WAWANCARA

Firman Soebagyo: Kalau Kita Mau Membabi-buta Bisa Saja, Ayo Kita Bubarkan KPK, Tapi Kan Tidak

Kamis, 25 Februari 2016, 08:41 WIB
Firman Soebagyo: Kalau Kita Mau Membabi-buta Bisa Saja, Ayo Kita Bubarkan KPK, Tapi Kan Tidak
Firman Soebagyo:net
rmol news logo Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, keputusan Presiden Jokowi menunda rencana revisi Undang-Undang (UU) KPK, bukan berarti membatalkannya. Presiden justru sependapat dengan empat poin yang diusulkan dalam revisi. Hanya saja butuh waktu untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat, khususnya komisioner KPK yang baru.

Terkait, adanya beberapa partai yang memasang standar ganda dalam menyikapi revisi UU anti-rasuah ini, Firman Soebagyo tidak ambil pusing. Menurutnya, itu hal biasa dalam demokrasi. Berikut wawancara selengkapnya;

Sebenarnya apa yang me­latari keputusan pemerintah dan DPR menunda revisi UU KPK?
Jadi gini, kesepakatan antara DPR dan pemerintah dalam hal ini Presiden, pada waktu rapat konsultasi, perlu diadakan penundaan untuk meluruskan kesimpangsiuran opini yang ada di publik terhadap revisi UU KPK. Oleh karena itu Presiden menyampaikan perlu ada waktu untuk sosialisasi dan menugas­kan kepada Menko Polhukam, dalam hal ini untuk mengkoor­dinasikan bagaimana penjelasan kepada publik supaya itu betul-betul dipahami tentang esensi empat pasal itu.

Kenapa dengan empat pasal itu?
Karena empat pasal itu adalah kesepakatan antara pemerintah bersama komisioner KPK yang lalu.

Saat bertemu Presiden, apa saja yang disampaikan?
Kami sudah sampaikan ke­pada Presiden bahwa DPR se­bagai lembaga negara yang juga sudah melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana tercatat dalam undang-undang, oleh karena itu tentunya kami juga menghormati yang meminta ditunda sementara. Dan perlu adanya sosialisasi lebih lanjut. Saya juga menyampaikan bahwa empat hal ini adalah pasal-pasal yang sudah disepakati oleh pe­merintah dan kami juga sudah mengundang berbagai pihak termasuk juga unsur KPK, tapi tidak hadir. Dan kami juga men­gundang para pakar. Oleh karena itu saya sebagai pimpinan badan legislasi berkoordinasi den­gan Menkumham dalam waktu dekat ini, terkait bentuk sosial­isasi seperti apa yang akan kita lakukan supaya tidak ada salah penafsiran terhadap rancangan undang-undang dan kami minta juga jangan sampai terjebak pada opini publik tentang me­lemahkan atau menguatkan. Tapi kita bicara subtansi dengan ber­bagai argumentasi. Bentuknya nanti kita rumuskan seperti apa sehingga dalam waktu dekat itu kita sudah bisa mengagendakan kembali revisi UU KPK tanpa ada perbedaan pandangan dan pendapat, agar kita tidak terjebak lagi antara dikotomi pelemahan dan penguatan (KPK).

Di internal DPR sendiri saja ada fraksi yang memasang standar ganda?
Ya begini, saya rasa kita harus menghormati terhadap masalah perbedaan pandapat, itu merupa­kan ciri khas demokrasi. Namun saya juga mengharapkan, DPRini sebagai lembaga negara, yang mendapatkan amanat konstitusi untuk melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap pelaksa­naan undang-undang. Sehingga ketika teman-teman dan pemer­intah menginisiasi, setelah kita dalami memang ada argumentasi-argumentasi yang bisa diterima oleh kita secara akademis.

Apa perlu ditegaskan kem­bali konsistensi fraksi-fraksi?

Saya ingin mengajak supaya betul-betul jangan sampai ter­jebak pada opini publik yang dibangun sedemikian rupa oleh kelompok tertentu, terhadap masalah dikotomi antara pelema­han dan penguatan tadi.

Sikap Anda terhadap mer­eka yang menolak revisi UU KPK?

Kami setuju bahwa korupsi musuh bersama. Ini titik beratnya di situ. Tetapi lembaga KPK, juga tidak bisa menjadi lembaga superbody dan tidak ada yang mengontrol. Agumentasi yang dibangun para pakar juga begitu. Pengawasan ini kan untuk mem­berikan check and balances. Kami juga tidak setuju penyadapan KPK harus izin dari pengadilan. Itu ng­gak lex-specialis namanya.

Kan ada komite etik di KPK, ngapain bikin dewan penga­was lagi?
Fungsi pengawasan di komi­sioner KPK kan sebetulnya dibuat secara ad hoc. Yang namanya komisi kode etik, tapi komisi kode etik ini kan dibentuk kalau ada masalah dan persoalan di internal KPK.

O...ya, Ketua KPK mengan­cam mundur jika revisi UU KPK dilaksanakan?
Harusnya tidak ada ancam mengancam. Tapi dikomunikasi­kan dengan baik, ketika men­gundang KPK itu kan harusnya hadir dalam forum resmi. Ke de­pan penegak hukum harus punya wibawa, jangan manuver di luar sistem. Mari kita duduk.

Kalau kita mau membabi-buta kan bisa saja, ayo kita bubarkan, kan bisa aja. Tapi nggak kita nggak sampai ke situ. Karena semangatnya kita sama, korupsi itu adalah musuh kita bersama.

Kapan paling lambat revisi UU KPK harus selesai?

Saya tidak bisa mengatakan paling lambat, tetapi setelah mendalami, itu sangat bagus dan memperkuat KPK. Misalnya penyadapan, itu kan menyangkut hak privasi seseorang. Ketika dilakukan, unsur subjektiitas penyadap itu sangat berbahaya. Misalnya ada indikasi pada ses­eorang, lalu menyadap semua persoalannya termasuk yang privasinya. Nah karena itulah, siapa yang behak melakukan fungsi kontrol ini, komisi etik ad hoc ini kia permanenkan. Supaya bisa mengawasi.   ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA