WAWANCARA

Bagir Manan: SE Kapolri Tentang Hate Speech Nggak Usah Dicabut, Cukup Tak Perlu Dilaksanakan Saja

Senin, 16 November 2015, 09:00 WIB
Bagir Manan: SE Kapolri Tentang Hate Speech Nggak Usah Dicabut, Cukup Tak Perlu Dilaksanakan Saja
Bagir Manan/net
rmol news logo Surat Edaran Kapolri terkait ujaran kebencian alias hate speech telah menimbulkan kerisauan tersendiri di ka­langan insan pers. Ada yang khawatir penerapan surat edaran itu justru rentan disalahgunakan. Profesi jurnalis­tik yang sejatinya dilindungi undang-undang berpotensi dijerat tuduhan menyebarkan kebencian. Ketua Dewan Pers Bagir Manan menyikapi ancaman itu. Ditemui di ruang kerjanya, jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, bekas Ketua Mahkamah Agung ini memaparkan pandangan dan kritiknya terhada SE ujaran kebencian;

Bagaimana Anda menyika­pi kekhawatiran insan pers terkait SE Kapolri itu?

Kalau saya melihat Polri merespons kekhawatiran itu. Bapak Kapolri mengatakan surat edaran ini untuk men­dorong mediasi. Artinya tidak serta merta (pengaduan tuduhan penyebaran kebencian) itu di­jadikan persoalan hukum. Saya menyimpulkan dari keterangan ini, Pak Kapolri memperhatikan kekhawatiran media. Sikap ini pantas dihargai. Jadi media tidak usah khawatir.

Bagaimana Anda memberi jaminan pers bisa terlindungi dari tuduhan hate speech?
Kita sudah punya MoU den­gan kepolisian. Jika ada lap­oran-laporan seperti itu polisi akan menyurati Dewan Pers terlebih dulu, meminta penjela­san apakah itu berita jurnalistik atau bukan. Kalau itu karya jurnalistik meskipun ada yang merasa dicemarkan, sesuai MoU diserahkan dulu ke Dewan Pers untuk menyelesaikannya. Kalau itu bukan karya jurnalistik maka Dewan Pers menyerahkan itu menjadi urusan kepolisian.

Apa parameternya berita itu dikatakan bukan karya jurnalistik?
Kalau medianya itu tidak memenuhi syarat-syarat seba­gai pers, salah satunya menurut ketentuan undang-undang, pers harus berbadan hukum. Kalau tidak berbadan hukum maka kita nyatakan itu bukan kegiatan pers. Untuk itu kita persilakan kepolisian memproses. Lalu kedua, meskipun itu pers tapi ketika berita itu tidak berkaitan dengan pemberitaan misalnya memeras.

Apakah tepat tuduhan me­nyebarkan ujaran kebencian diterapkan lewat jalur hukum, apalagi pasal yang digunakan pasal karet yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi?
Pertama, memang pengertian kebencian itu tidak memiliki kepastian dan tidak ada ukuran­nya. Dan hukum itu tidak layak membuat suatu kaedah yang tidak ada ukurannya. Apalagi kalau kaedah ini dapat mengan­cam kebebasan orang. Dapat menyebabkan orang kehilangan kemerdekaannya. (Pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan) itu kan pasal karet, kalau pasalnya pasal karet, tidak ada kepastian bagi kita yang ngomong apa itu membenci atau memberikan kritik. Dari sisi penegak hukum, karena tidak ada kepastian bisa disalahgunakan.

Apakah tepat jika konotasi kebencian dalam surat edaran itu ditafsirkan dengan fitnah dan pencemaran nama baik?
Itu justru nanti akan menyu­litkan penegak hukum sendiri. Karena dalam KUHP, fitnah dan pencemaran nama baik, sudah diatur sebagai kaedah yang berdiri sendiri. Tinggal cari memenuhi unsur fitnah atau nggak. Sekarang ditambah harus ada unsur kebencian, lebih susah lagi. Jadi sebelum kita dapat memeriksa bahwa itu fitnah atau bukan, itu harus diperiksa ada unsur kebencian apa nggak. Kan itu akan lebih menyulitkan. Seseorang bisa saja melakukan perbuatan tidak menyenangkan, tapi bukan kar­ena kebencian. Mungkin karena satu peristiwa aja. Misalnya kita mendadak memaki-maki orang dalam satu diskusi dan tidak ada latar belakang kebencian apa-apa. Begitu juga fitnah dan pencemaran nama baik. Jadi itu saya kira sudah ada tersendiri. Merekatkan kebencian dengan kaedah-kaedah itu justru nanti mempersulit penerapan kaedah-kaedah itu. Kemudian dengan adanya surat ini kepolisian menghidupkan sesuatu kaedah yang sebenarnya sudah tidak pernah dilaksanakan lagi sejak kita merdeka terkait kaedah kebencian itu.

Mengapa tidak dilaksana­kan lagi?
Karena kaedah kebencian itu, dianggap kolonial. Karena tadi, karet itu ya. Di era kolonial yang paling mudah kena, pers memang. Karena mereka yang menyebarkan berita. Mengapa itu tidak pernah diterapkan, karena selain karet juga diang­gap merupakan hambatan ke­bebasan orang menyampaikan pendapat. Kemudian dari sudut pers sebagai alat kontrol dan alat kritik nanti melakukan kritik bisa dianggap kebencian. Maka itu dianggap tidak sesuai lah dengan kita sebagai negara yang merdeka. Lalu di dalam KUHP, kebencian itu hanya mengenai dua hal, yaitu keben­cian terhadap penguasa dan kebencian terhadap golongan. Tidak kebencian kepada orang perorangan. Ini kan meluas bisa ke orang perorangan.

Tapi katanya jika dibiarkan, ujaran kebencian bisa memicu konflik horizontal antar go­longan?
Ya memang kebencian terh­adap golongan apalagi atas dasar agama itu bisa menimbulkan kekacauan. Tapi juga belum ada kepastian apakah perselisihan horizontal itu baik anta-agama atau satu agama itu apakah memang karena kebencian atau karena keyakinan yang berbeda atau sebab lain. Misalnya per­nah terjadi konflik horizontal yang ternyata latar belakangnya sengketa dua saudara, lalu kar­ena mereka tokoh-tokoh agama atau lainnya terjadilah konflik horizontal. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA