Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mencermati Arti Daya Saing

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
OLEH:
  • Jumat, 17 Juli 2015, 15:35 WIB
Daya saing merupakan faktor penting yang tidak bisa dihindarkan dalam siklus perekonomian. Khususnya dalam proses produksi barang dan jasa yang dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar. Berbagai instansi dan banyak ahli telah memberikan definisi atas daya saing. Istilah daya saing (competitiveness) meskipun setidaknya telah ‘diawali’ oleh konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) Ricardo sejak abad 18 kini mendapat perhatian yang semakin besar, terutama tiga dekade belakangan ini.

Daya saing, satu dari sekian jargon yang sangat populer, tetapi tetap tak sederhana untuk dipahami. Seperti diungkapkan oleh Garelli, konsep yang multidimensi ini sangat memungkinkan beragam definisi dan pengukuran. Tidaklah mengejutkan jika perkembangan pandangan dan diskusi tentang daya saing tak luput dari kritik dan perdebatan yang juga terus berlangsung hingga kini.
Hampir dua dekade kemudian, diskusi tentang hal ini bahkan meluas, dan perspektif tantang apa dan bagaimana meningkatkan daya saing memperkaya debat yang berkembang. Dalam literatur, bahasan konsep daya saing dapat ditinjau pada tingkat, yakni perusahaan, industri dan negara atau daerah.

Pada bagian kali ini kita membahas definisi daya saing perusahaan.
Dalam ekonomi, daya saing pada tingkat mikro (perusahaan - firm level) sering diartikan sebagai:

1) Kemampuan suatu perusahaan menguasai, meningkatkan dan mempertahankan suatu posisi pasar;
2) Kemampuan suatu perusahaan mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar dan mempertahankan keuntungannya (profitabilitas), pangsa pasar, dan/atau ukuran bisnisnya (skala usahanya);
3) Kapasitas menjual produk secara menguntungkan.

Berdasarkanteoriekonomitradisional,”biayakomparatif produksi menentukan daya saing relatif pada tingkat perusahaan. Dalam hal ini, salah satu cara perusahaan menjadi kompetitif (berdaya saing) adalah dengan memproduksi lebih murah (misalnya mengurangi biaya tenaga kerja). Beragam studi belakangan ini menunjukkan secara konsisten bahwa faktor-faktor, selain harga, setidaknya sama pentingnya dengan faktor harga (bahkan acapkali dipandang lebih penting) sebagai penentu daya saing (determinants of competitiveness).

Patut diakui bahwa konsep daya saing yang paling diterima” adalah pada tingkat mikro. Teori ekonomi mikro secara klasik mengajarkan bahwa dalam suatu arena persaingan bisnis, perusahaan pada dasarnya mempunyai tujuan memaksimumkan keuntungan (profit), Keberhasilan perusahaan diindikasikan oleh keuntungannya atau profitabilitas (profitability).” Jadi dalam bentuk yang paling sederhana,” perusahaan yang tidak mampu untung (unprofitable) adalah perusahaan yang tidak berdaya saing (tidak kompetitif).

Dalam model persaingan sempurna, perusahaan yang tidak berdaya saing akan mempunyai biaya rata-rata yang melebihi harga pasar produk yang ditawarkannya; Nilai sumber daya yang digunakan oleh perusahaan tersebut (opportunity cost) akan melebihi nilai produk (barang dan/atau jasa) yang diproduksi/dihasilkannya. Dalam keadaan demikian terjadi misalokasi” sumber daya, dan ‘kesejahteraan’ (wealth, dalam pengertian teori ekonomi) berkurang dari idealnya. Suatu industri dengan produk homogen, perusahaan yang tidak untung mungkin dikarenakan biaya rata-ratanya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya rata-rata pesaingnya.

Dalam hal ini, produktivitasnya mungkin lebih rendah, atau harus membayar faktor-faktor produksi lebih mahal dibanding pesaingnya, atau keduanya. Produktivitas yang lebih rendah tersebut dapat disebabkan oleh efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi alokatif, atau keduanya (yang menghasilkan efisiensi ekonomi/economic efficiency).

Dalam ekuilibrium pasar yang terdiri dari perusahaan yang memaksimumkan keuntungan pada industri dengan produk homogen, semakin rendah biaya marginal (marginal cost) suatu perusahaan dibanding pesaingnya, maka akan semakin besar pula pangsa pasarnya (market share), ceteris paribus. Karenanya, perusahaan tersebut akan semakin untung pula. Dengan demikian dalam konteks ini, pangsa pasar mencerminkan keunggulan biaya input atau faktor produksi dan/atau produktivitas.

Keadaan seperti disampaikan tersebut dapat berlaku untuk industri dengan produk yang terdiferensiasi (differentiated products industry). Namun bisa juga terjadi (bahkan barangkali sangat kerap dijumpai) bahwa suatu perusahaan (yang kurang berdaya saing) menawarkan produk yang kurang menarik dibanding produk yang ditawarkan oleh pesaingnya. Karena itu perusahaan tersebut akan memiliki pangsa pasar ekuilibrium yang lebih rendah, ceteris paribus. Daya tarik produk (dan/atau perusahaannya) dipengaruhi beragam faktor, termasuk misalnya pemanfaatan sumber dayanya (seperti iklan atau bentuk promosi lain dan/atau pemasarannya, serta litbang).

Profitabilitas (terutama jika dalam periode yang cukup panjang), biaya (dalam produk homogen), produktivitas, dan pangsa pasar (jika perusahaan tidak mengejarnya dengan mengorbankan keuntungannya semata) merupakan indikator daya saing pada tingkat perusahaan yang biasanya menjadi titik mulai (starting points) dalam kajian-kajian (atau pengukuran) daya saing.

Berbagai studi empiris, indikator daya saing tersebut biasanya dijabarkan kepada indikator ekonomi yang tidak selalu persis sama. Bureau of Industrial Economics Australia, misalnya, menggunakan indikator statistik seperti tingkat pertumbuhan penjualan, rasio keuntungan/ penjualan, rasio pertumbuhan keuntungan/turnover, tingkat keuntungan, biaya, dan indikator kualitatif seperti kualitas dan kinerja produk, kepuasan pelanggan, rentang produk, dan fleksibilitas produksi.

Sebagai sesuatu yang sifatnya berkembang dari waktu ke waktu, daya saing perusahaan juga perlu ditelaah dari perkembangannya. Termasuk dalam hal ini adalah ukuran profitabilitas dalam rentang waktu yang cukup panjang, atau bentuk nilai pasar equity perusahaan (misalnya dalam present discounted value). Ukuran lain adalah rasio nilai pasar debt and equity terhadap biaya penggantian (replacement) asetnya (indikator yang sering disebut Tobin’s q).

Berdasarkan ekonomi internasional, perusahaan juga bisa tidak berdaya saing jika pasar diproteksi oleh hambatan perdagangan internasional. Dalam perkembangan dewasa ini, nampak kecenderungan antara lain bahwa hambatan tarif yang semakin longgar (dihapuskan secara bertahap) ‘digantikan’ oleh semakin menguatnya bentuk hambatan teknis (technical barriers), termasuk HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan standarisasi misalnya, yang sangat terkait dengan kemampuan teknologi/litbang atau inovasi perusahaan. Pada tingkat perusahaan, besaran pangsa pasar akan mengindikasikan (dan mempengaruhi) profitabilitas atau kesejahteraan.

Secara umum teori oligopoli mengajarkan bahwa suatu perusahaan yang memiliki pangsa pasar tinggi (besar) biasanya mempunyai kebebasan pilihan lebih tinggi (dibanding dengan pesaingnya) untuk menentukan harga (dalam model perusahaan dominan) atau mempunyai biaya lebih rendah ataupun produk yang lebih menarik dibanding pesaingnya (model variasi konjektural). Hal ini mengindikasikan keuntungan ekonomi (di atas ‘keuntungan normal’/normal profit) yang diperoleh. Implikasi demikian tidaklah otomatis selalu berlaku pada tingkat industri. [***]

Tulisan ini adalah nukilan dari buku karya Dr. H. Ade Komarudin, MH. berjudul Politik Hukum Integratif UMKM” yang diterbitkan RMBooks (2014).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA