WAWANCARA

Surahman Hidayat: Posisi Pimpinan DPR Merupakan Pemberat Manakala Harus Menerima Sanksi

Jumat, 20 November 2015, 08:49 WIB
Surahman Hidayat: Posisi Pimpinan DPR Merupakan Pemberat Manakala Harus Menerima Sanksi
Surahman Hidayat:net
rmol news logo Independensi dan keberanian Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengadili pimpinan dewan 'nakal' kembali diuji menyusul laporan Menteri Energi dan Sum­ber Daya Mineral Sudirman Said terkait praktik lobi 'kotor' yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) saat menemui pimpinan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Berdasarkan dokumen laporan yang bocor ke berbagai media, dalam pertemuan ber­sama pimpinan PTFI itu, Setnov menjanjikan cara penyelesaian kelanjutan kontrak PTFI, dan meminta agar PTFI memberikan saham yang disebutnya akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Setnov juga disebut meminta saham perusahaan yang sedang membangun proyek pembangkit listrik di Timika.

Selama jadi bos DPR, Setnov sudah dua kali dilaporkan ke MKD. Sebelumnya politisi kawakan Partai Golkar ini juga dilaporkan terkait pertemuannya dengan saudagar tajir yang juga bakal capres Amerika Serikat Donald Trump di sela-sela kun­jungan kerjanya (kunker) ke negeri Abang Sam.

Dalam perkara itu, MKD yang mengadili Setnov secara tertu­tup, hanya menjatuhkan sanksi teguran. Kini keberanian MKD kembali diuji dengan kasus Setnov yang boleh dibilang cukup serius karena telah mencatut nama Presiden dan Wapres.

Ketua MKD Surahman Hidayat yang ketika dikontak mengaku tengah berada di Yunani melaku­kan kunker memaparkan langkah yang akan ditempuh MKD untuk menangani perkara Setnov. Dia menolak jika MKD dikatakan seperti 'macan ompong' lantaran tak berani menjatuhkan sanksi berat terhadap pimpinan DPR yang melanggar aturan.

Ketua DPR Setya Novanto kembali diperkarakan ke MKD lantaran diduga men­catut nama Presiden dan Wapres. Apakah MKD akan memproses perkara ini?
MKD memproses sesuai tata beracara MKD. Setiap aduan termasuk dari Menteri ESDM harus disertai bukti-bukti fisik pendukung, baru dibahas dalam rapat internal MKD, apakah dilanjutkan ke pemanggilan yang bersangkutan atau tidak. Sesuai bukti-bukti di persidan­gan dengan teradu, pengadu dan saksi-saksi dan ahli, dirumus­kan kontruksi perkaranya, dan diadakan rapat internal untuk menyimpulkan adakah pelang­garan kode etik.

Lantas jika ternyata setelah disimpulkan ada pelanggaran kode etik apa sanksi yang akan dijatuhkan kepada Setnov?
Kalau disimpulkan ada (pe­langgaran kode etik), apa ting­katannya serta apa sanksinya. Kalau sanksi ringan tidak lebih dari teguran, kalau sedang bisa mutasi atau pembebasan jabatan, kalau berat bisa skorsing atau PAW tapi harus melalui Panel.

Saat menangani perkara pimpinan DPR, MKD terke­san seperti 'macan ompong'. Banyak kalangan menilai sanksi teguran kepada Setnov saat bertemu Donald Trump terlalu ringan?
Soal kesan, tergantung dari sudut mana melihatnya. Misal salah satu editorial media men­gapresiasi MKD terkait pem­rosesan konferensi pers dengan Donald Trump. Analogi dengan gelas yang diisi 3/4 air, bisa dika­takan airnya hampir penuh, tapi juga bisa dikatakan bahwa yang bisa diisi air tinggal sedikit.

Selain itu MKD juga dike­sankan tertutup dalam mem­proses perkaran anggota de­wan 'nakal', bagaimana Anda menanggapinya?
Sesuai Tatib (Tata Tertib) MKD, pemeriksaan bersifat tertutup sedang pemberitahuan tentang putusan bersifat terbuka. Tidak ada keharusan MKD um­umkan agenda pemeriksaan meski tidak terlarang juga bagi media untuk cari tahu.

Apa sebenarnya kendala MKD dalam menindak pelang­garan yang dilakukan pimpi­nan?
Etika itu ada yang tertulis ada pula yang tidak. Dalam memproses dugaan pelanggaran etika yang tertulis dalam Kode Etik oleh pimpinan tidak bisa mengesampingkan sama sekali etika tidak tertulis terhadap pimpinan. Kaitan dengan DPRtidak mudah mengesampingkan sebagai entitas politik, yang kon­sen dengan kepentingan dan jaga imej yang juga suka menarik tambahan tenaga bantuan. Hal yang tak mudah untuk dinihilkan sama sekali.

Apakah struktur MKD se­cara politik di DPR tidak cukup powerfull?
Secara pribadi saya melihat MKD masih perlu diperkuat. Paling tidak dari dua hal.

Apa saja itu?
Pertama, penerapan azas im­parsial dalam memproses se­orang anggota dari suatu fraksi yang diduga melanggar kode etik. Kedua, putusan rapat pleno MKD harus final mengikat, tidak perlu disahkan di paripurna.

Terkait kasus Setnov yang di­duga telah melanggar etik kar­ena mencatut nama Presiden dan Wapres. Apa MKD bisa memecat ketua DPR?
Jawabannya ada di pertanyaan pertama (Kalau sanksi ringan tidak lebih dari teguran, kalau sedang bisa mutasi atau pembe­basan jabatan, kalau berat bisa skorsing atau PAW tapi harus melalui Panel).

Apakah MKD masih me­mandang pelanggaran yang diduga dilakukan Setnov ini masih kategori pelanggaran ringan?
Jawabannya sama dengan sebelumnya. Perlu ditegaskan, bahwa setiap peraturan berlaku sama kepada setiap personelnya, apakah sebagai anggota biasa atau sebagai unsur pimpinan. Bahkan dari konsepsi adanya faktor yang meringankan atau memberatkan dalam penjatu­han sanksi, maka sebenarnya posisi sebagai pimpinan meru­pakan pemberat manakala harus menerima sanksi atas suatu pelanggaran. Di MKD, otoritas penerapannya ada di pleno rapat internal. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA