Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perajin Tempe Cuma Bisa Kantongi Rp 2 Jutaan/Bulan

Dolar Tinggi, Harga Kedelai Ikut Melambung

Senin, 31 Agustus 2015, 10:29 WIB
Perajin Tempe Cuma Bisa Kantongi Rp 2 Jutaan/Bulan
ilustrasi/net
rmol news logo Sarbini naik ke loteng rumahnya. Ia mengambil tiga papan cetakan dan ditaruh di atas rak di teras rumahnya. Plastik transparan dipotong-potong untuk alas cetakan. Adonan kacang kedelai yang sudah dicampur ragi dituangkan ke cetakan itu sampai penuh. Kedua ujung plastik alas direkatkanâ€"dengan cara dibakar dengan obat nyamukâ€"untuk menutupi alas adonan yang akan diubah menjadi tempe itu.
 
Adonan tempe itu lalu dibawa ke loteng rumah untuk didiamkan selama sehari. "Besok pagi baru mau dijual," kata Sarbini.

Bapak dari tiga anak itu bolak-balik ke loteng untuk mengam­bil cetakan maupun memeram adonan tempe. Untuk menghemat tempat saat proses pengeringan, adonan ditumpuk tiga baris.

Ia baru beristirahat setelah adonan kedelai yang sudah dicampur dengan ragi di tong habis dibentuk menjadi tempe. Pencetakan dan pemeraman adonan merupakan proses akhir dari proses pembuatan tempe.

Prosesnya dimulai sejak tiga hari lalu. Diawali proses pen­cucian untuk menghilangkan kotoran di kedelai. Kedelai yang rusak atau pecah bisa diketahui saat pencucian. Biasanya kedelai akan mengambang.

Setelah bersih, kedelai dire­bus dalam tong. Perebusan bisa berlangsung tiga sampai empat jam hingga kedelai empuk. Kedelai yang sudah matang lalu dicuci lagi dengan air bersih dan direndam selama 6-12 jam. Sambil direndam, kedelai dire­mas-remas untuk mengelupas­kan kulit ari.

Proses berikutnya, kedelai direbus lagi. Bisa juga cukup disiram dengan air mendidih. Kemudian kedelai ditiriskan sebeluma diberi ragi. Ragi dit­abur lalu diaduk hingga merata. Adonan lalu ditaruh cetakan dan diperam.

Sarbini memasarkan tempe hasil produksi rumahan ini ke pasar-pasar tak jauh dari tempat tinggal di Kompleks Kopti, Semanan, Jakarta Barat. Ia menda­tangi pasar-pasar dengan sepeda motor yang sudah dipasangi keranjang di jok belakang.

"Saya keliling memasarkan tempe naik motor mulai subuh," katanya.

Tempe digemari masyarakat. Proses pembuatannya mudah. Bisa dilakukan di rumah seperti yang dilakukan Sarbini. Namun bahan bakunya yakni kacang kedelai masih banyak diimpor.

"Nyari kedelainya mudah. Cuma kenaikan harganya yang bikin pusing," keluh Sarbini.

Ketika kurs dolar Amerika terhadap rupiah meroke, harga kedelai impor ikut melambung. Merek kacang kedelai impor yang biasa dipakai Sarbini sebe­lumnya hanya Rp 640 ribu per kuintal. Kini melonjak hingga Rp 720 ribu.

"Kalau bayar langsung Rp 710 ribu per kuintal," katanya.

Sekali produksi, Sarbini bi­sa menghabiskan 1,3 kuintal kedelai. Selama ini, Sarbini mengambil kedelai di pengecer dengan cara ngebon alias bayar belakangan. Setelah tempenya laku, dia baru membayar utang bahan baku itu.

Meski harga bahan baku tempe melonjak, Sarbini tak berani me­naikkan harga tempe tinggi-ting­gi. Tiap potong tempe dijualnya Rp 5 ribu. Itu sudah naik seribu perak dari harga sebelumnya.

"Kenaikan itu sebetulnya masih kurang. Saya masih nom­bok," keluhnya.

"Kalau dinaikkan tinggi-tinggi, takut pelanggan pindah ke pedagang lain," tambahnya.

Untuk mengurangi kerugian mendalam, Sarbini menyiasati dengan mengurangi ukuran po­tongan tempe. Biasanya satu cetakan tempe dipotong menjadi 10 bagian. Kini, jadi 12 potong.

"Pelanggan protes kenapa ukurannya lebih kecil. Saya jelaskan harga kedelainya naik," ujarnya.

Setelah dipotong ongkos produksi sebesar Rp 1 juta plus membayar utang kedelai kepada pengecer, Sarbini hanya bisa mengantongi keuntungan total di angka Rp 2 jutaan saja per bulan.

"Rp 2,5 juta kalau lagi ramai. Kalau lagi sepi cuma dapat Rp 2 juta," ujarnya.

Sebelum kedelai naik, dia bisa untung Rp 3 juta. Angka ini sebenarnya pas-pasan untuk hidup di Jakarta. Apalagi harga barang-barang telah merang­kak naik.

"Kalau begini terus, saya bisa bangkrut. Perajin lainnya juga bakal bangkrut kalau dolar masih tinggi. Kalau bangkrut mau makan apa keluarga saya," ujarnya gelisah.

Ia berharap kurs dolar terhadap rupiah bisa segera turun, sehingga harga kedelai impor impor bisa lebih murah.

Ukurannya Lebih Kecil, Gampang Pecah Saat Diolah
Ini Alasan Perajin Tahu Enggan Pakai Kedelai Lokal

Nasib serupa juga dialami perajin tahu di kompleks Kopti, Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Bahan baku tahu juga dari kedelai.

Seperti diketahui, harga kedelai impor mengalami kenaikan pasca terus menguatnya nilai dolar Amerika terhadap rupiah. Saat ini 1 dolar AS tembus di angka Rp 14.000.

Kondisi ini mengerek harga kedelai impor. Di tingkat pengecer, harga kedelai impor kualitas sedang sudah mencapai Rp 8.500 per kg. Sebelumnya berkisar Rp 6.900 â€" Rp 7.500 per kg.

"Kami para perajin tahu dan tempe di sini selalu pakai kedelai impor, bingung karena harga kedelai semakin mahal," ujar Dayat, seorang perajin tahu di Kompleks Kopti.

Dayat mengatakan harga ke­delai impor merangkai naik sejak sebulan lalu. Dari Rp 600 ribu per kuintal menjadi Rp 640 ribu, Rp 680 ribu dan kini ber­tahan di angka Rp 750 ribu.

"Itu harga kedelai kelas me­nengah yang saya biasa pakai," jelasnya.

Untuk memproduksi tahu kun­ing, Dayat memerlukan 3 kuintal kedelai impor tiap hari. Hasil produksi rumahan ini kemu­dian dipasarkannya ke wilayah Jakarta dan Tangerang.

"Untuk antisipasi kenaikan harga kedelai ya paling saya memperkecil ukuran tahu, tapi harganya sama. Cuma memperkecil sedikit aja. Habisnya bingung harus gimana lagi," ungkap Dayat.

Kenapa tidak pakai lokal saja? Menurut Dayat, ukuran kedelai lokal kecil-kecil. Untuk mem­buat tahu seukuran sekarang, butuh lebih banyak bahan baku kedelainya. "Takutnya malah tambah rugi," dalihnya.

Kualitas kedelai lokal juga dianggap kalah dibanding ke­delai impor. Saat dipakai untuk membuat tahu, kedelai impor kerap pecah. Dayat bisa saja mengganti bahan baku dengan kedelai lokal dalam membuat tahu. Namun dia khawatir hasil­nya tak sebaik sekarang.

"Kalau tahunya jelek, nanti enggak ada yang beli. Rugi lagi saya," katanya.

Perajin tahu lainnya, Solihin mengkhawatirkan kelangsungan usaha jika harga bahan baku terus merangkak naik.

"Saya sehari saya perlu satu kuintal untuk produksi tahu. Kalau harga kedelai impor terus-terusan naik ya bisa bangkrut juga," kata Solihin.

Solihin memasarkan produknya ini ke wilayah Kalideres, Cengkareng, Kembangan, dan Kebon Jeruk. Kendati demikian, dirinya tak mau mengurangi ukuran tehu walaupun saat ini harga kedelai sudah tinggi.

"Takut langganan jadi pada kabur," imbuhnya.

Ia juga tak berencana menaikkan harga tahu kepada para pelanggan. "Harga dan ukuran tempe masih biasa belum berubah. Ini juga selalu tekor buat nutupin produksinya, soalnya penghasilannya segitu-gitu aja, tapi bahan bakunya semakin naik," pungkasnya.

Kementan Usul Kedelai Impor Kena Bea Masuk


Mentan mengatakan, harga kedelai lokal lebih murah. "Harga kedelai di Aceh hanya Rp 5.000 per kilogram," ujarnya.

Mentan mengakui masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. "Kami akan coba optimalkan dulu penanaman kedelai kita," katanya.

Saat ini harga kedelai lokal berada di kisaran Rp 4.500 -Rp 5.000 per kilogram (kg). Harga tersebut masih jauh di bawah ongkos produksi sekitar Rp 7.000 per kg. Pemerintah menginginkan harga kedelai lokal bisa mencapai Rp 8.000 per kg.

Meskipun harga kedelai lokal lebih murah, sebagian besar produsen tahu dan tempe masih mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku. Kedelai impor dinilai lebih ba­gus ketimbang kedelai lokal.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), Hasil Sembiring menyayangkan adanya angga­pan seperti itu di kalangan perajin. Anggapan ini bisa merugikan petani kedelai lokal.

Momen melemahnya nilai tukar rupiah dolar akan dimanfaatkan untuk mengampanyekan produk kedelai lokal. Harapannya agar perajin tahu tempe beralih menggunakan kedelai lokal.

"Pasokan kedelai lokal juga berlimpah lantaran memasuki masa panen. Akibatnya harga jatuh di kisaran Rp 4.500 per kilogram. Kami sedang berusaha untuk membalikkan keadaan tersebut," ucapnya.

Untuk mencegah ketergan­tungan terhadap kedelai impor, Kementan akan mengusulkan penerapan bea masuk untuk impor kedelai. Selama ini, kedelai impor masuk ke Indonesia tanpa dikenakan bea masuk sehingga harganya bisa lebih murah ketimbang kedelai lokal yang membuat para petani enggan menanam kedelai lagi.

"Jadi alternatif kebijakannya kita mengusulkan pengenaan bea masuk sekitar 10 persen un­tuk kedelai impor," terangnya.

Kementan juga mengusul­kan kepada Kementerian Perdagangan agar menaikkan Harga Beli Petani (HBP) ke­delai. Dia berharap Kemendag bisa menaikkan HBP melalui Permendag menjadi Rp 8.000 per kg. Saat ini, HBP kedelai masih Rp 7.700 per kg.

"Harga kedelai di sentra-sentra produksi, seperti di Klaten, Jawa Tengah, dan sen­tra-sentra-sentra lainnya saat ini tengah tersungkur. Malah di luar Pulau Jawa, harga ke­delai lebih rendah lagi, seperti di Aceh dan Sulawesi Selatan yang hanya Rp 4.500 per kilo. kami berharap Kemendag bisa bantu," pungkasnya.

Musim Kering, Petani Beralih Tanam Kedelai

Musim kemarau tak membuat petani di Kabupaten Bojonegoro kehilangan penghasilan akibat tak bisa menanam padi. Mereka beralih menanam kedelai. Tak lagi, para petani di wilayah ini akan menuai hasilnya.

Di beberapa kecamatan sudah mulai panen kedelai. Di antaranya Kecamatan Margomulyo, Dander, Sumberejo, Balen, Kapas, Kedungadem, dan se­bagian di Kanor. Jangka waktu panen telah dimulai pada pekan ketiga Agustus hingga akhir September mendatang.

Menurut Kepala Desa Mojoranu, Kecamatan Dander, Lukman Hakim, dalam waktu satu pekan ini, petani di desanya sudah panen kedelai. Selain itu, ada kemungkinan akan terjadi panen secara bergiliran dalam 15 hari ke depan.

"Kedelai punya saya juga sudah mulai panen," ujarnya.

Lukman menyebutkan di desanya terdapat 160 hektare tanaman kedelai yang siap panen. Tanaman berumur 85-90 hari ini sudah mulai ditan­am pada Juni laluâ€"beberapa saat setelah panen padi.

Tiap panen, rata-rata di Desa Mojoranu menghasilkan ke­delai sebanyak 2,5-3 ton per hektare. "Ketersediaan air dari aliran mata air dari Kampung Sumberarum, Dander membuat hasilnya bagus," terangnya.

Bukan hanya di Desa Mojoranu, beberapa desa di Kecamatan Dander juga sedang memasuki masa panen kedelai. Seperti Desa Sendangrejo, Desa Ngraseh. Kemudian di Desa Bendo dan sebagian di Desa Tanjunghardjo, Kecamatan Kapas, juga tengah panen. Rata-rata harga kedelai di ting­kat petani sebesar Rp 7.000-Rp 7.500 per kilogram.

Berdasarkan data di Dinas Pertanian Bojonegoro, luas tanaman kedelai pada tahun ini mencapai 19-20 ribu hek­tare, yang tersebar di beberapa kecamatan. Untuk daerah iri­gasi, seperti di beberapa desa di Kecamatan Dander dan di Kecamatan Kanor, diterapkan pola tanam 2:1, yaitu dua kali tanam padi dan kedelai satu kali dalam setahun.

Sedangkan di luar daerah itu, seperti di Kecamatan Margomulyo, Balen, Sumberejo, dan sebagian di Kecamatan Kedungadem, digunakan pola tanam padi satu kali dan kedelai satu kali. Selain bagi petani, musim panen kedelai pada Agustus-September ini berdampak positif bagi kelangsungan pelaku usaha rumahan, yaitu perajin tahu dan tempe. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA