WAWANCARA

Arist Merdeka Sirait: Sikap Sadisme Anak Itu Daur Ulang Dari Praktek Begal & Kekerasan di Sekitarnya

Jumat, 10 April 2015, 07:35 WIB
Arist Merdeka Sirait: Sikap Sadisme Anak Itu Daur Ulang Dari Praktek Begal & Kekerasan di Sekitarnya
Arist Merdeka Sirait
rmol news logo Perilaku sadisme di kalangan anak kian marak. Peristiwa terbaru, Minggu (5/4) lalu seorang siswa SMA dibacok enam siswa SMP hingga tewas.

 Para pelaku menganiaya korban, David Herdiansyah (16) dengan membacok bagian kepala, punggung, dan bagian tubuh lain­nya hingga berlumuran darah.

Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 03.00 WIB di depan su­permarket Perumahan Cilebut 2, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.

Ada apa dengan fenomena ini? Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas-PA) Arist Merdeka Sirait, kepada Rakyat Merdeka, Selasa (7/4) menjelaskan selengkapnya ke­napa terjadi fenomena itu:

Apa sebenarnya yang ter­jadi?
Kejadian ini merupakan aku­mulasi dari berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di ling­kungan anak, baik di rumah, sekolah, maupun di ruang publik. Ini tampaknya juga merupakan daur ulang dan mengimitasi apa yang terjadi dari praktek-praktek begal yang ada sekarang.

Apa faktor yang melatar­belakangi timbulnya sikap sadisme pada anak?
Kita harus melihat faktor akumulasi. Anak-anak sekarang ini tidak lagi punya ruang untuk mengekspresikan dirinya sesuai usia perkembangannya.

Maksudnya?
Di rumah, misalnya, mungkin ada kecenderungan membangun perilaku kekerasan anak. Bisa juga rumah itu tidak sehat, tidak nyaman karena faktor ekonomi dan sebagainya. Bisa juga ling­kungan sekolah yang tidak ra­mah pada anak-anak.

Lingkungan sekolah yang tidak ramah itu seperti apa?
Itu kan terbukti banyak anak yang melakukan bullying den­gan kekerasan fisik, kekeras­angan psikis. Ada juga yang bentuknya tawuran. Itu be­rarti selain rumah nggak aman, sekolah juga tidak punya ruang untuk mengekspresikan diri sesuai dengan perkembangan anak itu.

Cuma itu?
Televisi kita juga ada yang mengajarkan kekerasan, ton­tonan hang tidak kondusif, sehingga anak-anak kehilangan teladan. Dengan perspektif itu, anak meniru dan mendaur ulang apa yang dia rasakan di rumah, di sekolah, di ruang publik, dan lain sebagainya.

Selain itu robohnya nilai-nilai kebaikan, kejujuran, agama, di rumah maupun di sekolah.

Penanganan model apa se­baiknya diberikan kepada anak yang melakukan sadisme?
Biasanya bisa dilakukan restorasi. Pendekatannya bukan penghukuman, tapi melakukan restorasi dan membuat efek jera, sehingga anak-anak itu bertang­gung jawab melindungi, tidak menjadi pelaku kekerasan atau tindak pidana.

Konkretnya seperti apa?
Prosesnya bisa mendamaikan, tapi dilihat kasusnya. Pendekatan restorasi adalah bagaimana mengajak korban dan pelaku menyadari betul bahwa tindakan itu tidak baik.

Kalau kasusnya memba­hayakan ketertiban umum?
Itu perlu pendekatan yang berbeda, apakah perlu restorasi atau tidak.

Bagaimana dengan pen­jara?
Itu alternatif akhir. Bisa juga dengan ditempatkan di panti selama berapa tahun. Ini sanksi sosial.

Kalau tidak mempan?
Kan bisa dikenakan sanksi so­sial, sanksi sosial bukan berarti lepas dari tindak pidananya.

Pemerintah harusnya ba­gaimana?

Saya kira pemerintah tidak boleh alpa, dia harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Karena kita melihat kasus tin­dak pidana anak ini sudah masuk pada taraf darurat. Penegakan hukum harus jelas.

Catatan Komnas-PA, bera­pa banyak kasus kekerasan dan mayoritas motifnya seperti apa?
Catatan kita dari 3.726 kasus kekerasan terhadap anak, 52 persen di antaranya adalah ke­jahatan seksual.

Sekitar 28 persen kekerasan dalam bentuk fisik, bullying, dan lainnya terjadi di ling­kungan sekolah. Itu yang ter­laporkan, bukan data nasional ya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA