Secara etimologis, telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari kata politiek (politik) dan recht (hukum).
Menurut Mahfud MD, pengertian hukum dalam kaitannya dengan politik dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik adalah benar jika didasarkan pada ‘
das Sein’ (kenyataan), dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.
Jika hukum diartikan sebagai ‘
das Sollen’ (keinginan atau keharusan) atau hukum tidak diartikan sebagai undang-undang maka hukum bukanlah produk politik. Hukum bisa diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mencakup UU, bisa juga diartikan sebagai putusan pengadilan dan bisa juga diberi arti lain yang jumlahnya bisa puluhan.
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja politik dan hukum itu interdeterminan†sebab politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuhâ€. KC Wheare berpendapat bahwa konstitusi merupakan resultante (produk kesepakatan politik) sesuai dengan situasi politik, ekonomi dan budaya pada saat dibuat. Dalam rumusan Mahfud MD, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Apabila ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik, apakah hukum yang memengaruhi politik atau politik yang memengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga jawaban yang dapat menjelaskannya.
Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan; dan ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan hukum.
Mahfud MD menyatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum. Ilmu hukum diibaratkan sebagai pohon, filsafat merupakan akarnya, dan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara dan sebagainya. Di sinilah dapat dikemukakan argumen mengapa politik hukum dilihat sebagai bagian dari ilmu hukum.
Berdasarkan elaborasi ragam definisi, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan mendasar penyelenggaraan negara dalam bidang hukum baik yang akan, sedang, dan telah berlaku, dengan berlandaskan kepada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat guna mencapai cita dan cita-cita negara Republik Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1) Supremasi hukum;
2) Kesetaraan di hadapan hukum; dan
3) Penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Biasanya politik hukum dalam dimensi normatif- operasional dituangkan dalam bentuk hukum negara (
state law), yakni hukum yang secara institusional merupakan produk yang digodok dan dijadikan hukum positif oleh negara (
state apparatus). Karena itu, tidak secara otomatis substansi yang menjadi kebijaksanaannya akan sesuai dengan cita-rasa keadilan rakyat banyak. Malahan cukup sering keberadaannya dianggap sebagai suatu produk politik yang dirasa asing oleh rakyat.
Politik hukum sering berperan sekedar sebagai alat legitimasi bagi suatu rezim dan dijadikan retorika politik belaka untuk mendapatkan pengakuan konstutusional, bahkan lebih jauh lagi disiapkan untuk membuat kekuasaannya menjadi lestari. Sebab, dalam banyak hal politik hukum itu dibuat hanya karena harus dibuat (
by will), bukan dibuat untuk memenuhi cita-rasa keadilan (
by justice) dan melindungi hak-hak asasi rakyat (
by facilitative).
Selain itu, proses pembuatannya kadang bersifat non participative, artinya hanya mereka yang terbatas dan terpilih yang mempunyai otoritas pembuatan konsepsi politik hukum itu saja, tanpa melibatkan segala unsur kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Politik hukum di Indonesia yang berkaitan dengan UMKM tentunya berdasar kepada Pancasila. Pancasila bukanlah hanya menjadi dasar negara tetapi merupakan cita hukum dan sumber tertib hukum nasional. Bahkan intisari dari pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tidak lain adalah nilai-nilai atau perwujudan dari kelima sila dalam Pancasila.
Dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila sebagai cita hukum akan menjadi patron hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, atau dengan kata lain akan berfungsi sebagai barometer dan penguji serta landasan hukum yang selanjutnya akan menjadi dasar bagi peraturan perundangan negara Republik Indonesia. Ketentuan tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang dikutip dari Roeslan Saleh, yaitu:
â€Bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil, melainkan juga berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa cita hukum maka hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.â€
[***] Tulisan ini adalah nukilan dari buku karya Dr. H. Ade Komarudin, MH. berjudul Politik Hukum Integratif UMKM†yang diterbitkan RMBooks (2014).
BERITA TERKAIT: