Seperti mumi yang ditemukan di Kampung Wolondopo, KabuÂpaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara. Mumi tokoh bernama Kaki More dipercaya masyarakat terbentuk secara alami.
Tak sulit mencari lokasi peÂnyimpanan mumi Kaki More di Ende. Banyak warga yang tahu temÂpatnya. Sopir mobil rental yang ditanya soal mumi berusia lebih dari satu abad itu langsung meÂnyatakan kesanggupannya unÂtuk mengantar hingga tujuan.
Lokasinya berada di Kampung Wolondopo, Kabupaten Ende, NTT. Agak di pinggiran kota, naÂmun masih bisa dijangkau deÂngan kendaraan roda empat. LeÂtak kampung Wolondop sekitar 1 kilometer dari jalan Trans Flores, tepatnya di Cabang Ekoleta meÂnuju arah utara. Tepatnya di Desa/Kampung Nuaone Kecamatan Detusoko berjarak kurang lebih 38 kilometer dari kota Ende, deÂngan waktu tempuh sekitar 45 meÂnit. Bila perjalanan dengan kendaraan dari Taman Nasional Kelimutu hanya makan waktu 30 menit. Memang tempatnya terÂletak di kampung yang berada di perbukitan sehingga jalannya agak naik.
Ketika tiba, langit tampak biru di angkasa dan bayangan sudah condong ke arah timur. SegÂeÂromÂbolan anak-anak begitu asyik menikmati permainan. Tampak di antara rumah penduduk, sekeÂlompok ibu yang menggunakan sarung khas Lio dengan mulut dipenuhi sirih pinang tengah menanti antre air yang keluar dari sebuah pipa.
Tak jauh dari kerumunan ibu-ibu itu, terdapat rumah Paulus Modho, pemilik mumi Kaki More. Namun mumi yang dimakÂsud tidak ada di rumah tersebut. Untuk bisa melihatnya perlu berÂjalan dulu sejauh 1 kilometer dari rumah Paulus. Setiap pengunjung yang akan melihat mumi diÂwaÂjibkan menemui dan meÂminta izin lebih dulu kepada Paulus, sang juru kunci.
Untuk masuk, harus ada upacara lebih dulu. Nanti saya yang memimpin,†ujar Paulus yang ditemui di rumahnya.
Mumi tersebut disimpan di sebuah rumah-rumahan berukuÂran 2x1,5 meter. Lokasinya beÂrada di antara rumah-rumah penÂduduk. Rumah panggung itu berÂdinding papan dan beratap sirap. Bila tak ada pengunjung, posisiÂnya selalu tertutup rapat. Maka, begitu sampai di lokasi, Paulus langsung melakukan ritual memÂbuka rumah. Dia berdiri di depan pintu sejenak, lalu mengucapkan salam dengan logat Ende Lio.
Setelah mengucap salam, PauÂlus yang juga cucu Kaki More memasukkan anak kunci ke luÂbangnya. Beberapa kali diputar, pintu tidak terbuka. Bahkan samÂpai sekuat tenaga. Paulus lalu berhenti sejenak. Dia kemudian mengucap salam kembali kepada Kaki More. Selang beberapa saat, Paulus memutar kunci hingga terÂdengar suara klik. Syukurlah, pintu mau terbuka,†katanya lega.
Begitu pintu terbuka, terlihatÂlah peti berukuran kecil, sekitar 150x50 cm. Peti itu ditutupi terÂpal dan dilapisi kain batik di atasÂnya. Di depan peti terdapat beÂberapa benda yang biasa dipakai untuk upacara membuka peti. AnÂtara lain beberapa batang rokok yang dijajar dan botol kecil berisi arak lokal. Ini sesaji yang selalu diminta Kaki More sebelum menerima tamu,†ucap Paulus.
Sebelum melihat Mumi Kaki More, diadakan upacara pemÂbuka seperti upacara
pati mbako (rokok dan sirih pinang) dan diÂlanjutkan dengan upacara memÂberi makan (
beri pati ka), sarana yang digunakan yakni rokok, sirih pinang, ayam, nasi dan arak. Sesaji yang lama dibuang Paulus, lalu diganti dengan yang baru. Dia meletakkan lagi 12 batang rokok filter di depan peti, dan dua boÂtol arak baru. Juga ada sirih yang diserakkan di sekitarnya.
Sudah cukup lama mumi ini dikenal masyarakat sekitar Kota Ende bahkan para wisatawan dari mancanegara. Deretan nama dan alamat yang tertera dalam buku tamu untuk pengunjung, memÂberikan gambaran akan hal itu. Mumi ini memang terbuka untuk umum, siapa saja boleh melihat, tentunya setelah mendapat izinan dari pemiliknya.
Pengunjung pun diberi kebeÂbasan untuk memÂbeÂriÂkan derma atau semacam sedeÂkah kepada mumi sebagai tanda ucapan seÂlamat datang, bila berÂkunÂjung keÂsana.
Di Papua, Mumi Diasapi Dan Dibalur Lemak BabiSelain di Ende, di lembah BaÂliem Papua juga terdapat mayat yang diawetkan. Mumi itu sudah berusia 3 abad. Biasanya, mayat yang diawetkan dalam posisi tiÂdur. Mumi Wim Motok Mabel di Papua itu diawetkan dalam posisi duduk menatap ke langit. MuÂlutÂnya terlihat menganga dengan keÂdua tangannya memegang maÂsing-masing kedua lututnya. Ada koteka dan juga topi yang terlihat sangat kering.
Menurut warga yang merupÂaÂkan keturunan ke-7 Wim Matok MaÂbel, mumi ini diawetkan deÂngan cara diasap dan dibalur leÂmak babi. Bahan yang digunakan Suku Dani untuk mengawetkan mayat ini dirahasiakan.
Proses pengawetan mayat diÂmulai dengan menggelar ritual. KeÂmudian proses pengasapan di dalÂam honai, rumah adat suku Dani. Lama pengasapan sekitar satu bulan. Setelah satu bulan, jeÂnazah akan dipindahkan ke piÂlamo dan dibungkus dengan daun pisang. Pilamo adalah batu-batu yang disusun bertumpuk.
Setelah mengeras, jenazah beÂrubah menjadi mumi. Proses peÂngerasan ini kurang lebih seÂlama lima tahun. Saat ini Mumi Wim Motok Mabel disimpan di honai Suku Dani. Tidak semua mayat anggota suku boleh dijadikan mumi. Hanya yang mempunyai jasa besar terhadap suku seperti kepala suku atau panglima perang yang secara adat diizinkan menÂjadi diawetkan.
Semasa hidup, Wim Motok MaÂbel adalah seorang kepala suku. Wim Motok mempunyai arti perang terus. Karena semasa hidupnya ia kepala suku perang yang ahli strategi. Seorang pangÂlima perang yang sangat disegani di Distrik Kerulu, bahkan seluruh lembah Baliem. Ini yang menjadi alasan penduduk setempat menÂsakralkan Wim Motok Mabel. Wim Montok meninggal akibat usia tua dan memberi wasiat keÂpada keluarganya agar jasadnya diawetkan.
Dari segi ukuran, mumi ini leÂbih kecil dibandingkan yang diÂteÂmukan di Weropak. Namun konÂdisinya lebih bagus. Di KaÂbuÂpaten Jayawijaya dan KabuÂpaten Yahukimo ditemukan seÂdikit tujuh mumi. Salah satuÂnya mumi perempuan yang diÂÂteÂmuÂkan di Kecamatan KuÂriÂma, YaÂhukimo.
Para wisatawan domestik mauÂpun mancanegara hanya meÂngeÂnal dua mumi yakni Wim Motok Mabel dan Weropak Elosak.
Mumi Werupak Elosak berusia sekitar 230 tahun. Pakaian tradiÂsional yang dikenakan, seperti koÂteka, masih utuh. Ia adalah pangÂlima perang dan meninggal akibat luka tusukan
sege (tomÂbak). LuÂkanya pun masih terlihat jelas hingga kini. Jasad Werupak diÂawetÂkan selain untuk mengÂhormati jasa semasa hidupnya, juga karena dia sendiri yang memintanya.
Setiap lima tahun sekali diadaÂkan upacara adat untuk meÂlingÂkarkan semacam kalung di leher mumi Wim Montok. Upacara terÂsebut disertai pemotongan babi. Lalu lemak dari babi itu dioleskan ke seluruh tubuh mumi.
Setiap wisatawan yang hendak melihat dikenai biaya 30.000 per orang dan yang hendak berfoto dengan mumi ini dikenai biaya Rp 20.000 sekali foto. Di pojok halaman, dekat deÂngan hoÂnai yang menjadi tempat mumi beÂrÂseÂmayam, ada kios kecil yang menÂjual suvenir, seperti noken, koteka, taring babi hingga kopi.
Harganya pun beragam, mulai dari puluhan hingga ratusan ribu. Hal ini dapat menjadi salah satu sumber penghasilan mereka. Dari mumi inilah, masyarakat di KamÂpung Sompaima, Desa YiÂwika, Kecamatan Kurulu, Kabupaten Jayawijaya dapat hidup sejahtera. Sebab, mumi ini menjadi daya tarik bagi wisatawan yang artinya dapat menjadi sumber pengÂhaÂsiÂlan bagi warga kampung ini.
Tertimpa Kayu Bale, Tulang Lutut Mumi Ende RetakMenurut Paulus Modho, mumi Kaki More tak pernah diÂberi obat atau bahan pengaÂwet. Bahkan sejak awal pihak keÂluarga tak ada niat untuk meÂngaÂwetkan jenazah Kaki More.
Dari catatan keluarga yang diÂbuat Paulus, diperkirakan Kaki More dilahirkan pada taÂhun 1868. Kaki More yang dulu menjabat sebagai hakim adat di Wolondopo. Wafat pada tahun 1948 atau saat berusia 80 tahun. Dengan demikian, usia mumi Kaki More tahun ini 59 tahun.
Kami tak menguburkan jenazahnya karena permintaan Kaki More sendiri bahwa jika meninggal jenazahnya jangan dikubur dalam tanah. Hingga keajaiban terjadi pada tahun 1953 dan diperkuat lagi pada taÂÂhun 1973 yang membuat kami seÂmakin yakin bahwa amaÂnat terÂakhir Kaki More harus diÂjaÂlankan,†ungkap Paulus, laki-laki pensiunan pegawai neÂgeri siÂpil yang terakhir seÂbaÂgai KeÂpala SD Katolik WoÂlondopo II itu.
Sebagaimana lazimnya suku Lio Flores, kata dia, orang yang meninggal biasa dikubur di dalam tanah, dan ditutupi batu atau dikubur dalam batu yang dipahat, dan disemayamkan di sekitar rumah.
Untuk orang penting seperti
mosalaki, biasanya diseÂmaÂyamÂkan di tengah kampung. KeÂnyaÂtaan ini justru berbeda dengan Kaki More. Menjelang akhir haÂyatnya beliau berpesan agar bila meninggal jasadnya jangan dikubur tetapi disimpan di atas pandan hutan,
Demi aku mata miu welu aku leka re’a re’e,†tamÂbah Paulus mengutip perÂnyataan Kaki More.
Masih menurut Paulus, setaÂhun menjelang wafat Kaki More menderita sakit hingga akÂhirnya mengembuskan napas terakhir pada 1949. SebagÂaiÂmana pesan Kaki More, para keÂluarga tidak menguburkan maÂyat. Keluarga menyimpan di sebuah peti kemudian dipanÂcangÂkan di pingggir kampung di bawah naungan pohon beringin bersama peti kepala kampung, Pani Gebo.
Kemudian bencana angin baÂdai tahun 1953 yang melanda Ende Lio mengakibatkan pohon beringin yang menaunginya tumÂbang, dan menindih peti. KeÂdua peti tersebut pun hancur.
Akan tetapi, jenazah Kaki More yang sudah tanpa busana terÂnyata ditemukan masih daÂlam keadaan utuh. Jasadnya terÂgeletak di atas pohon beringin yang tumbang,†tutur Paulus.
Keluarga, lanjut dia, kemuÂdian mengambil mayat Kaki More, dan dimasukkan kembali ke dalam sebuah peti. Peti terÂsebut disimpan di dalam rumah kecil, rumah tempat semayam (
bale) di samping pelataran temÂpat orang bermain tandak.
Sejak saat itulah menjadi awal mula Kaki More dikenal masyarakat luas sebagai mumi. Sudah ada begitu banyak orang yang datang ke Wolondopo dan melihat
mamo (sebutan untuk Kaki More) baik turis dari luar negeri, dari mahasiswa dan siswa maupun dari orang-orang dari luar Flores seperti Jakarta,†tambah Paulus.
Ketika terjadi gempa di FloÂres tahun 1992. Banyak baÂnguÂnan rusak, termasuk dua tiang penyangga
bale roboh, tetapi jeÂnazah Kaki More 85 persen utuh. Tak ada kerusakan berÂarti. Hanya sendi pada lutut meÂngaÂlami retak,†tutur PauÂlus.
Tidak Tergiur Uang Suap Dari Belanda
Jadi Mata-mata Pahlawan†EndeSiapa Kaki More yang maÂyatÂnya diawetkan jadi mumi? Ia adalah salah satu
mosalaki (teÂtua adat) Sao Rengununu. Ia lahir sekitar tahun 1868 di WoÂlondopo. Putra kedua dari 5 berÂsaudara dari pasangan More Songgo dengan Kemba Dhiki.
Semasa hidupnya ia dikenal sebagai orang yang jujur, taat, pandai dan berani. Sehingga oleh mosalaki dan tua adat kamÂpung Wolondopo dan Wolojita, Kaki More diangkat menjadi peÂnanggung jawab, juru bicara baik untuk hubungan keluar maupun untuk keperluan ke dalam kampung.
Dalam istilah Lio disebut seÂbaÂgai
tau pidhi wiwi laki lapi lema ongga,†jelas PauÂlus, keÂtuÂruÂnan Kaki More saat menÂdamÂpingi melihat mumi Kaki More.
Paulus mengungkapkan KaÂki More turut berperan menÂgusir penjajah Belanda. MaÂmo juga dikenal sebagai maÂta-mata dari pahlawaan loÂkal Ende Lio Mari Longa,†seÂbut PauÂlus. Mari Longa hidup pada kurun 1855-1907.
Dalam buku Sejarah Kota Ende†yang diterbitkan Pustaka Larasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende tahun 2006, disebutkan, perÂlaÂwaÂnan Mari Longa terhadap pasukan Belanda berlangsung selama 1893-1907.
Mari Longa gugur di medan pertempuran yang terjadi di BenÂteng Watunggere tahun 1907, setelah terkena pukulan poÂpor senjata Letnan Jeffry. NaÂmun, Belanda yang mulai maÂsuk ke Ende sekitar tahun 1864 kesulitan menembus benteng pertahanan Mari Longa karena peran Kaki More.
Kaki More, tutur Paulus, bersama Mari Longa tak mau tunduk dan membayar pajak kepada Belanda. Keduanya juga begitu gigih mempertahankan kedaulatan adat istiadat yang sudah diwariskan berabad-abad. Hingga suatu saat Belanda menÂcoba menyuap Kaki More deÂngan memberikan iming-iming uang logam penuh sekaÂleng beÂsar. Belanda meminta Kaki More tak bekerja lagi untuk Mari Longa. Belanda juga meÂminÂtanya membuat jalan tembus dari Ekoleta menuju benteng pertahanan Mari Longa di KeÂcamatan Detukeli.
Tapi, keinginan Belanda itu ditolak. Belanda marah besar dan mencoba membakar ramÂbut, kumis, dan bulu mata Kaki More dengan menggunakan kayu api. Tapi, anehnya Kaki More tak terbakar, malah dia meÂlawan dan mengusir BelanÂda,†kata Paulus. ***