WAWANCARA

Zulkifli Hasan: Saya Sebenarnya Tidak Setuju Bila Revisi Undang-Undang Teroris Untuk Represif

Rabu, 17 Februari 2016, 09:16 WIB
Zulkifli Hasan: Saya Sebenarnya Tidak Setuju Bila Revisi Undang-Undang Teroris Untuk Represif
Zulkifli Hasan:net
rmol news logo Seperti dikabarkan, pada awal Februari 2016, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhu­kam), Luhut Binsar Pandjaitan sudah menyerahkan draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hingga kini rancangan revisi undang-undang tersebut masih dibahas di Istana.

Padahal Luhut berharap revisi UU Terorisme harus ce­pat selesai. Setidaknya, dalam dua bulan ke depan, revisi UU Terorisme sudah bisa ketok palu di DPR, agar UU Anti Teror yang baru ini bisa segera berlaku.

Beberapa waktu lalu, Rakyat Merdeka menjumpai Ketua MPR Zulkifli Hasan di ruang kerjanya. Ketua Umum PAN itu menyampaikan pandangannya terkait terorisme dan beberapa poin penting yang menjadi pem­bahasan antar-lembaga tinggi negara di Istana belum lama ini. Berikut wawancara selengkapnya;

Sebenarnya perdebatan revisi UU Terorisme sejauh ini seperti apa sih dan bagaimana Anda menyikapinya?
Saya sebenarnya tidak setuju bila revisi Undang-Undang Teroris itu untuk represif.

Jadi baiknya seperti apa?
Tetapi setelah diskusi itu (pertemuan lembaga tinggi negara) yang perlu dipertegas itu adalah pencegahan. Oleh karena itu kita diskusi panjang pencegahan itu diperluas dan belum ada dalam pasal-pasal, kami semua sepaham untuk merevisi, yang pertama pence­gahan diperluas itu.

Pencegahan yang diperluas itu konkretnya seperti apa?
Pertama, orang yang mau perang keluar negeri itu nggak ada pasal yang melarang. Padahal itu nggak boleh, sebagai warga negara harus patuh pada undang-undang negara.

Kenapa nggak boleh perang di negara lain, misalnya untuk membela yang diyakini kebe­narannya?
Masak perang untuk negara lain yang belum jelas. Apalagi untuk ISIS yang jelas-jelas kita mengutuk teror. Atau orang dari sana perang lagi di sini, orang yang latihan teror juga belum ada pasalnya.

Selain itu apa lagi yang menjadi substansi pembahasannya?
Ada lagi permufakatan jahat, kalau kita berunding mau nge­bom itu nggak ada pasalnya. Saya setuju itu direvisi, dan hampir semua sepaham.

Selain soal teroris, apa lagi yang menjadi kesepahaman penting ketika pertemuan lem­baga tinggi negara di Istana?

Hampir semua sepaham, bahwa pentingnya Republik Indonesia yang luar biasa besar ini punya haluan negara.

Apa urgensinya haluan negara ini?
Negara berpenduduk 250 juta, 17 ribu pulau, aneka ragam suku tapi nggak punya haluan negara. Perlu punya haluan negara yang kuat dan mengikat. Kalau sekarang kan Bupati sendiri, Gubernur sendiri. Itu sepakat semua. Itu tentu nanti domainnya partai politik dan fraksi yang ada di MPR.

Oya, soal wacana revisi UU Intelijen apa dibicarakan juga?
Nggak ada. Kemarin nggak ada wacana itu, nggak dibi­carakan.

Bagaimana pendapat Anda soal wacana pemberian ke­wenangan penangkapan pada BIN?
Kita sudah sepakat kalau penegak hukum dalam negeri itu polisi. Kalau keamanan nasional itu TNI.

Oya, PAN kan sudah ber­gabung ke pemerintah, apa masih bisa kritis?
Bergabung tapi tetap kritis.

Kenapa nggak menjadi mi­tra kritis saja sih, biar lebih kuat check and balances-nya?
PAN itu bukan mitra, tapi bergabung dengan pemerin­tah. Bergabung itu tetap kritis, kalau yang jelek tetap kita luruskan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA