Di lobi tersebut hanya ada meja resepsionis yang tidak dijaga, dan dua buah sofa keciltemÂpat tamu menunggu. Mushalla yang berada di sisi kiri lobi juga dalam keadaan kosong. Hanya beberapa sajadah dan karpet merah terbentang di lantai ruÂangan seluas 3x3 meter persegi tersebut.
Masuk ke dalam, koridor kanÂtor Yayasan Supersemar juga kosong. Terdapat dua ruangan di sebelah kanan dan kiri koridor. Di dua ruangan awal koridor itu, hanya terlihat tumpukan berkas. Pintu kedua ruangan itu tertutup, dan lampunya dalam kondisi dimatikan.
Agak ke dalam, di sebelah kanan koridor terlihat sebuah lemari. Pada lemari tersebut terdapat beberapa piala yang diperoleh Yayasan Supersemar. Kemudian di seberang rak piala itu, baru tampak 3 orang karyawan Yayasan Supersemar. Para staf bagian umum tersebut masih sibuk bekerja.
Sedangkan para pengurus Yayasan Supersemar mengadakanrapat. Tidak diketahui, apakÂah rapat itu adalah agenda biasa, atau mempersiapkan sidang aanmaning (teguran).
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) berencana mengadakan sidang aanmaning, pada 23 Desember 2015 pukul 09.30 WIB. Sidang aanmaning itu dengan ketetapan Nomor 72/Eks.Pdt/2015 junto Nomor 904/Pdt.G/2007/PN.JKT.SEL terÂtanggal 7 Desember 2015. Pada sidang ini, Yayasan Supersemar selaku pihak kalah dalam perkaÂra yang telah diputus Mahkamah Agung (MA), dipanggil untuk penetapan perintah eksekusi.
Aanmaning sendiri dilakukan dengan melakukan panggilan pada pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan. Apabila pihak yang kalah tidak hadir, maka akan dipanggil lagi. Namun, apabila tidak hadir lagi, maka hak tergugat untuk dipanggil gugur, dan tidak perlu ada proses sidang peringatan.
"Kemudian ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan surat penetapan perintah ekÂsekusi kepada panitera atau juru sita," ujar Kepala Humas PN Jaksel Made Sutrisna di Jakarta, kemarin.
Sutrisna mengatakan, dalam persidangan aanmaning, pihak tergugat akan ditanyakan kesediÂaannya membayar sesuai putusan MA. Made berharap, Yayasan Supersemar akan sukarela memÂbayar tanpa ada upaya paksa.
"Apakah pemenuhan kewaÂjiban amar putusan MA itu diÂlakukan secara sukarela atau diÂlakukan upaya paksa, akan ditenÂtukan dalam sidang aanmaning.Pengadilan melalui panitera bisa melakukan upaya paksa jika tergugat tak mau melaksanakan amar putusan MA," urai dia.
Namun, saat ditanya, apakahahli waris bekas Presiden Soeharto ikut bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi, Made tidak merespon pertanÂyaan tersebut.
Sementara itu, Kuasa Hukum Yayasan Supersemar Denny Kailimang memastikan, pihaknya akan menghadiri sidang tersebut. Selain dirinya, Kuasa Hukum Yayasan Supersemar lainnya, Bambang Hartono juga dipastiÂkan akan hadir.
"Kalau untuk pengurus yayasansaya belum tahu siapa saja yang akan hadir. Belum ada pemberitahuan tentang itu," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurut Denny, dalam sidang nanti, pihaknya akan kembali menerangkan tentang dana yang dipermasalahkan itu. Pihaknya akan menjelaskan, jika dana itu betul-betul dialokasikan untuk beasiswa. "Karena memang keÂnyataannya untuk pendidikan," imbuhnya.
Selain soal pengalokasian dana, kata Denny, pihaknya juga akan mempertanyakan tentang besaran ganti rugi yang ditetapkan. Pasalnya, ketika awalkasus ini bergulir pada 2008, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah melakukan audit terhadap yayasan tersebut. Sehingga, menurutnya, Kejagung sudah tahu, sejak awal Yayasan Supersemar tidak memiliki dana tersebut.
"Setelah Suharto lengser, ketujuh yayasan miliknya sudah dimonitoring Kejagung. Audit jugasudah dilakukan," jelas dia.
Dia menegaskan, ketika itu audit Yayasan Supersemar dipimpin Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Suharjono. Audit yang dilakukan, kata dia, menÂcakup kepada aliran dana dari yayasan kepada beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dipersoalkan kemudian hari. Namun, hal tersebut dianggap tidak melanggar undang undang.
"Lalu setelah reformasi, uangÂnya juga ada yang diserahkan kepada negara. Jadi, seharusnya sudah clear," tegasnya.
Terkait posisi keluarga cenÂdana dalam kasus ini, Denny yakin tidak akan dikenai ganti rugi. Alasannya, mereka tidak bertanggungjawab atas pengeloÂlaan yayasan.
"Lalu sesuai putusan MA, Yayasan Supersemar yang harus melakukan ganti rugi. Jadi walah pun ahli waris nanti dipanggil oleh pengadilan, namun tidak untuk melakukan ganti rugi," tuturnya.
Denny pun meminta, negara ikut menanggung konsekuensi putusan MA atas denda Rp 4,4 triliun. Denny mengatakan, hal tersebut merujuk hasil audit kekayaan dan keuangan yang pernah dilakukan kejaksaan terhadap yayasan. Dengan demikian, Yayasan Supersemar bisa dieksekusi secara sukarela.
"Putusan tersebut memang daÂpat dijadikan dasar bagi eksekusi sukarela. Namun, lebih baik jika negara ikut menanggung, mengingat sejak awal juga merÂeka tahu dana yang kami miliki jumlahnya jauh lebih kecil dari pada yang dituntut. Kemudian, sebagian dana tersebut sudah digunakan untuk pembiayaan beasiswa," tukasnya.
Denny menambahkan, jika eksekusi sukarela tersebut diÂlakukan, maka akan terdapat penghitungan biaya yang harus dibayarkan oleh yayasan serta oleh negara. "Kalau hitunganÂnya merujuk ke audit finansial kejaksaan yang dilakukan tahun 1998," tandasnya.
Yayasan Supersemar didirikan awal tahun 70-an dengan tujuan sosial kependidikan. Namun, dalam perjalanannya, dana yang seharusnya untuk membiayai daÂna pendidikan rakyat Indonesia itu, diduga diselewengkan.
Dari putusan Mahkamah Agung (MA), kasus ini bermula saat Presiden Soeharto mengeÂluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 1976 yangmenentukan, 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara, disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapÂatkan uang sebesar 420 juta dolar AS dan Rp 185 miliar. ***