WAWANCARA

Ferry Juliantono: Buruh Mogok Lantaran Pemerintah Tak Punya Visi Besar Tentang Industri & Ketenagakerjaan

Selasa, 24 November 2015, 08:51 WIB
Ferry Juliantono: Buruh Mogok Lantaran Pemerintah Tak Punya Visi Besar Tentang Industri & Ketenagakerjaan
Ferry Juliantono:net
rmol news logo Tak kapok, pria yang pernah dipenjara di era Presiden Yudhoyono lantaran menentang kenaikan harga BBM ini, kembali ikut turun ke jalan mendukung aksi mogok kerja nasional yang dilakukan buruh pada 24 -27 Novem­ber 2015 nanti. Pada Jumat (20/11) dia turut hadir me­nyambut kedatangan para buruh yang longmarch dari Bandung dan Lampung menuju Jakarta untuk ikut ambil bagian dalam rencana mogok kerja nasional itu. Berikut cuplikan wawancaranya.

Apa yang membuat anda hadir pada acara buruh ini?
Saya merasa terpanggil meli­hat kesungguhan perjuangan bu­ruh Indonesia terhadap masalah PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 78 Tentang Pengupahan ini terlebih mendengar mereka berjalan kaki melakukan longmarch dari Bandung dan Lampung ke Jakarta.

Sungguh saya bersimpati dan mendukung sepenuhnya. Ini sebagai bentuk solidaritas saya terhadap perjuangan mereka. Saya ini juga aktivis buruh yang pernah mendirikan serikat buruh pekerja pada era reformasi dan bahkan pernah menjadi wakil serikat buruh Indonesia pada sidang ILO (The International Labour Organization) di Jenewa tahun 2000. Jadi saya mema­hami apa yang buruh rasakan saat ini.

Anda kan orang partai, nggakkhawatir nanti dikatakan men­dompleng aksi buruh?
Justru menurut saya kehadiran partai politik harus membantu perjuangan buruh. Saya kenal baik dengan pimpinan-pimpinan serikat buruhnya dan ini adalah solidaritas saya terhadap buruh, bahkan saya ikut mengajak tokoh-tokoh politik dan masyarakat untuk membangun solidaritas kebangsaan mendu­kung masalah buruh termasuk rencana pemogokan nasional buruh nanti. Banyak yang belum tersadarkan tentang hakekat perjuangan ini.

Memang apa sih sebenarnya masalah yang dihadapi buruh di Indonesia?
Buruh atau pekerja di Indonesia saat ini mengalami tekanan hidup yang luar biasa. Dengan pendapatan yang pas-pasan mereka hidup serba terbatas, bahkan saya sering mendengar terkadang mereka hanya makan sekali sehari demi bisa menghe­mat gajinya agar bisa bertahan sebulan.

Kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi membuat mereka semakin tertekan, belum lagi ancaman outsourcing dan ancaman adanya buruh murah dari negara lain sangat meng­hantui kehidupan mereka.

Lantas apakah aksi ini nantinya sanggup mengubah nasib mereka?
Serikat buruh sepertinya su­dah melewati fase di mana mereka berdialog dengan pemilik pabrik kemudian juga sudah me­nyampaikan masalahnya kepada pemerintah, hingga demonstrasi tetapi tidak kunjung membuah­kan hasil. Dan ujungnya apabila mereka sekarang ingin melaku­kan pemogokan nasional itu berarti memang menjadi jalan terakhir yang bisa dilakukan.

Pemogokan ini dikhawatirkan berdampak terhadap perekonomian nasional?

Pemogokan buruh adalah hak buruh. Secara konstitusional dan perundangan, mogok kerja diperbolehkan dan diatur dalam undang-undang.

Ada beberapa Konvensi ILO tentang ini yang sudah dirati­fikasi oleh Indonesia, sehingga justru kalau pemogokan ini direspons secara negatif atau bahkan disertai ancaman dan in­timidasi, maka Indonesia bakal menghadapi konsekuensinya. (Aksi mogok) ini merupakan kekuatan buruh karena meng­hadapi pemodal atau bahkan kekuatan kapitalisme negara yang biasanya bersekongkol dengan pemerintah.

Yang disebut perekonomian nasional itu yang mana, apa nasib pengusahanya saja? Bukan toh.

Nasib buruh pekerjanya kan harus termasuk di dalamnya.

Salahnya pemerintah saat ini tidak memiliki visi besar tentang industri dan ketenagkerjaan. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sampai berjilid-jilid itu cenderung hanya mengun­tungkan investor, bukan buruh.

Sebaiknya apa yang harus dilakukan pemerintah?
Semua negara memiliki kon­sep yang sangat jelas tentang hubungan industrial ini. Jepang misalnya mewajibkan buruh pekerjanya memiliki saham di industrinya sehingga ter­cipta loyalitas buruh terhadap pabriknya.

Nah di kita buruh masih di­anggap sebagai variabel peleng­kap. Padahal saat ini telah terjadi proses penyederhanaan serikat buruh pekerja menjadi tinggal beberapa konfederasi, seharus­nya komunikasi bisa dilakukan secara efektif.

Masalahnya komunikasi men­terinya nggak jalan. Selain itu pemerintahnya juga membawa agenda tersembunyi dari kepent­ingan luar. Zaman pemerintahan yang otoriter saja bisa kok di era demokratis yang sekarang malah buntu.

Bagaimana kalau pemerin­tah tetap acuh terhadap aksi mogok kerja ini?

Saya belum tahu, tergantung evaluasi para pimpinan serikat-serikat buruh selanjutnya. Hanya saja pasti akan menimbulkan keputusasaan terhadap pemer­intahan ini dan bisa saja bukan hanya buruh tetapi juga petani, nelayan, mahasiswa, kaum mis­kin kota serta yang lainnya akan membangkang kepada pemerintah yang keras kepala. Rakyat pasti melawan dan akan menang. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA