Jikaditilik
track record pendidiÂkannya, Bima banyak mengenyam pendidikan moderat. Doktor politik jebolan Australian National University, Australia ini juga tercatat sebagai alumnus Universitas Katolik Parahyangan dan pernah menjadi pengajar di Universitas Paramadina. Jadi latar belakang pendidikannya sejatinya cukup pluralis.
Bagaimana ceritanya hingga kemudian Anda melarang umatSyiah merayakan Asyura? Jadi hari itu saya menerima masukan dari berbagai pihak, menerÂima informasi dari Kepolisian dan Kodim yang saya menyimpulkan situasi sudah darurat.
Apa tidak ada kebijakan lain untuk mengantisipasi situasi itu?
Saat itu sebetulnya sudah ada kesepakatan dengan Abdullah Assegaf (pimpinan Syiah Bogor), bahwa sebaiknya kegiatan diÂlakukan secara tertutup, tidak mengundang orang luar. Tapi kemudian ada yang memberi informasi kegiatan berjalan.
Lalu... Saya sampaikan ke sana seÂcara langsung, bahwa (pelaranÂgan peringatan Asyura) ini sudah pertimbangan keamanan, dan saya sampaikan surat itu.
Siapa yang mengusulkan surat itu? Surat itu dibuat bersama musÂpida (musyawarah pimpinan daerah), untuk mencegah mudÂharot yang lebih besar. Jadi itu konteksnya, murni karena keamanan. Tidak ada lainnya.
Tapi pelarangan itu kan hanya untuk mengeliminir kejadian ketika itu saja, lantas bagaimana menyelesaikan persoalan itu untuk jangka panjang? Sekarang begini, kalau malam itu ada korban jiwa lima orang saja, apakah tidak berdampak jangka panjang. Akan ada trauma warga, akan ada balas dendam. Jadi nggak bisa hal itu dikaÂtakan dampaknya hanya sebenÂtar. Urusan nyawa itu panjang. Makanya saya melakukan apa yang saya anggap perlu, untuk memastikan itu tidak terjadi.
Bukankah sebenarnya yang harus dipikirkan itu adalah solusi jangka panjang, bukanÂnya justru menutup akses dan kegiatannya? Saya setuju itu. Saya di Bogor juga terus mendorong dialog antar umat beragama. Natalan saya datang. Barangkali saya walikota pertama, ketika malam natal itu saya keliling ke mana-mana, ke katedral, ke semua gereja saya datang, ke acara
Cap Go Meh saya datang, dialog ini kita lakuÂkan terus. Diskusi antarumat beragama itu adalah proses yang kita lakukan terus menerus. Dan Bogor punya sejarah yang bagus tentang keberagamaan.
Tapi bagaimana dengan kasus Syiah ini? Dalam kasus Syiah ini, waÂlikota berpedoman pada tugas dan tanggung jawabnya unÂtuk keamanan dan ketertiban warganya. Jadi berdasarkan kewenangan pemerintah daerÂah, walikota bisa melakukan hal yang dianggap perlu terhÂadap hal-hal yang mengancam ketertiban dan keamanan di wilayahnya.
Tapi banyak yang menilai langÂkah Anda berlebihan? Orang bisa mengatakan berÂlebihan, tapi kan kita antisipatif demi keamanan. Dan tentunya aparat keamanan, intelijen suÂdah punya hitungan tentang keamanan tadi. Jamaah Syiah ini justru saya lindungi supaya janÂgan sampai mereka jadi korban.
Jadi kebijakan Anda bukan karena hitung-hitungan poliÂtik memihak kelompok mayÂoritas? Enggak ada. Buat apa hitung-hitungan politik, nggak ada. Besok pun saya selesai jadi walikota nggak masalah. Saya ini jadi walikota untuk berjuang untuk kota kelahiran saya. Jadi tidak ada faktor politis.
Kebijakan kontroversi lainÂnya adalah terkait rencana Anda menutup semua tempat hiburan malam. Apa yang melandasi itu? Setiap hari saya berhadapan dengan persoalan-persoalan di Kota Bogor, tawuran, kemudian saya juga sering mendengar curhatan warga Bogor yang keluarganya berantakan, karÂena PSK dan lain sebagainya. Itu perasaan-perasaan sosial yang harus diselesaikan dengan berbagai cara. Ada edukasi, intervensi ekonomi, kebijakan jangka panjang, tapi kan kebiÂjakan dilakukan dengan cepat. Menutup tempat-tempat sumber maksiat salah satunya.
Bagaimana pula dengan perÂsoalan miras? Walikota bekerja berdasarkan Perda. Ketika ada pengusaha ngÂgak punya izin menjual miras, ya saya libas. Ya ketika pengusaha hiburan melanggar jam malam, saya libas. Ketika diskotek nggakada izinnya saya tutup.
Kok main libas... Di posisi saya barangkali orang baru bisa melihat, ancaman ruÂsaknya anak muda karena miras narkoba, seks bebas, HIV AIDS, saya ingin bertanggung jawab menyelamatkan generasi muda. Setiap malam minggu saya patroli dengan muspida, bertemu dengan anak usia belasan tahun, yang mabuk dan nekad bunuh orang karena di bawah pengaruh itu, kita berantas miras di warung-warung gelap, di minimarket, kita sidak semuanya gitu. ***
BERITA TERKAIT: