Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ikut Lomba Nyanyi Lagu Jawa, Peserta Pakai Kebaya

Agustusan di Kampung Jawa Suriname

Selasa, 11 Agustus 2015, 10:38 WIB
Ikut Lomba Nyanyi Lagu Jawa, Peserta Pakai Kebaya
Lomba nyanyi lagu Jawa memperingati Agustusan di Suriname
rmol news logo Seperti masyarakat Indonesia, para keturunan Jawa di Suriname juga memiliki tradisi Agustusan. Mereka menggelar perayaan untuk memperingati migrasi orang Jawa ke negeri di benua Amerika ini. Tahun ini spesial karena memparingati 125 tahun migrasi.

Kemeriahan Agustusan yang digelar keturunan Jawa itu tak kalah jauh dibanding di negeri asal nenek moyang mereka. Pasar malam digelar di desa-desa yang mayoritas penduduknya ketu­runan Jawa. Seperti di Tamanrejo, Distrik Commewijn; Kwarasan dan Purwodadi (Wanica); Sidadadi, Sidorejo, serta Dam Malang (Saramaca).

"Iki pestane wong Jowo nang kene. Setahun sepisan. Dadi yo diseneng-senengke (Ini pesta orang Jawa di sini. Setahun seka­li. Jadi ya disenang-senangkan)," ujar sesepuh Desa Purwodadi Salimin Ardjooetomo alias Captain Does.

Dan keriangan itu benar-be­nar terlihat dalam Pop Song Jawa Open Festival di Gedung Indra Maju (baca: Indra Mayu). Sebanyak 23 peserta mengikuti lomba nyanyi khusus lagu-lagu Jawa tersebut. Salah satu peserta berasal dari suku Creol, penduduk asli Suriname.

Penampilan peserta dinilai enam juri serta "dicereweti" ratusan pasang mata yang me­madati gedung terbuka mirip hangar pesawat itu. Hampir setiap peserta yang tampil diso­raki. Kalau tidak tahan dengan teriakan penonton, si peserta bisa grogi.

Jangan dibayangkan lomba nyanyi di Suriname itu seperti kontes nyanyi di Indonesia. Kalau di Indonesia, mungkin lomba itu masih sekelas lom­ba di kampung-kampung saat Agustusan. Jadi sangat seder­hana. Hanya kemasannya yang "serius". Untuk menyaksikan lomba tersebut, penonton ditarik tiket masuk sekitar Rp 80.000 per orang. Mereka bebas mau menonton sambil berdiri atau duduk di kursi plastik yang disiapkan panitia.

Lantaran lomba bersifat "open", peserta tidak dibatasi umur. Itu sebabnya, ada peserta yang masih 17 tahun. Ada juga yang sudah kakek-kakek dengan giginya yang mulai ompong. Pakaian mereka juga sederhana, pakaian sehari-hari. Hanya satu dua yang tampil dengan pakaian "resmi" lomba. Misalnya mengenakan jas lengkap atau memakai kebaya bagi peserta putri.

Mayoritas peserta juga tidak memedulikan penampilan di bagian wajah. Bahkan, ada peserta putri dengan penampilan seperti habis bangun tidur. Tanpa bedak, gincu, apalagi lipstik. Polos. Begitu pula peserta putra yang tidak memperhatikan rambutnya yang dibiarkan acak-acakan.

"Itu tidak prinsip. Yang penting nyanyinya bagus," kata MC kocak Andrahman yang fasih berbahasa Indonesia.

Para peserta terdiri dari 17 laki-laki dan 6 perempuan bebas menyanyikan lagu pop Jawa kesenangannya. Beberapa mem­bawakan lagu milik penyanyi Indonesia yang memang ngetop di Suriname. Misalnya Hello Sayang milik Didi Kempot, Nggo Kowe (Eddy Silitonga), atau Ojo Podo Nelongso (Koes Plus).

Kebanyakan lagu yang dib­awakan bertema kisah asmara. Contohnya lagu Bocah Ayu milik Ragmad Amatstam, Ra Tak Kiro (Wakijan), Loro Atiku (Mantje K.), Kadung Trisno (Oesje), dan Kangene Ati (Maroef Amatstam).

Meski pada saat peserta tampil penonton bebas menyoraki, tepuk tangan tetap bergema be­gitu peserta menyelesaikan la­gunya. "Orlando…Orlando…I love you…," teriak penonton ce­wek untuk penampilan Orlando Kertoidjojo yang malam itu me­nyanyikan lagu Eddy Silitonga Arek Ayu nanging Rewel.

Dalam beberapa penampilan, penonton sering dibuat terping­kal-pingkal menyaksikan aksi panggung peserta. Salah satu yang mengundang tawa adalah penampilan Wensly Kamperveen yang membawakan lagu Ojo Podo Nelongso. Dengan penuh percaya diri Wensly melakukan gerakan-gerakan tubuh yang dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton dan dewan juri. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Juri maupun penonton justru dibuat tertawa melihat gerakan pemuda 30 tahun yang kaku dan terkesan menghafal itu.

Puncaknya terjadi saat peserta nomor 20 tersebut asyik berjoget sambil memutar-mutar tubuh di akhir lagu. Beberapa saat kemu­dian, keseimbangannya tiba-tiba hilang. Tubuhnya terhuyung dan akhirnya terjatuh di panggung. Tawa ratusan penonton pun me­ledak disertai teriakan-teriakan menggunakan bahasa gado-ga­do: Jawa, Belanda, maupun taki-taki (bahasa pergaulan). Meski begitu, tepuk tangan dan sorak sorai "apresiasi" tetap diberikan untuk Wensly yang berani tampil beda malam itu.

"Ora popo direwangi sampe jungkel barang. Sing penting melu nguri-uri budaya Jawa, kabudayane awak dewe (Tidak apa-apa berkorban sampai jatuh. Yang penting ikut melestarikan budaya Jawa, kebudayaan kita)," komentar Andrahman yang ikut tertawa di samping panggung.

Yang memprihatinkan, banyak peserta yang tidak tahu arti lagu yang dibawakan. Misalnya yang ditunjukkan seorang peserta la­ki-laki yang tampil dengan lagu Kembang Turu (Ira Herlina). Oleh Andrahman, peserta itu sengaja dites terkait kemampuan bahasa Jawanya.

"Kowe dunung artine lagu Kembang Turu opo ora (Kamu paham arti lagu Kembang Turu tidak)?" tanya mantan ketua Untaian Persahabatan Suriname-Indonesia itu. Yang ditanya hanya mesam-mesem dan meng­gelengkan kepala.

"Iki lak lucu. Iso nyanyine, tapi ora dunung artine (Ini kan lucu. Bisa menyanyikan lagunya, tapi tidak tahu artinya)," ujar MC kondang Suriname tersebut.

Menurut Andrahman, lomba itu memang semata-mata bertu­juan mengajak warga keturunan Jawa di Suriname mau meles­tarikan budaya dan bahasa yang diwariskan nenek moyang.

"Terutama anak-anak mudan­ya. Biar bahasa Jawa tidak punah karena tidak ada penuturnya lagi. Saya ikut prihatin karena anak-anak muda sekarang tidak tahu warisan budaya nenek moyang," tegasnya.

Lain lagi yang ditunjukkan tiga pelawak muda yang tergabung di Kabaret Does. Mereka adalah Edy Ronokaryo, Gwen Mardan, dan Rubes Kartopawiro. Penampilan mereka di arena charity bazaar yang diselenggarakan KBRI di Suriname menyedot perhatian pengunjung. Sepanjang pertun­jukan penonton dibuat tertawa dengan joke-joke Edy cs yang nyerempet-nyerempet saru.

"Aku ngono wis biasa ditem­bak. Malah nek ora onok sing nembak, aku malah njaluk ditembak (Aku sih biasa ditem­bak. Malah kalau tidak ada yang menembak, saya minta ditem­bak)," kata pelawak dengan nama panggung Susan itu.

Selama 30 menit tiga laki-laki genit tersebut memang mampu mengocok perut penonton. Tik-tak ketiganya berjalan spontan, cepat, dan segar. Padahal, selain berbahasa Belanda, mereka membanyol dengan bahasa Jawa ngoko yang lincah.

Ketika ditanya siapa yang men­gajari bahasa Jawa, ketiganya mengaku tidak ada. Mereka hanya mendapatkan "pelajaran" berbahasa Jawa itu di rumah lewat kedua orang tua masing-masing.

"Yo karo pergaulan nang grup iki. Ora ono liya (Ya dengan pergaulan di grup ini. Tak ada yang lain)," ujar Gwen yang di panggung bernama Evita.

"Mosok sih basa Jawaku wis apik (Masak sih bahasa Jawa saya sudah bagus)?" timpal Rubes alias Selly.

Ketiganya juga mengaku main kabaret untuk menyalurkan hobi melawak. Sehari-hari mereka punya profesi lain. Edy dan Gwen bekerja di salon, sedangkan Rubes menjadi perawat di sebuah rumah sakit.

Tapi, dari hobi melawak menggunakan idiom-idiom Jawa itu, ketiganya bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan layak. Hampir setiap minggu ada saja yang menanggap mereka. Baik tampil secara freelance maupun bersama grup. Setiap manggung mereka mendapatkan bayaran jutaan rupiah. Umumnya mereka dibayar dengan dolar Amerika.

"Saben pamer iso oleh 150 dolar Amerika sakuwong. Tergantung sopo sing nanggap. Iso luwih akeh, iso luwih sitik. Lumayanlah iso dinggo urip nang kene (Setiap tampil bisa dapat USD 150 atau Rp 2 juta setiap orang. Tergantung siapa yang menanggap. Bisa lebih banyak, bisa lebih sedikit. Lumayan bisa untuk hidup di sini)," papar Edy.

Ngetop Karena Bikin Kabaret Ala Srimulat

Ssiapa yang tak kenal Salimin Ardjooetomo di Suriname? Seniman berkepala gundul itu dikenal luas tidak hanya di kalangan keturunan Jawa, tapi juga kalangan suku lain di Suriname, karena kiprahnya di bidang pelestarian budaya dan bahasa Jawa.

Lewat program Culture en Kuns â€"yakni program acara kebudayaan Jawaâ€" di TV Garuda, Salimin ban­yak dikenal. Mulai warga biasa hingga para pejabat tinggi.

Selain itu, dia jadi masyhur berkat Kabaret Does yang dip­impinnya. Kabaret di Suriname bukan jenis tarian seksi seperti yang dipentaskan di Eropa atau Amerika Serikat, melainkan jenis kesenian menyerupai lawakan ala Srimulat di Indonesia. Saat ini hanya tinggal dua kelom­pok kabaret yang bertahan di Suriname. Selain Kabaret Does, ada Kabaret Taman Hiburan dari Desa Tamanrejo, Commonwijn.

Dari kabaret itulah, Salimin kemudian mendapat gelar Captaint Does. Sebab, dialah pemimpin kelompok lawak asal Desa Purwodadi, Lelydorp, Distrik Wanica, itu.

Tetapi, siapa sangka, di balik keterkenalan Salimin, kehidu­pan kesehariannya jauh dari kemewahan. Dia hidup cukup seder­hana di rumahnya, Soekoredjoweg BR27, Desa Purwodadi, bersama istri, dan empat anak yang selu­ruhnya sudah mentas.

Menurut dia, hidup tidak perlu bermewah-mewah. Asal sandang, pangan, dan papan (rumah) tercu­kupi, sudah wajib disyukuri.

"Sing penting, sehat kwarasan lan gelem nyambut gawe. Ning kene, asal gelem tandang gawe, mesti uripe mulyo. (Yang pent­ing, sehat walafiat dan mau bekerja. Di sini asal mau bekerja, pasti hidup berkecukupan)," ujar salah seseorang sesepuh Desa Purwodadi itu.

Desa Purwodadi merupakan desa yang dihuni hampir 100 persen orang keturunan Jawa. Kini warganya berjumlah sekitar 3.000 jiwa, sudah lumayan ban­yak bila dibandingkan sembilan tahun silam. Otomatis rumah penduduk makin banyak dan bagus-bagus. Jalan desanya juga mulus-mulus. Setiap saat terlihat mobil berbagai merek melintas dengan kencang, keluar masuk desa.

Bahkan, kini empat supermarket milik warga Tionghoa mewarnai desa dengan dua masjid menghadap ke barat dan dua masjid menghadap ke timur itu. (Di Suriname, masih ada paham di sebagian masyarakat Islam Jawa bahwa salat itu mesti menghadap barat seperti yang diajarkan nenek moyang mereka dari Indonesia. Padahal, letak geografis Suriname berada di sisi barat Kakbah se­hingga semestinya kiblat salat menghadap timur. Karena itu, hingga kini masih banyak masjid di Suriname yang posisi kiblatnya barat dan timur).

Tak jauh dari desa tersebut juga ada kasino yang memang dilegalkan di negara itu. Di tempat judi tersebut tak sedikit warga keturunan Jawa yang bertaruh memperebutkan "endog blorok" alias jackpot.

Sekalipun Purwodadi banyak berubah, kondisi rumah Salimin hampir tak mengalami peruba­han yang berarti. Sebagian dind­ingnya masih tetap memakai pa­pan kayu (seperti rumah-rumah transmigrasi di Indonesia dulu), sebagian lainnya bertembok batako. Begitu pula atapnya, tetap memakai seng.

Yang berubah, kini rumah Salimin tampak sepi. Tak ada lagi anaknya yang tinggal serumah dengan dia. Rumah dengan ukuran sekitar 20 x 20 meter itu sekarang hanya ditingga­li Salimin bersama istrinya, Roosmi Tambeng.

"Sakmeniko lare-lare sampun gadah griya piyambak-piyam­bak. Sampun urip dewe-dewe (Sekarang anak anak sudah punya rumah sendiri-sendiri. Sudah hidup sendiri-sendiri)," ujar presenter kondang itu.

"Ibarate, tugas kulo sakniki sampun rampung. Lare-lare sampun mentas sedaya, sam­pun gadah tanggung jawab nguripi rayate piyambak-pi­yambak (Ibaratnya, tugas saya sudah selesai. Anak-anak sudah berkeluarga semua, sudah punya tanggung jawab menghidupi keluarganya masing-masing)," jelas kakek delapan cucu yang fasih berbahasa Jawa kromo (halus) itu.

Hampir seluruh anak dan menantu Salimin keluar rumah untuk bekerja. Mereka umum­nya tipe pekerja keras. Baik menjadi pegawai negeri maupun pegawai swasta. Hidup mereka kini berkecukupan.

Meski tidak bisa dibilang mewah, fasilitas di rumah anak-anak Salimin cukup lengkap. Mau apa saja ada. Bahkan, setiap rumah itu memiliki minimal dua mobil.

13 Seniman Pameran Lukisan Budaya Jawa
Rindu Kampung Halaman Leluhur

Lewat seni lukis, orang-orang keturunan Jawa di Suriname mengungkapkan kerinduan terhadap kampung halaman nenek moyang di Indonesia. Mereka ingin tahu sekali seperti apa tanah leluhur itu.

Rene Tosari, 67, girang sekali begitu mengetahui bahwa ada wartawan dari Indonesia di acara pembukaan pameran lukisan 13 seniman keturunan Jawa yang paling kondang di Suriname. Dia buru-buru mencari wartawan yang datang agak telat karena baru turun dari pesawat.

"Wah, piye kabare, Pak (bagaimana kabarnya, Pak)? Apik-apik wae to (Baik-baik saja, kan)?" ujarnya sembari menjabat tangan sang wartawan dengan erat.

Wajahnya berbinar. Senyumnya terus mengembang. "Kapan tekane (Kapan datangnya)? Karo sopo (Dengan siapa)? Turu ning endi (Tidur di mana)?" cerocos Tosari.

Setelah berbasa-basi, mulailah dia bercerita tentang lukisannya yang diberi judul "Kangen Simbah". Lukisan tersebut menggambarkan seorang yang tua sedang memangku anak kecil bersama dua orang lain di kanan dan kirinya. Gambar utama itu diberi hiasan pohon-pohon kelapa yang melambai.

"Ini aku dipangku simbah. Kalau ini orang tua angkatku dan ini saudaraku," tutur Tosari sambil menunjuk gambar di­rinya waktu masih kecil itu.

"Tapi, aku wis lali kabeh jenenge (Tapi, saya sudah lupa nama mereka)," imbuh pelukis plontos yang tidak mengetahui orang tua kandungnya itu.

Masih dalam satu frame, di sebelah kiri kanvas, Tosari juga menggoreskan cat minyaknya yang menunjukkan "sejarah" leluhurnya. Digambarkan ka­pal Besoeki yang katanya membawa nenek moyangnya dari Jawa ke Suriname pada 16 Juni hingga 27 Agustus 1907. Terus, di bawahnya tertulis Kedoe, Poerworejo.

Menurut bapak tiga anak itu, leluhurnya berasal dari Desa Kedoe, Purworejo, Jawa Tengah. Tapi, dia tidak tahu letak Purworejo. Karena itu, Tosari berharap di sisa-sisa hidupnya masih bisa merunut sejarah leluhurnya itu di Indonesia. Kalau toh sekarang sudah tidak ada lagi yang tersisa, paling tidak dia bisa mengetahui lokasi Desa Kedoe dan kondisinya kini. Dia juga penasaran, mengapa diberi nama Tosari.

"Aku ingin sekali datang ke desa itu. Karenanya, nanti, kalau Pak Gubernur Jateng (Ganjar Pranowo) datang ke sini, aku ingin menyampaikan unek-unek hidupku di tanah Suriname ini kepada dia," paparnya.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dijadwalkan akan datang di acara Indo Fair 2015 yang dilaksanakan September mendatang di Sana Budaya, Paramaribo. Indo Fair meru­pakan ajang promosi perda­gangan yang menampilkan produk-produk Indonesia. Kegiatan itu diselenggarakan setiap tahun.

Tahun ini KBRI di Suriname secara khusus mengundang Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai tamu kehormatan. Biasanya, delegasi pengusaha dan pemerintah yang ditun­juk sebagai tamu kehormatan akan dipimpin gubernurnya langsung. Karena itu, Tosari, seperti disarankan Dubes RIdi Suriname Dominicus Supratikto, akan menemui langsung Ganjar di Indo Fair nanti.

"Aku tadi diberi tahu Pak Dubes bahwa pas Indo Fair nan­ti gubernur Jawa Tengah akan datang. Aku mau ngomong dengan dia," kata dia.

"Jeritan hati" Tosari itu hanya satu di antara puluhan lukisan dari 13 pelukis keturunan Jawa paling top di Suriname yang berpameran di Gedung De Hal, Paramaribo, awal bulan ini. Pameran lukisan itu meru­pakan cara para seniman untuk turut meramaikan perayaan peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname yang puncaknya pada 9 Agustus.

Selain Tosari, ada 12 pelukis lagi. Antara lain Soekijan Irodikromo, Sri Rubinah, Ogust Buhe, Asmorejo, Robert Bosari, Steven Towiryo, dan Sadirin Singo Astro. Juga ada Rasidin, Ardi Setro Prawiro, Daeri Joyo Atmo, Suhada Kasto, dan Kim Sonto Sumata. Hampir seluruh lukisan bertema Jawa. Ada yang berkisah tentang kerinduan akan sosok leluhur atau objek yang terkait dengan khazanah budaya Jawa.

Sambil menikmati suguhan peyek kacang, tape ketan, pisang goreng, lemper, dan Parbo Bier, banyu londo khas Suriname, para tamu dapat membayangkan "mimpi" para pelukis saat menggoreskan cat minyaknya pada bidang gambar. Misalnya karya Soeki, sapaan Soekijan Irodikromo, yang paling menonjol di antara karya-karya pelukis lain.

Dalam pameran itu, pelukis 70 tahun tersebut membawa lima karyanya. Semuanya bertema tari. Ada tarian gebyar batik, asmoro, selendang, dan kerincing mas. "Ini kegelisa­han saya kepada anak-anak Jawa di Suriname yang mulai meninggalkan budaya tradisi nenek moyangnya," ujar pelu­kis yang ngangsu kaweruh di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (kini ISI) pada 1979â€"1980 itu.

Dia lalu menceritakan, se­masa kecil di Desa Roos en Weerk, Commewijn, dirinya hanya mendengar alunan gamelan yang ditabuh bapak-ibunya. Tidak ada televisi dan produk kebudayaan Barat lainnya.

"Pokoke, saben-saben mung krungu suara gamelan. Ora ono liyan (Pokoknya, setiap saat hanya mendengar su­ara gamelan. Tidak ada yang lain)," tuturnya.

Selain dikenalkan dengan gamelan, tentu saja dia diajari melukis oleh orang tuanya. Sampai akhirnya bakat itu benar-benar tertanam dalam jiwanya dan menjadi sumber penghidupannya.

"Ya, aku hidup dari melukis, dari kesenian Jawa," ujar Soeki, yang lukisan tarian kerincing masnya laku USD 2.900 (seki­tar Rp 38,5 juta dengan kurs Rp 13.300 per dolar). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA