Bagi sebagian besar warga Jakarta, sampah merupakan masalah besar. Namun tidak bagi Sri Hartini, salah seorang pengurus Bank Sampah Seruni di Komplek Kostrad, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pasalnya, sampah yang dikumpulkan Sri Hartini dan kawan-kawannya, justru menjadi tabungan di bank sampah ini.
Tidak ada kegiatan yang menÂcolok di tempat pengumpulan sampah terpadu ini, pada Selasa sore (24/11) itu. Posisinya yang di tengah-tengah perumahan penduduk, membuatnya sulit diketahui khalayak. Kantornya pun menjadi satu dengan Kantor RW 7, RT 6, Komplek Kostrad, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan.
Karena sepi, pintu gerbang ditutup rapat, tapi tidak digemÂbok. Bangunannya berbentuk rumah berukuran sekitar 100 meter persegi. Warnanya hijau. Maklum saja, bank sampah ini berada di dalam Komplek Kostrad, TNI Angkatan Darat.
Yang menjadi penanda hanya plang yang tidak terlalu besar di dekat pintu masuk. Tulisannya, "Bank Sampah Seruni". Di dekat pintu masuk, ditempatkan dua tong besar berisi sampah yang sudah dipisahkan. Yaitu, organik dan nonorganik. Masuk lebih dalam, tersedia westafel untuk cuci tangan.
Tak jauh dari situ, ditemÂpatkan meja panjang lengkap dengan kursi.
Sebuah lemari kaca berukuran besar juga dipajang di teras. Isinya, berbagai macam piala dengan ukuran yang berbeda-beda.
Kantor Bank Sampah Seruni tampak asri, karena halamannya yang tidak terlalu luas itu dituÂmbuhi rerimbunan pepohonan. Di tengah halaman juga terdapat tanaman hidroponik dalam pipa-pipa panjang.
Di pojok kantor, terdapat guÂdang semi permanen yang tidak terlalu besar. Isinya, berbagai macam jenis sampah seperti, kardus dan botol yang sudah terÂtata rapi. "Ini sudah agak kosong karena sudah dijual tadi pagi," kata salah satu pengurus Bank Sampah Seruni, Sri Hartini.
Wanita paruh baya ini menÂgaku sudah empat tahun melakoÂni bisnis sampah ini. "Saya tidak sendirian, tapi bareng-bareng saÂma ibu-ibu satu RW. Lumayan, bisa membantu perekonomian keluarga," kata dia.
Jumlah anggota bank sampah ini, lanjut dia, sekitar 70 warÂga setempat. "Sampah tidak langsung diserahkan ke kami. Tapi, mereka mengumpulkannya terlebih dahulu kepada ketua RT masing-masing hari Jumat, bersamaan acara Juru Pemantau Jentik atau Jumantik," katanya.
Kemudian, sampah yang terÂkumpul di setiap RT baru dijual ke bank sampah sebulan sekali. Kalau ada warga yang secara pribadi ingin menjual langsung juga bisa, waktunya pun sama, sebulan sekali. "Tapi jarang, karena sudah dikoordinir 14 RT di komplek ini," ucap Sri.
Warga yang menjual langsung ke bank sampah, biasanya hanya beberapa kilogram. "Kalau dikÂoordinir RT, bisa satu kwintal lebih setiap bulannya," kata Sri.
Tidak semua sampah diterima. Wanita kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah ini menyebut, hanya sampah bernilai ekonoÂmis yang diterima. Sampah bernilai ekonomis itu antara lain botol plastik air mineral, kardus, botol beling, besi dan kaleng aluminium. Sampah ini akan dilebur pabrik, antara lain menjadi bijih plastik, bijih besi, bijih aluminium dan bubur karÂdus. "Yang paling mahal kaleng aluminium, Rp 10 ribu per kiloÂgram," jelas Sri.
Warga yang menjual sampah, lanjut Sri, biasanya tidak langÂsung mengambil uangnya, tapi ditabung dulu di bank sampah. "Kalau butuh, baru diambil," ujarnya.
Selanjutnya, sampah yang terÂkumpul di bank sampah, akan diÂbeli pengepul. "Setiap satu bulan sekali, diambil pengepul, paling sedikit setengah ton," kata dia.
Namun, lanjutnya, jumlah uang yang didapat bank sampah dari pengepul tidak begitu besar. "Paling besar kami dapat Rp 1 juta, paling sedikit Rp 500 ribu setiap bulan," tutur Sri.
Apalagi saat musim hujan ini, kata dia, nilainya jatuh sekali. "Sekarang malah cuma Rp 400 ribu," katanya.
Secara pribadi, Sri juga punya tabungan di bank sampah ini. Tabungan terakhirnya sebesar Rp 165 ribu. "Tapi kemarin sudah saya ambil semua untuk keperluan rumah tangga," kaÂtanya malu-malu.
Kebanyakan warga, menurut Sri, mengambil tabungannya setÂahun sekali. Uangnya untuk jalan-jalan satu komplek. "Ibaratnya uang tiban dari sampah, untuk senang-senang saja," katanya bersambung tawa.
Di akhir pembicaraan, Sri berharap kepada Kementerian Lingkungan Hidup yang suÂdah mengajari membuat bank sampah, memberikan pendampÂingan lagi agar hasil yang didaÂpat warga menjadi besar. "Kami ingin mendapat masukan baÂgaimana sampah yang dikelola bank sampah, bisa menghasilkan uang yang besar," harapnya.
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi meÂnilai, kehadiran bank sampah beÂlum menjadi solusi efektif untuk mengatasi sampah di Jakarta.
Pasalnya, menurut dia, saat ini bank sampah hanya mampu menangani lima persen dari perÂmasalahan sampah yang ada. "Bank sampah hanya menerapkan daur ulang, menggunakan kemÂbali dan mengurangi. Bukan solusi jangka panjang, karena daya serapÂnya yang rendah," kata Sanusi.
Salah satu cara cukup efektif yang perlu dilakukan Pemprov DKI Jakarta, lanjutnya, adalah membuat pengelolaan sampah terpadu di enam wilayah DKI, yakni Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Kepulauan Seribu.
"Tapi, saya lihat belum ada upaya serius dari pemerintah membangun pengelolaan sampah terpadu. Sepertinya pemerintah lebih suka cara konvensional, membuang langsung ke Bantar Gebang," kata dia. ***