WAWANCARA

Topane Gayus Lumbuun: Ini Kesalahan Organisasi MA Yang Dikelola Tertutup, Harus Direformasi

Rabu, 17 Februari 2016, 09:00 WIB
Topane Gayus Lumbuun: Ini Kesalahan Organisasi MA Yang Dikelola Tertutup, Harus Direformasi
Topane Gayus Lumbuun:net
rmol news logo Penangkapan yang di­lakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Sub Direktorat Pranata Per­data Mahkamah Agung (MA), Andri Setiawan, kembali membuat publik terkejut. Namun, Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun menye­but itu bukan hal baru dalam dunia peradilan di Indonesia.
 
"Tapi itu sangat mengesalkan. Publik merasa kok selalu di lembaga yang
disebut agung ini terjadi hal-hal seperti itu terjadi," ujar Gayus saat berbin­cang dengan Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. Berikut petikan wawacaranya:

Pegawai MA kembali beru­rusan dengan hukum, tang­gapan Anda?
Ini mengejutkan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat atau komunitas hukum. Ini sebenarnya bukan berita yang baru, tapi tetap, ini sangat mengesalkan. Publik merasa kok selalu lembaga yang disebut agung ini terjadi hal-hal seperti ini. Kalau ditanya ke saya sebagai salah satu Hakim Agung, saya akan mengatakan bahwa ini hanya akibat, bukan sebab.

Kenapa akibat?
Teori kausalitas. Teori sebab akibat. Jadi jangan hanya melil­hat, si Amelakukan pelanggaran, si Adihukum, timbul pelangga­ran baru, dan dihukum terus. Itu adalah akibat-akibat yang kita temukan, tapi apa sebabnya? Maka, bagi saya lebih concern bagaimana memperbaiki sebab itu. Sebab ini kalau bagi saya, MA ini suatu lembaga sebagai organisasi.

Ada dua bidang di internal MA. Satu administrasi perkara, satu lagi untuk bagian MA yang melakukan teknis, yakni hakim-hakim dan panitera. Di samping berbagai bilik kerja lainnya, keuangan dan yang lain.

Apa kaitannya dengan ka­sus ini?
Dua ini saling berkaitan. Kami sebagai Hakim Agung memutus perkara setelah dokumen yang ada di pranata tadi masuk dan kita periksa kemudian majelis menjatuhkan sanksi, apakah bebas atau dihukum. Kemudian ini dikembalikan kepada ad­ministrasi perkara dan diproses. Setelah itu, kami tidak tahu me­nahu lagi bakal kemana. Bahkan kami tidak memikirkan eksekus­inya karena ada tugas-tugas lain yang harus ditangani. Tugas-tugas lain itu ada, misalkan ada denda atau uang pengganti, berapa nilainya, seperti itulah tugas kami.

Tapi tersangka dalam kasus ini bukan hakim?

Ya, kejadiannya kan seringkali tidak terjadi pada hakim yang berpotensi menyimpang, yang bisa saja membantu memberikan keringanan, karena berbagai intervensi, seperti uang dan lainnya.

Lalu?
Administrasi peradilan atau yang menangani juga kan bisa melakukan hal-hal seperti itu. Bisa kalau dia memang melihat bahwa bidang teknis perkara itu tidak profesional. Dia baru berani. Kalau kita profesional, saya pikir mereka tidak mung­kin berani berbuat main-main karena kita sudah profesional, jadi tertib.

Maksudnya profesional?
Penataan organisasi. Orang yang tepat di tempat yang te­pat.

Memangnya di MA tidak seperti itu?
Ternyata kebijakan pimpinan MA tidak. Banyak orang-orang yang justru ditempatkan di tem­pat yang salah. Orang yang tepat tapi di tempat yang salah. Kalau sudah begitu, orang perangkat yang membantu kamar itu, akan ketawa-ketawa dan bilang "ini celah". Mereka tidak profe­sional, dan tentunya juga kerja tidak semangat. Ya di MA ini seperti itu. Kamar-kamar yang diisi orang yang tidak tepat. Itu bahkan melawan rekomendasi dari Komisi Yudisial dan DPR. Jadi akibatnya, perkara menum­puk. Banyak yang terjadi, men­gapa perkara lambat ditangani, ya kerena ini.

Apakah hakim agung tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan?
Tidak ada. Padahal sebe­narnya kebijakan itu diambil oleh hakim-hakim yang menjadi inti dari lembaga. Sebagai con­toh, di kampus itu ada tim profe­sor, dan guru-guru besar, itulah yang disebut senat. Kemudian di DPR, seluruh anggota diundang untuk paripurna. Kalau perlu melakukan voting, kalau cukup nggak usah voting. Itu contoh di lembaga lain. Di MA tidak ada. Kalau pun ada, pernah ada namanya pleno kamar hakim agung. Tapi yang terjadi, hasil pleno tidak diwujudkan. Dan hasilnya, hanya 10 orang pimpi­nan yang memutuskan.

Tidak ada diskusi dan bertukar pendapat dengan para hakim agung. Makanya keputusan yang diambil sering blunder dan tidak menyelesaikan masalah. Hakim bukan mesin pemutus perkara. Hakim adalah profesi hukum yang memberi keadilan dan membangun hukum di masyarakat.

Artinya ada yang salah dalam penataan organisasi di MA?
Kalau saya ambil kesimpu­lan ya memang ini kelemahan organisasi MA. Organisasi ini dikelola dengan cara salah. Pengelolaan organisasi di bidang kerja dan sistem itu, nggak tera­tur. Karena dia tertutup. Tidak ada orang yang tahu kecuali dia orang dalam. Kalau ketertutupan untuk kebaikan tidak masalah.

Lantas bagaimana cara memperbaikinya?
Caranya, kita membuat refor­masi, di tingkat pimpinan organ­isasi. Karena ini luas. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA