"Mama... Mama… Itu ada koÂmedi putar. Iqbal mau naik itu," rengeknya sambil menunjuk ke sebelah kiri, tempat komedi putar berada.
"Aku juga mau Mah," sahut adiknya, Sarah.
Burhan dan Fitri memutuskan untuk mengikuti keinginan kedua anaknya. Mereka pun berjalan ke kiri, tak jauh dari pintu masuk.
Area wahana permainan anak itu cukup luas, dan dikelilingi pagar. Di ujung area yang dekat tembok pembatas arena PRJ terÂdapat dua loket tiket. Tarif naik wahana dibanderol Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu per orang.
Di tempat itu ada beberapa wahana, seperti komedia putar, helikopter, dan kereta mini. Hanya terlihat 5-6 orang anak yang naik komedi putar.
Libur hari raya Waisak dimanfaatkan keluarga Burhan untuk melihat-lihat Pesta Rakyat Jakarta. Meski tanggal merah, PRJ tak tampak ramai. Pengunjung tidak perlu berdesakan jika ingin pindah dari satu stan ke stan lain. Menjelang sore, pengunjung mulai ramai. Namun tak sampai berdesakan.
Stan-stan yang menjual batu akik hanya disambangi 1-2 orang saja. Stan ini terletak di tengah. Para penjaga stan pun berinisiatif keliling menjajakan dagangannya.
Salah satunya, Reni, Sales Promotion Girl (SPG) produk madu. Ia bahkan menawarkan madu hingga ke tempat parkir motor di luar arena. "Dari tadi belum ada yang beli. Kalau cuma nunggu, bisa nggak laku nanti," ujar wanita yang berpakaian serba kuning ini.
Sepinya arena PRJ ini terÂjadi sejak pertama kali dibuka, Sabtu 30 Mei 2015. Minggu malam, para pedagang protes kepada penyelenggara kegiaÂtan ini karena pengunjungnya sedikit. Mereka sudah mengeÂluarkan uang Rp 2 juta untuk bisa menempati stan.
"Pengunjungnya dan yang beli sedikit sekali, nggak sampai seratusan. Rugi besar kami kalau begini terus," kata salah satu peserta bernama Ayu.
Selain karena sepi, mereka juga protes karena tidak puas dengan fasilitas yang disediakan panitia. Semua stan tidak dialiri listriknya. Akibatnya, sejumlah pedagang makanan mengalami kerugian karena dagangan mereka cepat basi.
"Para penyewa stan minta sekarang minta uang kembali. Nggak ada lampu, panitia ngÂgak angkat telepon. Kita sudah komplain tapi nggak ada apa-apa dari panitia," ujarnya.
Pesta Rakyat Jakarta ini memang dikhususkan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Sebanyak 800 UKM ikut jadi pesertanya. Mereka berasal dari Jabodetabek.
Setelah diprotes, perwakilan pedagang diterima ketua panitia pada Senin (1/6) sore. Beberapa penjual yang ikut pertemuan meÂnyampaikan mereka dijanjikan akan dikembalikan biaya sewa saat pameran sudah selesai yakni pada Jumat (5/6) mendatang.
Situasi ini berbeda dengan Pekan Raya Jakarta (PRJ) Kemayoran. Sejak di buka pada 29 Mei 2015, kegiatan yang sekarang disebut Jakarta Fair Kemayoran (JFK) itu ramai pengunjung. Terutama ketika hari libur, seperti Sabtu, Minggu, dan Selasa kemarin.
Para pengujung yang datang ke tempat tersebut, mulai meraÂsakan ramainya acara sejak dari tempat parkir. Padahal tidak sepÂerti di PRJ Senayang yang gratis, untuk masuk ke JFK pengunjung dikenakan tarif Rp 20 ribu pada hari biasa, dan Rp 30 ribu pada hari libur.
"Nyari parkirnya susah banget. Saya sama suami naik motor aja, nyari parkirnya hampir setengah jam sendiri," ujar Susi, salah seorang pengunjung kepada
Rakyat Merdeka.Begitu masuk melalui pintu 9, ia langsung berdesak-desakan dengan pengunjung lain. Susi yang datang setelah maghrib mengaku kerepotan untuk meliÂhat-lihat stan akibat banyaknya pengunjung.
Bahkan di stan yang menjual helm, dia kesulitan untuk maju, mendekati penjaga stand. "Saya sebenernya ingin beli helm yang warna pink. Tapi karena padat, saya batal beli, lalu pergi aja ke stan lain," tuturnya.
Selain lebih ramai, fasilitas stand di JFK juga lebih baik. Di PRJ Senayan, para pedagang rata-rata menempati tenda yang sederhana. Untuk penjual maÂkanan, tendanya hanya cukup diisi barang dagangan, dan si penjual. Pengunjung yang mau membeli harus berpanas-panaÂsan di depan tenda.
Kemudian untuk tempat pedaÂgang makanan, berada di bawah sebuah tenda panjang. Untuk menghindari persaingan, beberapa pedagang memutuskan keluar dari tenda. Sehingga suasana di bawah tenda tampak lengang.
Sementara di JFK, fasilitasÂnya lebih nyaman. Stan yang berlokasi di lapangan, tendanya berukuran besar, dan sedang. Di beberapa titik disediakan kipas angin, sehingga pengunjung tidak kepanasan.
Kemudian untuk stan yang berada di dalam ruangan, dilengÂkapi AC. Stan di dalam ruangan ini tak semuanya ditempati swasta. Beberapa stan UKM dan perwakilan pemerintah daerah menempati stan di dalam.
Public Relation JFK, M Al Khadziq mengatakan, penemÂpatan stand UKM dan Pemda di dalam merupakan bukti pihaknya tidak hanya mencari keuntungan semata dari menggelar kegiatan ini.
Dia mengungkapkan, dari 2.700 peserta yang memeriahÂkan JFK, 40 persen di antaranÂya memang dialokasikan untuk UMKM. Untuk tarif sewa stan, pihaknya menerapkan dua kategori.
"Untuk UMKM binaan yang dibawa pemerintah daerah, BUMN, dan komunitas, semua tidak dikenai biaya," kata dia.
Sementara untuk UMKM yang bersifat mandiri, lanjut dia, mereka harus membayar sesuai dengan standar harga yang ditetapkan panitia. Yang pasti, kata Khadziq, tarifnya tidak sama dengan stan yang disewa perusahaan besar.
"Hitungannya berdasarkan pada luas area yang digunakan. Semakin besar area yang dipakai, biaya sewa akan semakin tinggi. Namun, untuk pameran selama 38 hari, harga yang kami tawarkan termasuk terjangkau," pungkasnya.
Pedagang Berharap Bisa Balik ModalRomli memecahkan telur ayam, dan memasukannya ke kuali yang telah berisi beras ketan putih. Selanjutnya dia mengambil satu sendok serundeng, dan garam untuk dicampurkan di adonan tadi.
Pria 27 tahun itu pun langÂsung mengaduk-aduk adonan, sampai warnanya kecoklatan. Dia kemudian membalik waÂjan, sehingga kerak telor buatannya menghadap ke kumpulan arang, yang berada di dalam tungku pembakaran.
Tungku tersebut berbentuk bulat, dan terbuat dari tanah liat. Tangan kirinya memeÂgang gagang wajan, sementara tangan kanannya mengambil kipas. Dia kemudian mengibaskan kipasnya, supaya bara pada arang menyala.
Terdapat sebuah lubang pada salah satu bagian tungku, yang memungkinkan masuknya anÂgin. Sehingga bara bisa terus menyala, meski bagian atas tungku tertutup oleh wajan.
Lima menit berselang, dia kembali membalikkan wajan. Dia lalu mengambil spatula yang berada di kanan gerobak, dan mencongkel kerak telur yang menempel pada wajan, dengan gerakan memutar.
Kerak telor yang sudah jadi itu, dipindahkannya ke kertas pembungkus nasi, lalu diberi taburan serundeng di atasnya. Makanan khas Betawi itu lalu dibungkus kertas cokelat dan diikat di ujungnya.
"Ini Bang," ujar seorang pembeli sembari menyodorkan uang Rp 50 ribu.
Romli kemudian mengembalikan uang tersebut dalam benÂtuk pecahan, berupa selembar Rp 20 ribu dan satu lembar Rp 10 ribu. Di Pesta Rakyat Jakarta (PRJ) Senayan, kerak telor bikinannya itu dijual dengan harga Rp 15 ribu -Rp 20 ribu.
Kerak telor yang berharga Rp 15 ribu menggunakan telur ayam, sementara yang Rp 20 ribu menggunakan telur bebek. Pembeli tadi, merupakan pemÂbeli kesekian hari itu.
Pada hari libur Waisak, Selasa lalu, dagangannya cukup banyak terjual. Baru sejam membuka lapak, dia sudah memperÂoleh pendapatan ratusan ribut.
"Baru buka dari jam 12, tapi pendapatan adalah Rp 400 ribu.
Alhamdulillah," kata Romli.
Sehari sebelumnya, dia hanya mengantongi Rp 300 ribu dari berjualan sejak tengah hari hingga jam 8 malam. "Parah banget dah kemarin. Untung bahan dagangan saya nggak cepat basi," keluhnya.
Pada Sabtu-Minggu lalu pendapatannya agak lumayan. Saat itu ia bisa memperoleh pendapatan sampai Rp 1 juta sehari. Namun pendapatan itu harus dibelanja lagi untuk modal berdagang.
Romli mengatakan, untuk modal berdagang selama 1 minggu, dirinya membutuhkan hampir Rp 7 juta. "Itu belum termasuk uang sewa dan keÂbutuhan selama seminggu. Makanya sebenernya memang jualan di sini rugi," akunya.
Dia pun membandingkan keuntungan, ketika mengiÂkuti Festival Budaya Betawi di Monas beberapa waktu lalu. Saat itu, dalam waktu 2 hari, dia bisa mendapatkan uang Rp 6 juta rupiah. Artinya, pendapatannya dari berjualan kerak telur sehari bisa mencaÂpai Rp 3 juta.
"Di event lain juga, setidaknya Rp 2 juta per hari dapet lah. Di sini doang yang apes," sesalnya. ***