WAWANCARA

Muhammad Hanif Dhakiri: Kebiasaan ‘86’ Sudah Budaya, Kami Kerja Keras Untuk Menghilangkannya

Selasa, 24 Maret 2015, 09:25 WIB
Muhammad Hanif Dhakiri: Kebiasaan ‘86’ Sudah Budaya, Kami Kerja Keras Untuk Menghilangkannya
Muhammad Hanif Dhakiri
rmol news logo Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mulai bersih-bersih di bidang pengawasan ketenagakerjaan. Antara lain meminta petugas pengawas untuk meninggal­kan budaya sogok atau ‘86’ kepada perusahaan yang diawasinya.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri mewanti-wanti kepada petu­gas pengawas ketenagakerjaan untuk meninggalkan budaya meminta uang yang sudah terjadi sejak lama. Alasannya, agar pen­gawasan bisa berlangsung secara maksimal.

Berikut keterangan Muhammad Hanif Dhakiri selengkap­nya kepada Rakyat Merdeka, kemarin:

Kenapa petugas pengawas ketenagakerjaan mendapat perhatian serius?
Kami ingin perusahaan di Indonesia bisa tumbuh den­gan sehat dan ekonomi maju. Syaratnya petugas ketenagakerjaan harus kuat, berintegri­tas, kredibel, dan jangan mau disogok.

Praktek kongkalikong petu­gas pengawas ketenagakerjaan sudah berlangsung lama?
Kebiasaan 86 sudah berlang­sung lama, sehingga jadi budaya. Budaya 86 ini yang membuat pengawas ketenagakerjaan kita tidak tegas. Saya minta hilan­gkan atau tinggalkan kebiasaan jelek ini.

Apa jumlah pengawas se­banding dengan jumlah perusahaan yang diawasi?

Jumlahnya masih sangatkurang. Ambil contoh di Kabupaten Bandung, ada 1.900 perusahaan tapi pengawasnya hanya enam orang. Bayangkan enam orang harus mengawasi banyak perusahaan. Itu baru mengawasi perusahaan, belum mengawasi soal upah, BPJS hingga pekerja anak.

Apa saja masalah yang di­hadapi?
Kami terkenda dengan minimnya petugas pengawas. Saat ini semua petugas masih berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ke depannya bisa juga bukan dari kalangan PNS bisa menjadi petugas pengawas ketenagakerjaan.

Masalah lainnya?

Kami juga terkendala ang­garan untuk pengawasan. Tapi bukan berarti dengan anggaran yang kurang menjadikan kami tidak inovatif dan kreatif. Kami justru semakin semangat dengan keterbatasan itu.

Kami ingin APBD juga mengalokasikan anggaran untuk me­nambah petugas pengawasan ketenagakerjaan yang bertugas di daerah masing-masing.

Berapa idealnya jumlah petugas pengawas?
Idealnya minimal 3.500 petu­gas pengawasan di seluruh Indonesia. Tapi saat ini baru 1.500 pengawas di Indonesia, masih kurang sekitar 2.000 lagi. Insyaallah pada tahun ini akan kita tambah kekurangan, sehingga bisa memenuhi kebu­tuhan minimal.

Dari mana saja petugas pengawasan itu?
Petugas berasal dari pusat dan daerah. Kami tidak bisa semuanya mengambil dari pusat karena terbentur Undang Undang Pemerintah Daerah yang mewajibkan mengako­modir petugas lokal yang berada di daerah.

Petugas lokal yang berfungsi untuk mensinergikan penga­wasan agar tugas mereka bisa menjadi efektif dan efisian.

Bukankah mendidik petugas pengawasan sulit, bagaimana caranya?
Mendidik petugas tidak mudah. Kami harus melatih mereka se­lama delapan bulan. Pengalaman yang lalu sudah sering kita men­didik pengawas ketenagakerjaan, tapi setelah terpilih bupati baru di suatu daerah, banyak tenaga pengawas yang dipindahtu­gaskan ke tempat lain seperti ke pemakaman. Sehingga hasil pelatihan petugas pengawasan menjadi tidak nyambung.

Apa harus ada komitmen dari kepala daerah untuk tidak memindahkan petugas ketenagakerjaan?
Harus ada komitmen soal itu. Kita meminta kepada kepala daerah untuk memastikan tenaga fungsional pengawasan hanya berkutat di masalah ketenagakerjaan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA