 rumah sakit ini hanya menangani 85 pasien DBD. Sejak Januari hingga Maret, ada tiga pasien DBD yang meninggal dunia Di RSUD Cengkareng.

Sementara, di Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara, terdapat 28 pasien DBD dewasa dirawat. Selain itu, ada 15 pasien DBD anak.

Menurut staf Humas RSUD Cengkareng Muhammad, pen­gasapan tidak berpengaruh sig­nifikan pada berkurangnya jum­lah nyamuk DBD.

"Perlu ada upaya pencegahan dari masyarakat berupa menutup semua tempat penampungan air agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk," ujar Muhammad.

Sebab, kata Muhammad, bila pengasapan yang terlalu sering justru akan membuat nyamuk kebal.

Sementara, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto belum bisa berkomentar banyak atas banyaknya wajahpe­nyakit DBD di Jakarta. "Sedang rapat di luar kota," katanya, kemarin.

Latar Belakang
Sampai 30 Maret, Pasien DBD Di Jakarta Saja 2600 Orang

Memasuki musim pancaroba atau pergantian musim hujan ke musim kemarau yang ter­jadi April ini, sering ditandai dengan munculnya penyakit. Salah satunya demam berdarah dengue (DBD).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, sampai dengan 30 Maret 2016, jumlah pasien DBD dari lima wilayah DKI Jakarta tercatat lebih dari 2.600 orang, sedangkan akhir Februari 2016 sebanyak 2.219 orang. Sedangkan sepanjang 2015, total ada 5.028 pasien.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto men­gatakan, data tersebut tersebar di lima wilayah DKI Jakarta, minus Kepulauan Seribu. "Kelapa Gading Timur mencapai 65 ka­sus disusul Setiabudi, Jaksel 62 kasus. Rata-rata daerah elite," ujar Koesmedi belum lama ini.

Koesmedi menilai, jika dilihat dari luas wilayah DKI Jakarta, petugas juru pemantau jentik (Jumatik) yang ada tidak cu­kup, sehingga dia mengimbau warga secara mandiri melakukan pemantauan jentik nyamuk di rumahnya. "Lebih bagus kalau satu rumah satu jumantik, dan itu secara pribadi dapat diterap­kan di rumah masing-masing," tandasnya.

Dia berharap, dengan dita­mbahnya jadwal pemantauan jentik nyamuk dari satu minggu satu kali menjadi satu minggu dua kali pada Rabu dan Jumat, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) lebih maksimal.

Sementara, pakar bidang in­feksi dan penyakit tropis, Sri Rezeki Hadinegoro mengata­kan, sering kali penderita DBD baru dibawa ke rumah sakit setelah kondisinya cukup parah. Penyebabnya, kata dia, banyak masyarakat yang belum mampu membedakan antara demam biasa dengan DBD.

"Pada dengue demamnya mendadak. Misalnya pagi masih sekolah, malamnya dengue. Itu bedanya dengue dengan penyakit lain," jelas Sri belum lama ini.

Demam yang mendadak terse­but, kata dia, tak jarang men­capai suhu yang cukup tinggi hingga lebih dari 38 derajat celcius. Perbedaan lainnya adalahmunculnya gejala-gejala seperti sakit kepala, nyeri otot dan sen­di, nyeri belakang mata, hingga muncul ruam kulit.

"Kalau demam plus pilek dan batuk, itu sudah pasti bukan dengue. Kalau demam enggak jelas, nyeri sendi, itu dengue," jelasnya.

Gejala lain, lanjut dia, seperti mual, muntah, nyeri perut dan diare juga kerap muncul jika DBD menyerang anak-anak. Ini wajib menjadi perhatian penting jika terjadi pada anak di bawah 5 tahun yang belum bisa mengung­kapkan keluhan, atau apa yang dia rasakan dengan jelas.

Selain itu, frekuensi buang air kecil yang sedikit atau baru pipis lebih dari 4-6 jam, juga patut dicurigai sebagai salah salah satu gejala DBD. "Hati-hati juga jika demam tiba-tiba turun setelah tiga hari. Sebab, kasus DBD, suhu tubuh yang turun merupa­kan fase kritis," tuturnya.

Untuk itu, dia berharap masyarakat jangan sampai terkecoh dengan siklus pelana kuda pada DBD. "Waspadai juga demam berdarah ketika ada orang-orang di lingkungan sekitar rumah telah terkena DBD," pungkasnya.

Kendati sudah ribuan orang terserang penyakit yang diakibatkan oleh nyamuk aedes ae­gypti, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belum menetapkan DBD sebagai kejadian luar biasa, karena kasus tahun ini dinilai berbeda dengan tahun 2015.

Ahok menjelaskan, DBD bisa terjadi di mana pun. Sebagai bentuk pencegahan, bekas bu­pati Belitung Timur ini mengaku sudah menambah frekuensi fog­ging di Jakarta. "Bahkan warga bisa minta fogging dari aplikasi Qlue," kata Ahok.

Qlue adalah aplikasi resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Warga bisa menyampaikan berbagai informasi ke pemerintah melalui aplikasi itu.

Ahok menambahkan, petugas di lapangan secara rutin memeriksa jentik nyamuk dari rumah ke rumah. Karena itu, dia meminta warga tidak keberatan bila kedatangan juru pemantau jentik (Jumantik). "Saya harap­kan warga DKI kalau ada petu­gas datang ketuk pintu, kasih izin," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA