WAWANCARA

Komisaris Jenderal Budi Waseso: Kasus BW Dikoreksi, Kalau Sampai Ada Apa-apa yang Dosa Bukan Saya

Kamis, 15 Oktober 2015, 08:52 WIB
Komisaris Jenderal Budi Waseso: Kasus BW Dikoreksi, Kalau Sampai Ada Apa-apa yang Dosa Bukan Saya
Komisaris Jenderal Budi Waseso/net
rmol news logo Langkah jenderal polisi yang akrab disapa Buwas ini begitu kontroversial ketika memimpin Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Dua pimpinan Komisi Pember­antasan Korupsi (KPK) yakni; Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (BW), plus satu penyidik KPK Novel Baswedan dijerat Buwas.

Abraham dijerat kasus du­gaan pemalsuan dokumen. Kasusnya kini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. BW disang­kakan menyuruh saksi memberi­kan keterangan palsu di sidang Mahkamah Konstitusi (MK), 2010 silam, kasusnya pun sudah dilimpahkan ke kejaksaan untuk segera disidangkan. Sedangkan Novel dijerat pasal penganiayaan saat dia masih berdinas di Polres Kota Bengkulu sebagai Kepala Satuan Reserse pada 2004.

Di Bareskrim karier Buwas tak berumur panjang. Saat dia ber­niat membongkar kasus dugaan korupsi PT Pelindo II, Buwas digeser ke kursi Kepala BNN. Setelah Buwas digeser puluhan akademikus dari berbagai kam­pus di Indonesia menekan pe­merintah agar men-deponeering alias mengesampingkan kasus BW. Presiden pun berjanji akan mempertimbangkannya.

Bagaimana Buwas menang­gapi 'warisan' kasusnya diaduk-aduk dan apa saja rencana Buwas memberantas narkoba, simak wawancara Rakyat Merdeka dengan Buwas berikut ini:

Bagaimana Anda menang­gapi adanya upaya mengko­reksi kasus-kasus yang dulu Anda garap di Bareskrim, utamanya terkait kasus BW?

Nggak apa-apa dikoreksi. Kan sekarang sudah diserahkan ke Pak Anang (Komjen Anang Iskandar, Kabareskrim saat ini) . Jadi bukan tanggung jawab saya lagi, jadi kalau ada apa-apa yang dosa bukan saya.

Kalau sampai kasus BW di-deponeering atau di-SP3, apa tindakan Anda?

Waduh itu bukan urusan saya lagi. Deponeering kan bukan urusan saya, hehe.. Ya nggak apa-apa, itu kan kewenangannya Presiden. Hanya kalau saya kan lihatnya dari penegakan hukum, apakah orang bisa mendapatkan perlakuan hukum berbeda? Kalau pidana murni ya sudahlah, sele­saikan dulu. Itu kan tanggung jawab, dulu kan dia (BW, Red) bilang akan bertanggung jawab dan merasa tidak bersalah, ya sudah biar peradilan aja yang buktikan, kan gitu.

Kasus Pelindo pun demiki­an. Setelah Anda dirotasi ke BNN, kasus itu terkesan ber­jalan lamban?
Sekarang itu, yang penting bukan saya lagi. Saya sekarang sudah Ka BNN. Gitu, hehe..

Terkait posisi Anda saat ini sebagai Kepala BNN, Anda mengusulkan agar pengguna narkoba kembali dipenjara­kan. Ide Anda ini terkesan bertolak belakang dengan undang-undang yang memer­intahkan agar pengguna cukup direhabilitasi?
Nggak ada yang bertolak belakang tuh, kan tetap direha­bilitasi. Cuma mekanismenya yang berubah.

Apanya yang berubah?
Iya. Karena setiap korban itu ada pertanggungjawaban huku­mnya, nah biarkan aja. Misalkan setelah diputus oleh pengadilan dia kena dua tahun, tiga tahun itu wajib dijalankan. Nah dalam proses dia menjalani hukuman itu dia sekaligus direhabilitasi. Jadi nggak ada permainan hu­kum.

Saya bukannya nggak setuju rehabilitasi. Rehabilitasi itu penting, ada di undang-undang dan itu wajib. Tapi jangan salah gunakan rehabilitasi itu yang akhirnya semua jadi dire­habilitasi. Duitnya besar lho untuk merehabilitasi. Nanti pelaku-pelaku semua ngaku duluan, lapor sebagai korban, padahal dia bandar, akhirnya kena rehabilitasi. Selesai, dia udah untung gede. Kan tidak adil, ancaman buat negara dia diampuni juga.

Anda menginginkan agar bandar narkoba diisolir di pulau terluar, kapan gagasan itu Anda realisasikan?

Kalau saya sih pengen se­cepatnya. Saya sudah bilang ke Menkumham, saya katakan harus ada evaluasi. Termasuk aturan undang-undang aturan hukum terhadap pelaku yang sudah mendapat hukuman mati tapi justru dia mendapat per­lakuan luar biasa, bahkan bisa melakukan pembunuhan kem­bali terhadap generasi muda kita lewat narkoba. Kadang-kadang saya punya ide yang dianggap gila kan, tapi itu wajar. Makanya saya bilang tempatkan di pulau terluar, karena di pulau terluar itu jaringan komunikasi nggak ada. Ini kan hanya pemikiran dan su­dah direspon oleh Menkumham. Memang harus diisolir, kalau perlu tidak kenal siapa-siapa. Kalau perlu bikin di suatu tem­pat yang tempatnya dikelilingi sungai trus sungai diisi buaya-buaya. Jadi kalau dia berusaha kabur, biar diselesaikan oleh buaya, haha..

Lantas apa tanggapan Menkumham dengan gagasan Anda itu?
Kemarin kita koordinasi dengan Menkumham dan Kemkumham sudah membuat tim. Nah tim itu nanti melibatkan BNN dan Kepolisian, termasuk nanti Komnas HAM juga akan dilibat­kan untuk menindaklanjuti.

Bukankah pulau terluar itu kerap dijadikan jaringan narkoba internasional sebagai pintu masuk narkoba?
Justru itu nanti harus ada ket­erlibatan TNI. Polisi dan TNI nanti akan bersatu di situ. Nanti bakal ada pasukan khusus.

Anda juga akan melibatkan TNI?
Kita semua harus berper­an, kita semua harus berbuat. Pencegahan penting. Memang rencana saya yang melibatkan kekuatan TNI itu dianggap gila, orang berpikirnya gila. Tapi kan TNI punya kemampuan perang. Dan saat ini kenyataannya na­gara sedang perang dengan narkoba. Di situ satu sisi ada hukum perang, karena ada anca­man terhadap negara. Pasukan TNI itu punya kekuatan luar biasa, kita tidak usah ego sek­toral. Kalau kita sama-sama malah akan cepat selasai, TNI itu terlatih karena saya tahu persis latihan mereka. Apalagi kalau Kopassus.

Upaya persuasif lainnya yang sudah Anda rancang untuk memerangi narkoba apa lagi?
Saya mengupayakan ada buku mata pelajaran tentang bahaya narkoba di sekolah-sekolah.

Sudah komunikasi dengan Mendikbud?
Sudah, beliau setuju, dan presiden juga setuju. Sekarang lagi dibahas. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA