Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dipagari Hutan Bakau Lebat, Pedalaman Belum Terjamah

Pulau Naduk, Tempat Karantina Sapi Impor

Minggu, 09 Agustus 2015, 10:59 WIB
Dipagari Hutan Bakau Lebat, Pedalaman Belum Terjamah
ilustrasi/net
rmol news logo Tengah hari bolong, perahu boat yang dikemudikan Rusman membelah lautan. Kecepatannya pelan. Angin kencang membuat laut bergejolak, perahu kayu itu pun bergoyang-goyang.
 
"Kita melintang arah angin," kata Rusman yang santai menge­mudikan perahu dengan kaki. Kemudi perahu sudah dimodi­fikasi menggunakan kayu semeter hingga ke atap perahu. Rusman mengemudikan dari atap.

Mengarungi Selat Mendanau selama 45 menit, Pulau Naduk mulai terlihat. Pulau itu besar. Luasnya sekitar 2.100 hektar. Sejauh mata memandang rimbun dengan pepohonan. Pantainya ditutupi hutan bakau.

Pulau yang belum banyak dijamah manusia ini akan dijadi­kan tempat karantina sapi impor. Pulau Naduk berada di wilayah Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung.

Dermaga Tanjung Ru, di Desa Pegantungan, Kecamatan Badau adalah akses paling dekat menu­ju Pulau Naduk. Kondisi der­maga ini memprihatinkan. Tidak papan penunjuk arah menuju dermaga ini.

Dari jalan besar berbelok ke jalan yang masih berbadan ta­nah. Jalan itu selebar dua meter, membelah pemukiman warga. Di bibir pantai terlihat jembatan beton menuju dermaga. Panjang sekitar 25 meter. Hati-hati me­lintasinya karena berlubang-lubang. Jika terperosok langsung tercebur ke laut. Sejumlah anak kecil mengail ikan lewat lubang-lubang itu.

Di ujung dermaga terlihat perahu-perahu ditambatkan. Perahu siap mengantarkan ke pulau-pulau di bagian barat Kabupaten Belitung, yakni Pulau Mendanau, Nasik dan Naduk.

"Jarang ada orang ke Pulau Naduk, itu pulau kosong," ujar Rusman, nelayan yang sekali­gus menyewakan perahu untuk transportasi laut.

Perahu boat, demikian warga menyebut kapal untuk mengan­tar penumpang ke pulau-pulau itu. Kapasitasnya 20 orang. Ongkosnya Rp 20 ribu per orang. Jika penumpang membawa sepeda motor dikenakan tarif Rp 20 ribu lagi.

Sejak berembus kabar Pulau Naduk akan dijadikan tempat karantina sapi impor, perahu Rusman banyak disewa. Penyewanya para peneliti dari Pusat Karantina Hewan Kementerian Pertanian.

Para peneliti kerap bolak-balik ke pulau ini. Rusman pun mematok tarif borongan: Rp 600 ribu per hari untuk pergi-pulang ke Pulau Naduk dari Dermaga Ru. Perahu inilah yang ditumpangi Rakyat Merdeka saat berkunjung ke Pulau Naduk awal pekan lalu.

Merapat ke Pulau Naduk, Rusman yang baru menginjak usia 24 tahun mengarahkan kemudi perahu menyusuri pesisir. Dari kejauhan terlihat sebuah rumah kayu berdiri di tepi laut.

Rusman menuturkan rumah itu ditinggali satu keluarga satu-satunya penghuni pulau ini. Mereka sudah turun temurun tinggal di pulau ini sejak dekade 1980-an.

Setelah berlayar sekitar 1 jam, perahu menepi di rumah kayu itu. Belum ada dermaga di Pulau Naduk. Apalagi akses jalan untuk ke pedalaman. Perahu tak bisa merapat ke pantai. Penumpang pun nyebur ke laut untuk sampai ke daratan. Kedalaman airnya sedada orang dewasa.

Rusman menyandarkan per­ahu ke keramba milik keluarga penghuni Pulau Naduk. Ada delapan kolam terapung yang membudidayakan ikan hias, ikan kerapu, hingga sotong. Dari usaha ini, keluarga itu bisa hidup. Hasil budidaya dijual ke Belitung. Ada juga pembeli yang datang langsung ke sini.

Rusman menambatkan tali ke keramba agar perahu tak terseret arus laut. Di kejauhan, terlihat perahu kayu merapat ke rumah yang disebut warga sebagai Rumah Naduk ini. Seorang wanita turun dari perahu dengan mem­bawa tiga kardus. Isinya ber­bagai barang kebutuhan hidup. Nama wanita itu Lindawati. Keluarganya penghuni pulau ini.

Linda dan ayahnya turun dari perahu melewati jembatan kecil dari kayu. Semacam dermaga sederhana untuk ke tempat tinggal mereka tanpa perlu nyebur ke air.

Rumah keluarga Linda men­jadi tempat istirahat para pe­neliti Pusat Karantina Hewan sebelum masuk ke pedalaman. Puluhan tahun menghuni pu­lau ini, keluarga Linda belum pernah mengeksplorasi Pulau Naduk. Keluarga Linda tak ikut mendampingi peneliti yang in­gin masuk ke pedalaman. "Saya sendiri belum pernah masuk ke dalam Pulau Naduk," aku Linda.

Ia takut masuk ke pedalaman pulau yang hutannya masih perawan ini. Selama ini keluarnya hanya membuat jalan di pantai dekat ru­mah dan menggali sumur air.

"Nggak berani ke dalam. Ambil air juga kalah siang saja," kata Linda. Ia tak menjelaskan alasan ketakutan keluarganya.

Akses untuk ke pedalaman Pulau Naduk memang sulit. Pesisir pulau semuanya tertutup hutan bakau yang lebat. Jangankan untuk bisa ditembus manusia, untuk perahu bersandar saja, sulit. Makanya Rusman memilih bersandar di keramba keluarga Linda.

Kepada peneliti dari Kementan, Linda dan keluarga menyam­paikan rasa senangnya jika Pulau Naduk dijadikan tempat karantina hewan. Artinya, akan ada sentu­han pembangunan di pulau ini. Orang pun akan berdatangan.

Tinggal di Pulau Naduk sendirian, kelurga Linda harus menyediakan sendiri fasilitas penunjang hidup. Salah satunya listrik. Keluarga ini mendapat pasokan listrik dari genset berba­han bakar solar. Solarnya dibeli dari Belitung.

Di rumahnya, keluarga Linda memasang lampu-lampu watt besar. Lampu-lampu baru diny­alakan ketika matahari meny­ingsing. Keluarga ini sengaja memasang lampu berwatt besar agar rumah mereka yang berdiri di atas laut tak ditabrak kapal yang melintas. Lampu-lampu ini menjadi semacam mercusuar Pulau Naduk.

Mau ke Luar Pulau, SMS Minta Dijemput Perahu Nelayan

Sejak 1985 keluarga Lindawati mendiami Pulau Naduk. Keluarga ini membudidayakan ikan kerapu, ikan hias dan sotong. Tak ada pemukiman penduduk, pulau ini jarang disinggahi transportasi laut.

Bagaimana keluarga ini beper­gian ke luar pulau? "Perahu nelayan harus kita SMS atau telepon baru datang. Karena bukan rute dia ke sini," ujar Linda.

"Rumah Naduk" yang dihuni keluarga ini hanya berukuran 15 meter persegi. Modelnya rumah panggung, berdiri di atas pantai. Hidup terasing, anggota keluarga Linda satu per satu hengkang dari pulau.

Hanya ayahnya Yahya Iskandar, Linda dan suaminya yang bertahan di pulau ini. Adik-adik Linda memilih merantau ke Jakarta.

"Tinggal sendirian di pulau ya harus bisa apa-apa sendiri. Listrik dari kita sendiri. Pakai genset," kata Linda yang kedia­mannya kerap disinggahi peneliti dari Pusat Karantina Hewan Kementerian Pertanian. Peneliti itu tengah merampungkan uji kelayakan Pulau Naduk sebagai tempat karantina sapi impor.

Rusman, nelayan yang me­nyewakan perahu angkutan pen­umpang ke pulau-pulau di barat Belitung, paham jalur pelayaran ke Pulau Naduk. Perahunya kerap disewa para peneliti.

Ia mengatakan perlu berhati-hati melintasi perairan jika me­masuki bulan Oktober hingga Januari. Selama empat bulan itu, banyak kapal-kapal besar beristirahat usai mengarungi laut internasional.

"Kapal barang yang banyak, penumpang juga ada. Kalau ditarik lurus, ini sampai ke Tanjung Priok (Jakarta)," ujar Rusman.

Selat Mendanau, yang men­gapit Pulau Mendanau dan Belitung merupakan jalur perai­ran. Berada di selat, angin dan arus di jalur pelayaran menuju Pulau Naduk relatif tenang. Kapal-kapal besar, biasa berhenti sejenak di tempat itu untuk beri­stirahat kemudian melanjutkan kembali perjalanan.

Rusman menceritakan, tidak ada masalah saat kapal-kapal itu berhenti di perairan selat. Saat perahu melintas, biasanya kapal besar dalam kondisi diam atau berjalan pelan.

Rusman mengira, lokasinya yang tak jauh dari jalur perairan internasional, membuat Pulau Naduk dipilih jadi tempat karan­tina sapi impor.

Selain akses ke Tanjung Priok, kata Rusman, dari perairan di Selat Mendanau dapat menuju Kalimantan, dan negara-negara Asia Tenggara. Namun pulau-pulau yang kerap disinggahi kapal barang manca negara ini belum tersentuh pembangunan.

"Di Naduk itu aja ngga ada dermaganya," katanya.

Rusman menceritakan, potensi pariwisata perairan ini sangat besar. Lautnya jernih, belum tercemar limbah. Terumbu karangnya cantik. Bertahun-tahun, ia mengantarkan turis asing me­nyelam di perairan ini.

"Kebanyakan dari Australia dan Jerman," sebutnya.

Sayang infrastruktur pariwisata di kawasab ini masih minim. Satu-satunya resor atau pengina­pan untuk turis hanya di Pulau Mendanau.

Rusman berharap wisata bahari bisa dikembangkan di perairan Selat Mendanau. Masih lahan di pulau-pulau kosong yang bisa dikembangkan untuk keperluan itu. "Kalau turis datang, Belitung pasti lebih maju," pungkasnya.

Belitung mulai dikenal luas sejak film "Laskar Pelangi" yang diangkat dari novel Andrea Hirata. Dalam cuplikan film itu, ada adegan anak-anak bermain di antara bebatuan granit yang menjulang tinggi di pantai dan air laut yang jernih.

Penelitian Dikebut, 2 Kali Seminggu ke Pulau Naduk
2016, Tempat Karantina Wajib Berdiri

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan ke­pada pemerintah agar membuat tempat karantina bagi-bagi he­wan impor. Tempat karantina itu harus sudah beroperasi dua tahun sejak undang-undang ini berlakukan. Artinya paling lambat 2016.

Hingga kini, pemerintah belum bisa memenuhi kebutu­han daging sapi dari produksi dalam negeri. Sehingga masih perlu impor sapi. Sapi-sapi dari luar negeri perlu dikaran­tina dan dicek kesehatannya. Ini untuk mencegah sapi yang terjangkit penyakit berbahaya seperti penyakit kuku dan mulut dan sapi gila beredar di dalam negeri.

Balai Karantina Pertanian Kementerian Pertanian melirik tiga pulau untuk menjadi tempat karantina dan pemeriksaan kesehatan sapi impor. Yakni Pulau Naduk di Bangka Belitung, dan Pulau Simoang di Sulawesi Tenggara. Satu lagi pulau di Kepulauan Riau (Kepri).

Setahun sebelum tenggat waktu, Kementan belum merampungkan kajian mengenai pulau karantina ini. Saat berkunjung ke Pulau Naduk, awal pekan lalu, belum terlihat sentuhan pem­bangunan di pulau yang hanya dihuni satu keluarga itu.

Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Badan Karantina Pertanian Kementan, Sujarwanto mengamini belum adanya pembangunan di Pulau Naduk. Tahun ini, pihaknya masih fokus melakukan sejumlah kajian dan penelitian.

"Untuk persiapan pembangunan pulau karantina kami telah melakukan beberapa kajian mendalam. Harapannya agar kajian, perencanaan, dan payung hukumnya selesai ta­hun ini jadi tahun depan sudah bisa dibangun fisiknya," jelas Sujarwanto.

Rencananya, Pulau Naduk akan menjadi tempat karantina sapi impor dari Australia dan Selandia Baru.

Sejak tahun lalu, pengka­jian sudah dimulai. Dua hari dalam sepekan peneliti datang ke Pulau Naduk untuk meneliti berbagai aspek tempat ini. Sebelum memulai penelitian, mereka selalu singgah ke rumah yang ditinggali keluarga Linda.

Para peneliti dari Jakarta di­dampingi staf Dinas Pertaniab Kabupaten Belitung saat berkunjung ke Pulau Naduk. Perahu yang ditumpangi peneliti selalu bersandar di pinggir rumah keluarga Linda yang berdiri di atas air. Sebab di pulau ini belum ada dermaga untuk bersandar kapal.

"Penangkaran ikan kerapu milik Lindawati banyak mem­bantu kami selama melakukan survei di Pulau Naduk beberapa bulan terakhir ini," kata Yazid Ansori, pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Belitung yang mendampingi peneliti Pusat Karantina Hewan Kementerian Pertanian.

Bolak-balik ke Pulau Naduk, Yazid pun akrab dengan kelu­arga Linda, satu-satunya penghuni pulau ini.


Lahan Kosong Masih Luas, Bisa Tampung 40 Ribu Sapi
Alasan Bikin Tempat Karatina di Pulau

Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan Pulau Naduk, Bangka Belitung men­jadi pulau khusus karantina sapi impor.

Kapala Pusat Karantina Hewan dan Sumber Daya Hayati Hewani Badan Karantina Kementan, Sujarwanto mengatakan, pembangunan pulau itu untuk mendukung program swasembada daging sapi. Sapi yang masuk ke pulau karantina hanya untuk sapi induk impor, sebelum dikembangkan di Indonesia.

"Jadi kalau bergantung pada sapi indukan lokal itu lama. Makanya tujuan pulau karan­tina ini supaya dimungkinkan kita bisa impor sapi indukan dari negara-negara risiko tinggi dari penyakit mulut dan kuku (PMK)," ujar Sujarwanto.

Sejak UU Nomor 18 Tahun 2009 direvisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Indonesia bisa mengimpor sapi dari zone base dari suatu begara. Namun belum seluruhnya satu negara yang jadi country base itu bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) maupun sapi gila.

Untuk mencegah hewan dari PMK, khususnya dari sapi in­dukan impor yang baru datang ke Indonesia, harus ada pengawasan cermat dengan memeriksa sapi di pulau karantina.

"Kebetulan tahun 2014 ada revisi UU peternakan yang membolehkan masuknya sapi indukan dari negara yang bebas ataupun negara yang belum bebas dari penyakit PMK," katanya.

Sujarwanto mengatakan, sejalan dengan perubahan aturan itu, maka Pulau Naduk di Belitung dikaji lebih menda­lam, untuk kemungkinan me­masukan sapi-sapi impor indukan asal negara zone base.

"Memasukkan sapi indukan untuk tujuan peningkatan pop­ulasi sapi dari luar negeri agar cepat swasembada," katanya.

Kepala Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, Banun Harpini menyampaikan, rencana pembuatan pulau karantina untuk sapi masih dalam tahap studi kelayakan.

Banun menuturkan, rencananya ada tiga bakal lokasi yang akan diperuntukkan pulau karantina ini, yaitu Pulau Naduk di Bangka, Pulau Simoang di Sulawesi Tenggara dan satu pulau di Kepulauan Riau.

Banun menaksir, studi kelayakan akan selesai pada penghujung tahun ini. Sehingga awal tahun depan bisa dimulai pembangunan pulau karantina sapi, setelah keluar hasil analisis tim epidemiologi. Tim ini ber­tanggungjawab untuk pengendalian penyakit serta analisis dan dampak lingkungan.

Adapun fasilitas yang perlu dibangun di pulau karantina di antaranya, kandang, kandang isolasi dan untuk pemeriksaan, pastura atau padang penggem­balaan, serta fasilitas yang menunjang keselamatan dan keamanan biota (biosafety, biosecurity).

Banun belum bisa merinci kebutuhan anggaran untuk pembangunan pulau karantina. "Kebutuhan anggaran tergan­tung ruang lingkup, sarana-prasarana, dan untuk jenis sapi apa saja," kata Banun. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA