Ditempat inilah Galih Prasetyo dan Maggie Dwi Listiani tingÂgal. "Orangnya lagi nggak ada. Mungkin nanti malam baru," kata Aan, pria yang tinggal di sebelah kontrakan pasangan itu.
Siang hari, Galih kerja. Biasanya, kata Aan, baru pulang jam 10 malam. "Dia kerja di percetakan. Sampai di rumah sekitar jam segitu," tuturnya.
Beberapa hari terakhir, Galih tinggal sendirian di kontrakan ini. Istrinya, Maggie tinggal di rumah orangtuanya di Bekasi. "Setelah melahirkan istrinya tinggal di sana. Kalau Mas Galih masih di sini. Kadang-kadang dia ke Bekasi untuk menjenguk istrinya," ungkap Aan.
Lalu di mana Muhammad Danedra Ibrahim, bayi pasangan ini? Menurut Aan, juga dibawa ke Bekasi setelah keluar dari rumah sakit.
"Soalnya kalau disini juga kasihan, istrinya harus merawat sendirian. Selain itu saya juga tidak pernah ngelihat istri atau anak Mas Galih dua hari ini. Pasti langsung dibawa," ungkap dia.
Galih Prasetyo dan Maggie Dwi Listiani adalah pasanÂgan suami-istri yang bayinya dikabarkan ditahan RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sampai Senin, 11 Mei 2015, Danendra masih berada di RSPasar Rebo. Bayi itu tidak boleh dibawa puÂlang karena orangtuanya belum membayar biaya perawatan yang mencapai Rp 65 juta.
Masalah ini bermula Maggie melahirkan cesar di RSUD Pasar Rebo. Danendra lahir ada usia kandungan ibunya masih tujuh bulan pada 31 Maret 2015 pukul 09.47 WIB. Bayi itu saat dikeluÂarkan dari Rahim ibunya hanya memiliki berat 1,39 kilogram.
Lantaran lahir prematur, Danendra dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Dua bulan dirawat intensif, biaya perawatan membengkak hingga puluhan juta.
Di tengah perawatan, Galih dan Maggie mendaftar BPJSKesehatan. Namun pihak rumah sakit menolak memasukkan Maggie dan Danendra sebagai pasien BPJS. Alasannya, saat Maggie masuk rumah sakit, dia belum tercatat sebagai peserta jaminan sosial itu.
Pengurusan pasien BPJS paling lama 3x24 jam setelah msuk rumah sakit. Sedangkan Galih baru mengurusnya setelah Maggie dan bayinya seminggu dirawat di sini. "KTP saya dan Maggie di Bekasi. Kami harus mengurus BPJS ini di Bekasi. Dan baru selesai satu minggu lebih. Itu juga karena syaratnya yang sulit," kata Galih.
Galih menceritakan betaÂpa ribetnya mengurus BPJS. Misalnya, harus ada Nomor Induk Kependudukan semenÂtara dari bayi yang akan ditangÂgung. Padahal, bayinya sendiri baru lahir. Selain itu, perlu foto bayi, nomor rekening bank, akta kelahiran, dan keterangan dari rumah sakit.
Inilah, kata dia, yang membuat dokumen pendaftaran BPJSterlambat diajukan. "Untuk foto kita susah, karena si bayi dirawat intensif, gimana mau foto? Bawa HP saja tidak boleh karena ada radiasi yang ditimbulkan," kata Galih.
Akhirnya, Galih membuat BPJS untuk si bayi di Jakarta. Namun, lagi-lagi ada kendala, lantaran bulan terbit kartu BPJS-nya salah. Yaitu, tertulis bulan 11, padahal BPJS ini dibuat pada bulan empat atau April. "Ini pun ditolak, karena dianggap palsu. Padahal ini asli dan bisa dicek di BPJS-nya," katanya.
Kepala Bagian Marketing RSUD Pasar Rebo, Sutiyono mengatakan, masalah ini suÂdah selesai. Pada Senin lalu Danendra sudah bisa dibawa pulang setelah kedua orang tuÂanya membuat pernyataan untuk mencicil biaya perawatan.
"Yang bersangkutan sudah setuju mencicil Rp 200-Rp 300 ribu perbulan. Dalam kesepakaÂtan tersebut, kami tidak memÂberikan batas waktu pelunasan biaya tersebut," katanya.
Mengenai biaya perawatan yang membengkak sampai Rp 65 juta, Sutiyono menjelaskan, Maggie dan Danendra masuk kategori pasien umum.
"Soalnya orang tuanya terlamÂbat mengurus BPJSuntuk anak itu. Sebab peraturannya, biaya yang sudah ada sebelum BPJSmilik seseorang berlaku, tidak bisa ditanggung BPJS," katanya. "Dalam kasus ini, BPJS-nya baru bisa digunakan apabila misalnya anaknya dirawat lagi setelah ini. Karena BPJSyang bersangkutan sudah aktif," lanjut Sutiyono.
Berdasarkan ketentuan, setiap pasien yang ingin biayanya ditanggung BPJS, harus menunÂjukkan kartu peserta saat masuk rumah sakit. Pasien diberi kelÂonggaran waktu hingga tiga hari, untuk mengurus penggunaan BPJS saat masa perawatan.
Di luar itu, pasien dianggap berobat secara personal, atau kategori pasien umum yang tidak ditanggung BPJS. "Dalam kasus Bapak Galih ini kan BPJS-nya baÂrus selesai setelah seminggu lebih. Makanya kami melaksanakan prosedur umum, dan mengenakan biaya umum," jelas dia.
Pria berkacamata ini memÂbantah, pihaknya menahan bayi tersebut. Dia menyatakan, diÂrinya sudah pernah berbicara dengan keluarga pasien untuk mencari solusinya. Misalnya pembayaran dilakukan dengan cara dicicil.
Sutiyono menjelaskan, rumah sakit tidak bisa menghapuskan biaya perawatan Danendra. Sebab, keuangan rumah sakit ini diaudit.
"Pendapatan dan pengeluaran kami harus dipertanggungjawabÂkan. Kami tidak bisa langsung menyerahkan, karena harus mencari solusi yang tepat. Kami pun akhirnya melakukan rapat internal, dan menemukan solusi berupa surat penyataan tadi. Jadi tidak ada itu niat untuk menahan bayi tersebut," tegas dia.
Dia berharap masyarakat tidak mencap negatif RSUD Pasar Rebo hanya karena tidak langÂsung menyerahkan bayi kepada orang tuanya. Dia menyatakan, setiap RS memiliki kewajiban dan aturan untuk menyelesaikan masalah seperti itu.
"Saya rasa setiap orang tua juÂga tidak akan tega kok, melakuÂkan hal itu. Cuma masalahnya kan kami ada kewajiban saja," ucap dia.
Agar kasus serupa tidak teruÂlang, Sutiyono mengimbau masyarakat mempelajari semua aturan untuk menggunakan BPJS. Sebab menurut dia, masyarakat banyak yang belum paham. Terutama soal aturan tentang, setiap anak yang akan lahir harus didaftarkan ke BPJS.
Ibunya "Ditahan" RS, Bayi Kena Sakit Kuning Tak Mampu Bayar Persalinan Rp 9 Juta Kasus serupa pernah diaÂlami Siti Kotimah, Maret lalu. Karena tidak mampu membaÂyar biaya administrasi selama di RSUD Pasar Rebo, peremÂpuan berusia 30 tahun yang baru saja melahirkan dengan operasi caesar kini ditahan selama dua minggu untuk diÂjadikan jaminan.
Warga RT 04 RW 04 Kelurahan Depok, Depok, Jawa Barat itu bercerita bagaimana dirinya ditahan oleh RSUD Pasar Rebo. Biaya kelahiran anak ketiganya pada 13 Maret 2015 sebesar Rp 9.133.600 yang lahir secara caesar terus membebani pikirannya.
"Saya tidak boleh pulang sebelum melunasi biaya rumah sakit, bahkan keluar sekalipun untuk membeli keperluan bayi saya dilarang. Rumah sakit takut saya kabur," ujar Siti Kotimah.
Dia pun bercerita perihal opÂerasi caesar yang tidak pernah dia ketahui. Perempuan kelahiÂran Purworejo, 13 September 1984 itu memiliki ketakutan bila mendengar kata operasi. Jadi, menurut dia suaminya menandatangani tindakan medis operasi cesar tanpa sepegetahuannya. "Ketika diÂsuruh ganti baju, saya bertanya kepada suster, mau operasi ya sus? Suster hanya menjawab mau pindah kamar aja," ungÂkapnya.
Kondisi kandungannya saat itu, kata dia mengalami pecah ketuban, sedangkan masa pemÂbukaan hanya di pembukaan dua saja. Usai menjalani operaÂsi caesar, ujar perempuan yang dikarunia tiga orang anak dari buah perkawinannya dengan Triadmojo, 36, kondisi fisiknya mampu untuk pulang. Namun saat itu, dia harus menyeleÂsaikan seluruh administrasi dengan pihak rumah sakit.
Serta merta, suaminya pun menanyakan total biaya adminÂistrasi yang harus diselesaikan. Waktu itu, total biaya adminÂistrasi sebesar Rp 8.286.000. Karena tidak memiliki uang, menurut dia suaminya mengaÂjukan pembayaran menggunaÂkan Jamkesmas. Ternyata, itu tidak bisa dengan alasan kartu sudah tidak berlaku.
"Kami hanya mengantongi uang Rp 500 ribu, akhirnya kami serahkan untuk DP," katanya.
Perempuan yang baru dua bulan tinggal di rumah kontraÂkan di bilangan Depok bersama keluarganya tersebut tidak meÂnyangka biaya akan bertambah lagi. Hingga 25 Maret, biaya bertambah Rp 1.347.000, jadi total yang harus dibayar adalah Rp 9.133.600.
"Suami lagi usaha mencari kekurangan biaya rumah sakit di kampung halaman," ucap Siti sembari menghela nafas.
Kesediahan Siti semakin mendalam, ketika dia bercerita tentang keadaan bayinya yang divonis dokter mengalami sakit kuning.
Menurut dia, untuk komuÂnikasi dengan suaminya harus melalui handphone dokter. "Saya nggak punya handÂphone. Jadi kalau suami nanya keadaan saya dan bayinya melalui handphone dokter," ungkapnya.
"Iya, kasihan dia, sudah dua minggu ditahan rumah sakit," bisik salah satu pasien dengan keluarganya yang tengah membesuknya.
Triadmojo berusaha menÂcari kekurangan biaya rumah sakit dengan menjual sebidang tanah di kampung. Laki-laki yang akrab disapa Rembuliono tersebut hanya bisa pasrah untuk mencari kekurangan. "Saya baru saja menjual tanah dengan Rp.3 juta saja, sisanya belum tahu dari mana?" katanya. ***