WAWANCARA

Bima Arya: Dalam Kasus Syiah Saya Tanggung Jawab, Antisipasi Terjadinya Bentrokan

Jumat, 30 Oktober 2015, 11:26 WIB
Bima Arya: Dalam Kasus Syiah Saya Tanggung Jawab, Antisipasi Terjadinya Bentrokan
Bima Arya/net
rmol news logo Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini kembali men­jadi sorotan setelah menerbitkan kebijakan pelarangan bagi umat Syiah merayakan hari Asyura di wilayahnya. Sebelumnya Bima Arya juga disorot saat menyegel Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin.

Jikaditilik track record pendidi­kannya, Bima banyak mengenyam pendidikan moderat. Doktor politik jebolan Australian National University, Australia ini juga tercatat sebagai alumnus Universitas Katolik Parahyangan dan pernah menjadi pengajar di Universitas Paramadina. Jadi latar belakang pendidikannya sejatinya cukup pluralis.

Bagaimana ceritanya hingga kemudian Anda melarang umatSyiah merayakan Asyura?
Jadi hari itu saya menerima masukan dari berbagai pihak, mener­ima informasi dari Kepolisian dan Kodim yang saya menyimpulkan situasi sudah darurat.

Apa tidak ada kebijakan lain untuk mengantisipasi situasi itu?
Saat itu sebetulnya sudah ada kesepakatan dengan Abdullah Assegaf (pimpinan Syiah Bogor), bahwa sebaiknya kegiatan di­lakukan secara tertutup, tidak mengundang orang luar. Tapi kemudian ada yang memberi informasi kegiatan berjalan.

Lalu...
Saya sampaikan ke sana se­cara langsung, bahwa (pelaran­gan peringatan Asyura) ini sudah pertimbangan keamanan, dan saya sampaikan surat itu.

Siapa yang mengusulkan surat itu?

Surat itu dibuat bersama mus­pida (musyawarah pimpinan daerah), untuk mencegah mud­harot yang lebih besar. Jadi itu konteksnya, murni karena keamanan. Tidak ada lainnya.

Tapi pelarangan itu kan hanya untuk mengeliminir kejadian ketika itu saja, lantas bagaimana menyelesaikan persoalan itu untuk jangka panjang?
Sekarang begini, kalau malam itu ada korban jiwa lima orang saja, apakah tidak berdampak jangka panjang. Akan ada trauma warga, akan ada balas dendam. Jadi nggak bisa hal itu dika­takan dampaknya hanya seben­tar. Urusan nyawa itu panjang. Makanya saya melakukan apa yang saya anggap perlu, untuk memastikan itu tidak terjadi.

Bukankah sebenarnya yang harus dipikirkan itu adalah solusi jangka panjang, bukan­nya justru menutup akses dan kegiatannya?
Saya setuju itu. Saya di Bogor juga terus mendorong dialog antar umat beragama. Natalan saya datang. Barangkali saya walikota pertama, ketika malam natal itu saya keliling ke mana-mana, ke katedral, ke semua gereja saya datang, ke acara Cap Go Meh saya datang, dialog ini kita laku­kan terus. Diskusi antarumat beragama itu adalah proses yang kita lakukan terus menerus. Dan Bogor punya sejarah yang bagus tentang keberagamaan.

Tapi bagaimana dengan kasus Syiah ini?
Dalam kasus Syiah ini, wa­likota berpedoman pada tugas dan tanggung jawabnya un­tuk keamanan dan ketertiban warganya. Jadi berdasarkan kewenangan pemerintah daer­ah, walikota bisa melakukan hal yang dianggap perlu terh­adap hal-hal yang mengancam ketertiban dan keamanan di wilayahnya.

Tapi banyak yang menilai lang­kah Anda berlebihan?
Orang bisa mengatakan ber­lebihan, tapi kan kita antisipatif demi keamanan. Dan tentunya aparat keamanan, intelijen su­dah punya hitungan tentang keamanan tadi. Jamaah Syiah ini justru saya lindungi supaya jan­gan sampai mereka jadi korban.

Jadi kebijakan Anda bukan karena hitung-hitungan poli­tik memihak kelompok may­oritas?
Enggak ada. Buat apa hitung-hitungan politik, nggak ada. Besok pun saya selesai jadi walikota nggak masalah. Saya ini jadi walikota untuk berjuang untuk kota kelahiran saya. Jadi tidak ada faktor politis.

Kebijakan kontroversi lain­nya adalah terkait rencana Anda menutup semua tempat hiburan malam. Apa yang melandasi itu?
Setiap hari saya berhadapan dengan persoalan-persoalan di Kota Bogor, tawuran, kemudian saya juga sering mendengar curhatan warga Bogor yang keluarganya berantakan, kar­ena PSK dan lain sebagainya. Itu perasaan-perasaan sosial yang harus diselesaikan dengan berbagai cara. Ada edukasi, intervensi ekonomi, kebijakan jangka panjang, tapi kan kebi­jakan dilakukan dengan cepat. Menutup tempat-tempat sumber maksiat salah satunya.

Bagaimana pula dengan per­soalan miras?
Walikota bekerja berdasarkan Perda. Ketika ada pengusaha ng­gak punya izin menjual miras, ya saya libas. Ya ketika pengusaha hiburan melanggar jam malam, saya libas. Ketika diskotek nggakada izinnya saya tutup.

Kok main libas...
Di posisi saya barangkali orang baru bisa melihat, ancaman ru­saknya anak muda karena miras narkoba, seks bebas, HIV AIDS, saya ingin bertanggung jawab menyelamatkan generasi muda. Setiap malam minggu saya patroli dengan muspida, bertemu dengan anak usia belasan tahun, yang mabuk dan nekad bunuh orang karena di bawah pengaruh itu, kita berantas miras di warung-warung gelap, di minimarket, kita sidak semuanya gitu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA