Justru yang terjadi adalah kegaduhan. Di antaranya adalah tersangkutnya sejumlah pimpinan KPK dan Komisi Yudisial dalam kasus hukum. Sebagian menudÂingnya sebagai bagian dari upaya kriminalisasi atau serangan balik dari para koruptor. Simak wawanÂcara
Rakyat Merdeka dengan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Polhukam Sidarto Danusubroto berikut ini;
Sepanjang 2015, sejumlah kalangan menilai belum ada progres dalam hal penegakan hukum. Sejumlah kasus korupsi besar masih mangkrak di KPK. Apa Anda melihat ada harapan di pimpinan KPK baru?Ini, KPK kan baru ya. Karena baru, banyak sekali yang dalam tanda petik meragukan mereka. Jadi harus membuktikan pada masyarakat bahwa mereka tidak kalah prestasinya dengan KPK sebelumnya. Bahwa selama ini sudah di-judgement oleh publik bahwa ada pelemahan KPK. Justru ini menjadi tantangan bagi KPK yang baru bahwa mereka tidak kalah dengan KPK yang lama. Kalau tidak, orang akan bilang; oh betul ramalan kita.
Tapi sejumlah pimpinan KPK baru cenderung menÂgutamakan sisi pencegahan. Bagaimana?
Pencegahan itu kan sebenarnya lebih baik dari pada terjadi. Tapi yang terjadi sekarang ini sudah cukup banyak. Yang beÂlum memang harus dicegah, tapi yang sudah terjadi itu memang case-nya itu sudah banyak. Case ini lah yang menjadi tantangan KPK untuk enforce. Bahwa yang belum terjadi itu dicegah saya setuju, tapi yang sudah terjadi juga banyak yang terhutang. Ada juga yang terhutang di Kepolisian dan Kejaksaan Agung juga tidak kecil, mereka juga harus menunÂjukkan gregetnya, bahwa mereka mumpuni menangani pemberÂantasan korupsi. Jangan semua mengharapkan dari KPK.
Bagaimana dengan wacana beberapa pimpinan KPK yang ingin menyetop kasus lama, seperti kasus BLBI dan Century. Anda sependapat? Tergantung dari pada kedaluÂarsa apa tidak. Selama belum ada kedaluarsanya ya tetap harus di-enforce. Tidak ada pilihan lain.
Apa benar masih ada campur tangan politik dalam hal penegakan hukum di era Jokowi?Setahu saya, dalam era Jokowi ini akan minimalis ya. Sekarang begini sajalah, Freeport dan Petral saja begitu gaduh karena nabrak tembok, gimana sih. Freeport dan Petral itu kelas kakap yang nabrak tembok, terbongkar semua kan ini. Ngeri nggak. Campur tangan politik soal Freeport dan Petral kan ini nabrak beton sebenarnya. Petral itu sudah gentayangan puluhan tahun lho itu. Freeport lebih bodo wae, dari tahun 69 itu. Bahwa smelter jadi nggak jadi itu kan karena lobi, yang mestinya sudah dibangun kapan-kapan, divestasi saham yang seharusnya sekian nggak jadi, itukan semua karena lobi. Ukuran Petral dan Freeport yang puluhan tahun bisa menjinakkan, itu bisa nabrak beton sekarang. Ukurannya itu sajalah. kadang-kadang karena lobi-lobi itu jadi buyar toh.
Tapi Kejaksaan Agung dan Kapolri kan di bawah kendali eksekutif?Nelpon Kapolri, nelpon Jaksa Agung, udah lewat masa itulah. Kalau ada biar dibuka sekalian. Seperti Petral dan Freeport ini kan dibuka ke publik. Ini menÂjadi suatu pelajaran yang mahal. Udahlah stop untuk tidak menÂcampuri masalah (hukum) itu.
Tapi kasus Petral dan Freeport yang diumbar ke publik ini menimbulkan kegaduhan politik yang luar biasa?Saya melihat kegaduhan itu sebagai suatu hikmah. Bahwa nabrak beton ini suatu hikmah. Kalau selama ini bisa dilobi ya aman terkendali. Karena ini nabrak tembok makanya ini gadÂuh. Sehingga jangan coba-coba nanti ada satu hal yang harus gaduh lagi, terhadap peristiwa semacam ini. Bukan gaduh yang jelek, tidak ini. Ini gaduh yang bisa diambil hikmahnya.
Bagaimana dengan gaduh antara sesama menteri di kabinet, bahkan antara menÂteri dengan atasannya dalam hal ini Wapres?Nah itu saya minta harapan Pak Presiden supaya itu tidak keluar itu saya harapkanlah ya. Ya kita tidak bisa memaksakan, di Wantimpres ini kan para orang tua-orang tua, hanya bisa mengharapkan. Supaya di internal kabinet bisa gaduh di sana, sehingga kalau ke luar sudah harus dikurangi lah ya. Nggak baik. Tapi kegaduhan semacam Freeport dan Petral ini kita ambil hikmahnya. Kenapa selama ini puluhan tahun nggak gaduh soal itu. Aman terkendali. ***
BERITA TERKAIT: