Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Disimpan Di Peti Kayu, Diberi Sesaji Rokok, Pinang & Arak

Mumi Kaki More Tarik Minat Turis Mancanegara

Senin, 01 Desember 2014, 10:15 WIB
Disimpan Di Peti Kayu, Diberi Sesaji Rokok, Pinang & Arak
Mumi Kaki More
rmol news logo Keahlian mengawetkan mayat bukan hanya dimiliki bangsa Mesir dan China kuno. Di kepulauan nusantara juga ditemukan sejumlah mumi. Ada yang sengaja diawetkan. Ada juga yang terbentuk secara alami karena proses alam.

Seperti mumi yang ditemukan di Kampung Wolondopo, Kabu­paten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara. Mumi tokoh bernama Kaki More dipercaya masyarakat terbentuk secara alami.  

Tak sulit mencari lokasi pe­nyimpanan mumi Kaki More di Ende. Banyak warga yang tahu tem­patnya. Sopir mobil rental yang ditanya soal mumi berusia lebih dari satu abad itu langsung me­nyatakan kesanggupannya un­tuk mengantar hingga tujuan.

Lokasinya berada di Kampung Wolondopo, Kabupaten Ende, NTT. Agak di pinggiran kota, na­mun masih bisa dijangkau de­ngan kendaraan roda empat. Le­tak kampung Wolondop sekitar 1 kilometer dari jalan Trans Flores, tepatnya di Cabang Ekoleta me­nuju arah utara. Tepatnya di Desa/Kampung Nuaone Kecamatan Detusoko berjarak kurang lebih 38 kilometer dari kota Ende, de­ngan waktu tempuh sekitar 45 me­nit. Bila perjalanan dengan kendaraan dari Taman Nasional Kelimutu hanya makan waktu 30 menit. Memang tempatnya ter­letak di kampung yang berada di perbukitan sehingga jalannya agak naik.

Ketika tiba, langit tampak biru di angkasa dan bayangan sudah condong ke arah timur. Seg­e­rom­bolan anak-anak begitu asyik menikmati permainan. Tampak di antara rumah penduduk, seke­lompok ibu yang menggunakan sarung khas Lio dengan mulut dipenuhi sirih pinang tengah menanti antre air yang keluar dari sebuah pipa.

Tak jauh dari kerumunan ibu-ibu itu, terdapat  rumah Paulus Modho, pemilik mumi Kaki More. Namun mumi yang dimak­sud tidak ada di rumah tersebut. Untuk bisa melihatnya perlu ber­jalan dulu sejauh 1 kilometer dari rumah Paulus. Setiap pengunjung yang akan melihat mumi di­wa­jibkan menemui dan me­minta izin lebih dulu kepada Paulus, sang juru kunci.

Untuk masuk, harus ada upacara lebih dulu. Nanti saya yang memimpin,” ujar Paulus yang ditemui di rumahnya.

Mumi tersebut disimpan di sebuah rumah-rumahan beruku­ran 2x1,5 meter. Lokasinya be­rada di antara rumah-rumah pen­duduk. Rumah panggung itu ber­dinding papan dan beratap sirap. Bila tak ada pengunjung, posisi­nya selalu tertutup rapat. Maka, begitu sampai di lokasi, Paulus langsung melakukan ritual mem­buka rumah. Dia berdiri di depan pintu sejenak, lalu mengucapkan salam dengan logat Ende Lio.

Setelah mengucap salam, Pau­lus yang juga cucu Kaki More memasukkan anak kunci ke lu­bangnya. Beberapa kali diputar, pintu tidak terbuka. Bahkan sam­pai sekuat tenaga. Paulus lalu berhenti sejenak. Dia kemudian mengucap salam kembali kepada Kaki More. Selang beberapa saat, Paulus memutar kunci hingga ter­dengar suara klik. Syukurlah, pintu mau terbuka,” katanya lega.

Begitu pintu terbuka, terlihat­lah peti berukuran kecil, sekitar 150x50 cm. Peti itu ditutupi ter­pal dan dilapisi kain batik di atas­nya. Di depan peti terdapat be­berapa benda yang biasa dipakai untuk upacara membuka peti. An­tara lain beberapa batang rokok yang dijajar dan botol kecil berisi arak lokal. Ini sesaji yang selalu diminta Kaki More sebelum menerima tamu,” ucap Paulus.

Sebelum melihat Mumi Kaki More, diadakan upacara pem­buka seperti upacara pati mbako (rokok dan sirih pinang) dan di­lanjutkan dengan upacara mem­beri makan (beri pati ka), sarana yang digunakan yakni rokok, sirih pinang, ayam, nasi dan arak. Sesaji yang lama dibuang Paulus, lalu diganti dengan yang baru. Dia meletakkan lagi 12 batang rokok filter di depan peti, dan dua bo­tol arak baru. Juga ada sirih yang diserakkan di sekitarnya.

Sudah cukup lama mumi ini dikenal masyarakat sekitar Kota Ende bahkan para wisatawan dari mancanegara. Deretan nama dan alamat yang tertera dalam buku tamu untuk  pengunjung, mem­berikan gambaran akan hal itu. Mumi ini memang terbuka untuk umum, siapa saja boleh melihat, tentunya setelah mendapat izinan dari pemiliknya.

Pengunjung pun diberi kebe­basan untuk mem­be­ri­kan derma atau semacam sede­kah kepada mumi sebagai tanda ucapan se­lamat datang, bila ber­kun­jung ke­sana.

Di Papua, Mumi Diasapi Dan Dibalur Lemak Babi

Selain di Ende, di lembah Ba­liem Papua juga terdapat mayat yang diawetkan. Mumi itu sudah berusia 3 abad. Biasanya, mayat yang diawetkan dalam posisi ti­dur. Mumi Wim Motok Mabel di Papua itu diawetkan dalam posisi duduk menatap ke langit. Mu­lut­nya terlihat menganga dengan ke­dua tangannya memegang ma­sing-masing kedua lututnya. Ada koteka dan juga topi yang terlihat sangat kering.

Menurut warga yang merup­a­kan keturunan ke-7 Wim Matok Ma­bel, mumi ini diawetkan de­ngan cara diasap dan dibalur le­mak babi. Bahan yang digunakan Suku Dani untuk mengawetkan mayat ini dirahasiakan.

Proses pengawetan mayat di­mulai dengan menggelar ritual. Ke­mudian proses pengasapan di dal­am honai, rumah adat suku Dani. Lama pengasapan sekitar satu bulan. Setelah satu bulan, je­nazah akan dipindahkan ke pi­lamo dan dibungkus dengan daun pisang. Pilamo adalah batu-batu yang disusun bertumpuk.

Setelah mengeras, jenazah be­rubah menjadi mumi. Proses pe­ngerasan ini kurang lebih se­lama lima tahun. Saat ini Mumi Wim Motok Mabel disimpan di honai Suku Dani. Tidak semua mayat anggota suku boleh dijadikan mumi. Hanya yang mempunyai jasa besar terhadap suku seperti kepala suku atau panglima perang yang secara adat diizinkan men­jadi diawetkan.

Semasa hidup, Wim Motok Ma­bel adalah seorang kepala suku. Wim Motok mempunyai arti perang terus. Karena semasa hidupnya ia kepala suku perang yang ahli strategi. Seorang pang­lima perang yang sangat disegani di Distrik Kerulu, bahkan seluruh lembah Baliem. Ini yang menjadi alasan penduduk setempat men­sakralkan Wim Motok Mabel. Wim Montok meninggal akibat usia tua dan memberi wasiat ke­pada keluarganya agar jasadnya diawetkan.

Dari segi ukuran, mumi ini le­bih kecil dibandingkan yang di­te­mukan di Weropak. Namun kon­disinya lebih bagus. Di Ka­bu­paten Jayawijaya dan Kabu­paten Yahukimo ditemukan se­dikit tujuh mumi. Salah satu­nya mumi perempuan yang di­­te­mu­kan di Kecamatan Ku­ri­ma, Ya­hukimo.

Para wisatawan domestik mau­pun mancanegara hanya me­nge­nal dua mumi yakni Wim Motok Mabel dan Weropak Elosak.

Mumi Werupak Elosak berusia sekitar 230 tahun. Pakaian tradi­sional yang dikenakan, seperti ko­teka, masih utuh. Ia adalah pang­lima perang dan meninggal akibat luka tusukan sege (tom­bak). Lu­kanya pun masih terlihat jelas hingga kini. Jasad Werupak di­awet­kan selain untuk meng­hormati jasa semasa hidupnya, juga karena dia sendiri yang memintanya.

Setiap lima tahun sekali diada­kan upacara adat untuk me­ling­karkan semacam kalung di leher mumi Wim Montok. Upacara ter­sebut disertai pemotongan babi. Lalu lemak dari babi itu dioleskan ke seluruh tubuh mumi.

Setiap wisatawan yang hendak melihat dikenai biaya 30.000 per orang dan yang hendak berfoto dengan mumi ini dikenai biaya Rp 20.000 sekali foto. Di pojok halaman, dekat de­ngan ho­nai yang menjadi tempat mumi be­r­se­mayam, ada kios kecil yang men­jual suvenir, seperti noken, koteka, taring babi hingga kopi.

Harganya pun beragam, mulai dari puluhan hingga ratusan ribu. Hal ini dapat menjadi salah satu sumber penghasilan mereka. Dari mumi inilah, masyarakat di Kam­pung Sompaima, Desa Yi­wika, Kecamatan Kurulu, Kabupaten Jayawijaya dapat hidup sejahtera. Sebab, mumi ini menjadi daya tarik bagi wisatawan yang artinya dapat menjadi sumber peng­ha­si­lan bagi warga kampung ini.

Tertimpa Kayu Bale, Tulang Lutut Mumi Ende Retak

Menurut Paulus Modho, mumi Kaki More tak pernah di­beri obat atau bahan penga­wet. Bahkan sejak awal pihak ke­luarga tak ada niat untuk me­nga­wetkan jenazah Kaki More.

Dari catatan keluarga yang di­buat Paulus, diperkirakan Kaki More dilahirkan pada ta­hun 1868. Kaki More yang dulu menjabat sebagai hakim adat di Wolondopo. Wafat pada tahun 1948 atau saat berusia 80 tahun. Dengan demikian, usia mumi Kaki More tahun ini 59 tahun.

Kami tak menguburkan jenazahnya karena permintaan Kaki More sendiri bahwa jika meninggal jenazahnya jangan dikubur dalam tanah. Hingga keajaiban terjadi pada tahun 1953 dan diperkuat lagi pada ta­­hun 1973 yang membuat kami se­makin yakin bahwa ama­nat ter­akhir Kaki More harus di­ja­lankan,” ungkap Paulus, laki-laki pensiunan pegawai ne­geri si­pil yang terakhir se­ba­gai Ke­pala SD Katolik Wo­londopo II itu.

Sebagaimana lazimnya suku Lio Flores, kata dia, orang yang meninggal biasa dikubur di dalam tanah, dan ditutupi batu atau dikubur dalam batu yang dipahat, dan disemayamkan di sekitar rumah.

Untuk orang penting seperti mosalaki, biasanya dise­ma­yam­kan di tengah kampung. Ke­nya­taan ini justru berbeda dengan Kaki More. Menjelang akhir ha­yatnya beliau berpesan agar bila meninggal jasadnya jangan dikubur tetapi disimpan di atas pandan hutan, Demi aku mata miu welu aku leka re’a re’e,” tam­bah Paulus mengutip per­nyataan Kaki More.

Masih menurut Paulus, seta­hun menjelang wafat Kaki More menderita sakit hingga ak­hirnya mengembuskan napas terakhir pada 1949. Sebag­ai­mana pesan Kaki More, para ke­luarga tidak menguburkan ma­yat. Keluarga menyimpan  di sebuah peti kemudian dipan­cang­kan di pingggir kampung di bawah naungan pohon beringin bersama peti kepala kampung, Pani Gebo.

Kemudian bencana angin ba­dai tahun 1953 yang melanda Ende Lio mengakibatkan pohon beringin yang menaunginya tum­bang, dan menindih peti. Ke­dua peti tersebut pun hancur.

Akan tetapi, jenazah Kaki More yang sudah tanpa busana ter­nyata ditemukan masih da­lam keadaan utuh. Jasadnya ter­geletak di atas pohon beringin yang tumbang,” tutur Paulus.

Keluarga, lanjut dia, kemu­dian mengambil mayat Kaki More, dan dimasukkan kembali ke dalam sebuah peti. Peti ter­sebut disimpan di dalam rumah kecil, rumah tempat semayam (bale) di samping pelataran tem­pat orang bermain tandak.

Sejak saat itulah menjadi awal mula Kaki More dikenal masyarakat luas sebagai mumi. Sudah ada begitu banyak orang yang datang ke Wolondopo dan melihat mamo (sebutan untuk Kaki More) baik turis dari luar negeri, dari mahasiswa dan siswa maupun dari orang-orang dari luar Flores seperti Jakarta,” tambah Paulus.

Ketika terjadi gempa di Flo­res tahun 1992. Banyak ba­ngu­nan rusak, termasuk dua tiang penyangga bale roboh, tetapi je­nazah Kaki More 85 persen utuh. Tak ada kerusakan ber­arti. Hanya sendi pada lutut me­nga­lami retak,” tutur Pau­lus.

Tidak Tergiur Uang Suap Dari Belanda

Jadi Mata-mata Pahlawan” Ende


Siapa Kaki More yang ma­yat­nya diawetkan jadi mumi? Ia adalah salah satu mosalaki (te­tua adat) Sao Rengununu. Ia lahir sekitar tahun 1868 di Wo­londopo. Putra kedua dari 5 ber­saudara dari pasangan More Songgo dengan Kemba Dhiki.

Semasa hidupnya ia  dikenal sebagai orang yang jujur, taat, pandai dan berani. Sehingga oleh mosalaki dan tua adat kam­pung Wolondopo dan Wolojita, Kaki More diangkat menjadi pe­nanggung jawab,  juru bicara baik untuk hubungan keluar maupun untuk keperluan ke dalam kampung.

Dalam istilah Lio disebut se­ba­gai tau pidhi wiwi laki lapi lema ongga,” jelas Pau­lus, ke­tu­ru­nan Kaki More saat men­dam­pingi melihat mumi Kaki More.

Paulus mengungkapkan Ka­ki More turut berperan men­gusir penjajah Belanda. Ma­mo juga dikenal sebagai ma­ta-mata dari pahlawaan lo­kal Ende Lio Mari Longa,” se­but Pau­lus. Mari Longa hidup pada kurun 1855-1907.

Dalam buku Sejarah Kota Ende” yang diterbitkan Pustaka Larasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende tahun 2006, disebutkan, per­la­wa­nan Mari Longa terhadap pasukan Belanda berlangsung selama 1893-1907.

Mari Longa gugur di medan pertempuran yang terjadi di Ben­teng Watunggere tahun 1907, setelah terkena pukulan po­por senjata Letnan Jeffry. Na­mun, Belanda yang mulai ma­suk ke Ende sekitar tahun 1864 kesulitan menembus benteng pertahanan Mari Longa karena peran Kaki More.

Kaki More, tutur Paulus,  bersama Mari Longa tak mau tunduk dan membayar pajak kepada Belanda. Keduanya juga begitu gigih mempertahankan kedaulatan adat istiadat yang sudah diwariskan berabad-abad. Hingga suatu saat Belanda men­coba menyuap Kaki More de­ngan memberikan iming-iming uang logam penuh seka­leng be­sar. Belanda meminta Kaki More tak bekerja lagi untuk Mari Longa. Belanda juga me­min­tanya membuat jalan tembus dari Ekoleta menuju benteng pertahanan Mari Longa di Ke­camatan Detukeli.

Tapi, keinginan Belanda itu ditolak. Belanda marah besar dan mencoba membakar ram­but, kumis, dan bulu mata Kaki More dengan menggunakan kayu api. Tapi, anehnya Kaki More tak terbakar, malah dia me­lawan dan mengusir Belan­da,” kata Paulus. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA