WAWANCARA

Hasyim Muzadi: Penanganan Teroris di Indonesia Belum Menyentuh Akar Masalahnya

Senin, 30 Maret 2015, 08:33 WIB
Hasyim Muzadi: Penanganan Teroris di Indonesia Belum Menyentuh Akar Masalahnya
Hasyim Muzadi
rmol news logo Penanganan teroris bukan sekadar menembak pelaku­nya. Tapi bagaimana menangkal paham terorisme itu dengan mencari akar masalahnya.

Untuk itu, perlu diurai perso­alan di hulu. Di antaranya pe­mikiran takfiriah yang merupakan embrio dalam jangka menengah atau panjang bisa mengarah ke gerakan melawan negara.

Misalnya bergabung dalam barisan ISIS (Islamic State of Irak and Suriah) atau IS (Islamic State).

Untuk membahas masalah itu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang ju­ga tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi membeberkan selengkapnya kepada Rakyat Merdeka, Jumat (27/3);

Apa sebenarnya paham takfiriah itu?
Paham takfiriah itu adalah paham keimanan yang melihat orang lain itu kafir. Sekalipun yang dilihat itu umat Islam sendiri. Karena tidak sama cara theologinya, maka dianggap kafir.

Apa akibatnya dari angga­pan semacam itu?
Kalau sudah dianggap ka­fir minimal akan terdapat ke­bencian kepada lingkungan. Maksimalnya penyerangan ter­hadap lingkungan yang diang­gap kafir itu. Takfiriyah itu sikap yang mengkafirkan sesama muslim, di luar dirinya. Karena itu, di masyarakat Islam pun dia membawa konflik, apalagi yang kepada non muslim.

Kenapa paham seperti ini bisa ada di Indonesia?
Semenjak reformasi paham-paham itu mulai masuk. Karena negara sudah tidak peduli ter­hadap wacana pemikiran. Baru setelah membuat kriminal, ditin­dak. Tidak mau mendeteksi akar dari masalah.

Bagaimana caranya mereka masuk?
Mereka pertama kali melaku­kan penyusupan. Lalu mencipta­kan ekslusifisme di lingkungan masing-masing. Lalu melakukan pembenturan di luar kelom­poknya. Sekalipun itu sesama muslim, apalagi non muslim.

 Hubungannya dengan tim­bulnya teroris dan bergabung ke IS bagaimana?
Itu mempengaruhi persepsi mereka antara agama dan negara. Sehingga menganggap negara itu ya negara kafir, negara taghut dan ini harus dilawan. Maka sikap seperti itulah terjadinya terorisme. Karena perlawanan secara frontal dia kan nggak pu­nya kekuatan, sehingga bergerak secara sporadis. Diam-diam, di tengah pergolakan konflik ini juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk kepentingan politik. Supaya umat Islam tidak pernah bersatu. Gerakan untuk memanfaatkan ini juga gerakan global.

Apa untungnya bagi pihak yang memanfaatkan gerakan semacam ini?
Keuntungannya ya banyak, bisa politik, ekonomi, peng­hancuran sebuah negara dan sebagainya. Kan lebih enak membuat konflik di kalangan umat Islam, kemudian di-main­tainance, daripada menyerang secara militer, karena itu mahal. Sehingga terjadilah kolabo­rasi antara ekstrimisme interen dengan pemanfaatan kekuatan eksteren umat Islam. Itu yang terjadi dimana-mana, termasuk Indonesia. Tapi karena Indonesia belum kuat-kuat banget, maka mengirim orang ke luar negeri di kancah pertempuran, seperti bergabung dengan ISIS dan se­bagainya. Itu adalah akumulasi dari sekte takfiriah itu tadi.

Apa ada kelompok semacam ini yang mengatasnamakan Ormas?
Kalau Ormas secara legal tentu tidak. Tapi kelompok-kelompok yang bersemayam di banyak Ormas itu ada. Meskipun tidak menamai Ormas secara utuh. Itu embrio secara personil di tiap ormas itu ada.

Ada Ormas yang gencar mengkampanyekan paham khilafah itu di Indonesia, apa mereka ada hubungannya den­gan ISIS?
Saya tidak mengatakan ada hubungannya, tapi tema yang diusung hampir sama. Tapi tema itu kan belum berarti kriminal, kadang-kadang masih pemikiran, wacana. Tapi kalau diteruskan ujungnya sama gitu lho.

Negara harus bagaimana?
Sebenarnya negara ini harus menyeimbangkan antara hak asasi manusia (HAM) dengan keselamatan negara. Sekarang ini nggak seimbang. Memuja-muja HAM, theologi dan sekte-sekte itu boleh berdasarkan HAM.

Padahal membolehkan itu adalah embrio menuju konflik pada jangka menengah dan jangka panjang. Nah disitu kes­elamatan negara terancam. Maka sesungguhnya, HAM itu mutlak-mutlak banget juga salah. Nah itu bedanya HAM yang ada di Indonesia dan HAM yang ada di internasional.

Kalau HAM di internasional itu kan sesuai dengan selera yang membawa HAM.

Maksudnya?
Kalau ada orang Islam melakukan kekerasan itu di bilang melanggar HAM. Tapi kalau orang Israel nggak pernah melawan HAM kalau menurut mereka. Nah, berarti ada pemihakan di dalam HAM itu. Ini yang sering saya sebut hamburger, he-he-he. Makanan asing yang dijejalkan ke kita. Nggak cocok.

Baiknya HAM itu merujuk kemana?
Sebaiknya HAM itu berang­kat dari Pancasila yang benar. Seharusnya begitu, tetapi refor­masi kita ndak mengatur begitu. Makanya terbalik-balik. Teroris baru diduga teroris tapi ditem­bak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA