Baju dan celana yang mereka kenakan kotor. Beberapa tak mengenakan baju. Tak ada yang memakai alas kaki.
Mereka adalah manusia peÂrahu†yang ditangkap aparat PolÂri, TNI serta Kementerian KeÂlauÂtan dan Perikanan, karena menÂjaring ikan di perairan IndoÂnesia. Tenda besar di lapangan BuÂlaÂlung, Pulau Derawan, KamÂpung Tanjung Batu, Berau, KaÂliÂmantan Utara, disediakan untuk jadi temÂpat penampungan mereka.
Pemerintah menyebut mereka yang ditangkap itu adalah nelaÂyan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Namun, peÂmerintah Malaysia tak meÂngaÂkuiÂnya. Semua nelayan negeri jiran yang melanggar batas wilayah suÂdah dikembalikan ke negaranya.
Ternyata manusia perahu itu adaÂlah Suku Bajo. Suku ini diÂkeÂnal sebagai nomaden. Mereka hiÂdup di laut dan mengarungi perÂairan Indonesia, Malaysia maÂuÂpun Filipina. Lantaran itu ada yang menyebut mereka gipsi lautâ€. Di Indonesia, suku ini terÂsebar di 21 provinsi. Jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.
Laut dengan Suku Bajo seperti tak terpisahkan. Suku ini memÂbaÂngun tempat tinggal model pangÂgung di atas laut. Di SamÂpela, Pulau Kaledupa, Wakatobi, SuÂlawesi Tenggara, terdapat perÂkampungan suku ini.
Anak-anak berusia 4-6 tahun suÂdah jago menyelam. Di usia seÂdini itu, mereka dapat menyelam selama 5 menit tanpa alat bantu perÂnapasan. Itu yang paling lama namanya Kardo. Dia masih 4 tahun,†ujar Abdullah, warga Bajo di Sampela, menunjuk boÂcah-bocah yang asyik berenang.
Setiap hari anak-anak Bajo berÂlatih menyelam di depan rumah mereka. Sebuah kayu besar seÂngaja dipasang di dasar laut seÂbagai tempat berpegangan. WarÂga Bajo mengandalkan hidup seÂbagai nelayan.
Ada aturan main†dalam meÂnangkap menangkap ikan yang ditaati bersama oleh Suku Bajo. Yaitu, memilih ikan yang usianya sudah matang untuk dikonsumsi. Mereka tidak mau menangkap ikan yang masih kecil.
Cara memÂbedakannya, mereka tahu persis musim bertelur maÂsing-masing jenis ikan sehingga ikan yang bertelur tidak akan diÂambil. Ini kearifan lokal yang diÂpegang teguh suku ini.
Untuk mencari ikan, Suku Bajo membawa sampan ke tengah laut, kemudian menyelam tanpa alat bantu pernapasan. Mereka hanya mengenakan kacamata yang
frame-nya terbuat dari kayu. Ikan-ikan ditangkap dengan banÂtuan alat sejenis panah.
Di Wakatobi, suku Bajo juga menjaga segi tiga karang dunia yang sangat terkenal sebagai surÂga para penyelam.
Kami punya moto
di lao deÂnaÂkangku (lautan adalah sauÂdaÂraku),†tegas Abdul Manan, PreÂsiden Suku Bajo Indonesia.
Perkampungan Bajo di WaÂkaÂtobi tersebar di lima lokasi. Yakni, di Mola, Pulau Wangi-Wangi; ManÂtigola dan Lohia di Pulau KaÂledupa; Lamanggu di Pulau ToÂmia; dan Sama Bahari di Sampela.
Wakatobi merupakan kepenÂdekan empat pulau besar di sana, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, ToÂmia, dan Binongko. Dengan daÂtang langsung ke Wakatobi, eksotisme suku Bajo terlihat lebih indah dari yang digambarkan film
The Mirror Never Lies yang diÂbintangi Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian.
Populasi masyarakat suku bajo yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), meÂrupakan yang terbesar di seluruh wilayah pesisir Indonesia.
Khusus di kota Wangi-Wangi saja, jumlah populasi suku Bajo menÂcapai 20 ribu jiwa. Di daerah lain, seperti Kalimantan, SulaÂwesi Selatan dan Sulawesi TeÂngah, dalam satu komunitas suÂku Bajo paling banyak 3.000 hingga 5.000 jiwa,†ungkap KeÂpala DiÂnas Kelautan dan PerÂikanan KaÂbupaten Wakatobi, La Ode Hajibu.
Populasi Suku Bajo yang terus meningkat di Wakatobi, menjadi tantangan tersediri bagi PemeÂrinÂtah Kabupaten Wakatobi. TerutaÂma, saat melakukan pembinaan dan pemberdayaan ekonomi SuÂku Bajo. Pasalnya, seluruh koÂmuÂnitas masyarakat tersebut seÂpeÂnuhnya menggantungkan hiÂdup dari hasil laut dan mengambil batu karang yang dijual menjadi bahan membangun rumah.
Kesulitan kita dalam melaÂkuÂkan pembinaan terhadap maÂsyaÂrakat suku Bajo, karena mereka tidak mencari sumber kehidupan lain selain dari potensi sumber daya alam yang ada di laut,†katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, potensi sumÂber daya laut, terutama terÂumÂbu karang, harus diselamatkan dari berbagai ancaman kerusakan kaÂrena bisa mengancam kelesÂtaÂrian sumber daya perikanan yang menjadi sumber kehidupan utaÂma masyarakat Wakatobi.
Di tengah kita melakukan peÂngawasan terhadap aktivitas masÂyarakat Bajo mengambil batu kaÂrang, ada saja warga yang luput dari pantauan petugas,†akunya.
Kalaupun ada warga terÂtangÂkap tangan sedang mengambil baÂtu karang, sulit diproses huÂkum karena pelakunya nenek-nenek yang sudah berusia lanjut.
MeÂnurut La Ode, jumlah nelaÂyan miskin di Wakatobi yang tersebar di 100 desa dan kelurahÂan menÂcapai 31.000 jiwa lebih atau seÂkiÂtar 34 persen dari total penÂduduk Wakatobi yang berÂjumlah sekitar 114.000 jiwa.
Jumlah nelayan sebanyak itu, tiÂdak memiliki sumber pendÂaÂpaÂtan lain kecuali hanya mengÂganÂtungkan hidup dari potensi sumÂber daya kelautan yang ada di Wakatobi.
Makanya, kita PemeÂrintah KaÂbupaten Wakatobi tetap menÂjaga kelestarian wilayah WaÂkaÂtobi dan membina nelayan agar meÂmanfaatkan sumber daya keÂlautan secara berkelanjutan,†pungÂkasnya.
Jago Menyelam, Diundang Ikut Kontes Di JermanPada 2007 berdiri perkumpulÂan Suku Bajo internasional. Abdul MaÂnan termasuk salah seorang penggagas perkumpulÂan itu. AngÂgota pertama berasal dari InÂdoÂnesia, Malaysia, dan Filipina. Belakangan, Suku Bajo di ThaiÂland juga bergabung.
Meski terÂsebar di berbagai neÂgara, bahasa mereka sama, yakÂni bahasa Bajo. Hanya, maÂsing-masing dipengaÂruhi logat wiÂlayah tempat mereka meneÂtap,†kata Manan.
Masing-masing Suku Bajo di seÂbuah negara memiliki pemimÂpin yang disebut presiden. Pada 2008, para ketua perkumpulan Suku Bajo di Indonesia bertemu di Jakarta dan menunjuk Manan sebagai Presiden pertama Suku Bajo Indonesia.
Pertimbangannya, selain tingÂkat pendidikan yang tinggi, poÂpuÂlasi Suku Bajo di Wakatobi meÂrupakan yang terbesar di IndoÂnesia. Jumlahnya mencapai 12 ribu orang.
Selama enam tahun menÂjadi Presiden Bajo, Manan berupaya keras mendorong warÂga Bajo untuk bersekolah. Dia sibuk mencarikan beasiswa bagi warÂga Bajo di berbagai perÂguÂruan tinggi.
Saat ini, sudah 111 orang Bajo yang kuliah di Unhalu. 11 orang di fakultas kedokÂteran,†ungkap Manan bangga.
Kami juga tengah menjalin kerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung,†sambungnya.
Pada 7-9 NoÂvember 2013, Manan meÂngiÂnisiaÂtori Festival Bajo Internasional di Wakatobi. Seluruh perwakilan Bajo dari berÂbagai negara hadir. Mereka mengÂgelar berbagai upaÂcara dan ritual adat. Salah satu lomba yang khas adalah PiddaÂnang Mando, yakni lomba menaÂhan napas di dalam laut.
Saat itu, rekor yang tercipta seÂkitar 12 menit,†kata Manan.
Warga Bajo memang dikenal ahli menyelam. Mereka bisa meÂnyelam cukup lama di laut tanpa bantuan peralatan. Seorang warga Bajo di Desa Sama BaÂhari, SamÂpela, dekat Pulau KaÂledupa, La Oda, dipercaya bisa menyelam hingÂga lebih dari 20 menit tanpa alat bantu perÂnaÂpasan. Dia seÂmÂpat diÂundang ke Jerman untuk konÂtes
free diving di sana.
Tinggalkan Laut, Dapat Beasiswa Kuliah Di ThailandAbdul Manan, Presiden Bajo Indonesia Suku Bajo adalah suku bangsa yang tanah asalnya dari KeÂpuÂlauan Sulu, Filipina Selatan. MeÂÂreka nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajo menggunakan bahasa Sama-Bajo. Sejak ratuÂsan tahun yang lalu sudah meÂnyebar ke negeri Sabah dan berÂbagai wilayah Indonesia.
Saat ini, Suku Bajo menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, terutama Indonesia Timur, bahkan sampai ke MaÂdagaskar. Wilayah Indonesia yang didiami suku ini antara lain: Kalimantan TiÂmur (Berau, dan Bontang), KaÂlimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajo Rampa KaÂpis, Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa TengÂgara Barat, Nusa Tenggara TiÂmur (Pulau Boleng, Seraya, LoÂngos, dan Pulau Komodo), dan Sapeken, Kepulauan Kangenan, Sumenep, Jawa Timur.
Pemimpin Suku Bajo di InÂdoÂnesia disebut presiden. AbÂdul Manan, adalah presiden perÂtaÂma Suku Bajo Indonesia. MeÂnaÂriknya, pemimpin suku yang rumahnya di atas laut itu adalah seorang pakar lingkuÂngan luluÂsan luar negeri.
Manan tinggal di pemukiman Suku Bajo di Kampung Mola, Wangi-wangi Selatan, WaÂkaÂtobi, Sulawesi Tenggara. Ada 1.200 rumah panggung yang berdiri di kampung itu. Setiap sore, warga Wangi-Wangi daÂtang ke Mola untuk membeli ikan.
Banyak jenis ikan yang diÂjual di sana dan harganya saÂngat murah. Misalnya, ikan keÂrapu biru yang di pulau Jawa bisa menÂcapai Rp 700 ribu per kiloÂgram di Mola paling mahal Rp 50 ribu.
Di kampung itulah Manan berasal. Pria kelahiran 19 Mei 1961 tersebut dipilih menjadi PreÂsiden Bajo sejak 2008. Dia dipilih dalam kongres pertama suku Bajo di Jakarta.
Manan merupakan seorang di antara sedikit warga Bajo yang memiliki kesadaran tentang penÂdidikan. Setelah lulus SMP, dia bersikeras meninggalkan Mola. Tidak ada teman-teman seÂbayanya saat itu yang melanÂjutkan ke SMA.
Bahkan, tidak banyak anak Bajo yang menikmati bangku SMP. Mereka memilih memÂbantu orang tua mencari ikan di laut. Modal nekad, Manan meÂlanjutkan SMA di Bau-Bau, SuÂlawesi Tenggara.
Saya saat itu kaÂgum dengan orang yang puÂlang ke Wakatobi setelah meÂranÂtau untuk kuliah. Mereka terÂlihat hebat di mata saya,†kisah Manan.
Lulus SMA di Bau-Bau, MaÂnan mendapat beasiswa untuk kuÂliah di Fakultas Pertanian UniÂÂverÂsitas Halu Oleo (UnÂhalu), KenÂÂdari. Dia seangkatan deÂngan HuÂgua, Bupati Wakatobi saat ini. Lulus kuliah, Manan sempat menÂjadi dosen di Unhalu.
Kemudian, dia mendapat keÂsempatan melanjutkan S-2 di juÂrusan teknik lingkungan di Chiang Mai University, ThaiÂland. Sepulang dari Negeri GaÂjah Putih itu, Manan diperÂcaya rektor Unhalu saat itu, Prof SoÂleh Salahudin, menjadi keÂpala pusat studi lingkungan.
Pada 2003, Wakatobi menjaÂdi kabupaten baru, hasil pemeÂkaÂran dari Kabupaten Buton. Baru pada 2006, Wakatobi meÂmiliki bupati sendiri setelah dipimpin peÂlaksana tugas (Plt) bupati. HuÂgua, teman kuliah Manan, terpilih menjadi bupati pertama Wakatobi.
Pada 2007, Hugua meminta Manan pulang kampung untuk menjadi staf ahli di bidang lingÂkungan. Sejak 2008 hingga seÂkarang, Manan dipercaya menÂjadi kepala Badan PerencaÂnaan Pembangunan Daerah (BaÂpÂpeda). ***