Perlu menapaki gang sempit sejauh 25 meter sebelum tiba di deÂpan rumah yang terletak di seÂbelah kiri gang. Gembok pagar besi dibukanya. Enam anjing meÂnyambut. Tak mengindahkan heÂwan peliharaannya, Kamang meÂnuju kamar di bangunan baru di haÂlaman seluas 2.444 meter persegi.
Bangunan itu berukuran 5x15 meter. Ada sebuah kamar yang disekat dari tripleks. Kamar itu sempat ditempati Evie Ngantung, ibu Kamang sebelum tutup usia pada 3 September lalu. Bangunan ini dibangun Dinas Perumahan dan Tata Ruang DKI Jakarta. Rencananya akan dijadikan galeri dan Taman Henk Ngantung.
Henk yang memiliki nama lengÂkap Hendrik Hermanus Joel NganÂtung adalah gubernur Jakarta periode 27 Agustus 1964 dan 15 Juli 1965. Henk berlatar beÂlakang seniman. Saat itu, PreÂsiden Soekarno ingin memÂbaÂngun Jakarta sebagai kota buÂdaya. Henk—yang sebelumnya wakil gubernur Jakarta periode 1960-1964—pun dipercaya unÂtuk mewujudkan keinginan itu.
Belum sempat mewujud keÂinginan Soekarno, meletus GeÂrakÂan 30 September. Peristiwa itu berujung pada berakhirnya keÂkuasaan sang prokolamator. Henk dituduh terlibat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berÂafiliasi dengan Partai KoÂmuÂnis Indonesia (PKI). Ia pun diÂberÂhentikan dari jabatannya. Hingga Henk tutup usia, tuduhan itu tak pernÂah dibuktikan.
Setelah tak jadi gubernur, Henk dan keluarganya menempati rumah dengan pekarangan luas di gang Jambu. Ia hidup dari meÂluÂkis. Kehidupan keluarganya morat-marit setelah sang seniman wafat pada 1991. Pasalnya, uang penÂsiun yang diterima keluarÂgaÂnya hanya Rp 830 ribu per bulan. Rumah peninggalan hancur kaÂrena tak terawat.
Pada 2012 lalu, Evie, istri menÂdiang Henk mengadu ke Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Basuki yang biasa diÂpanggil Ahok menjanjikan akan memugar tempat tinggal Henk. Janji itu ditempati.
Menurut Kamang, bangunan baÂru yang ditempati ibunya seÂlesai dibangun akhir tahun 2013. “Jelang Natal bangunan sudah jadi,†tuturnya.
Bangunan baru itu tadinya berÂbentuk seperti pendopo tanpa sekat maupun dinding. Termasuk akses masuk melalui anak tangga tak berpintu. Di dalamnya ditaruh satu set sofa seperti tempat meÂneÂrima tamu. Di sudut ruangan menÂdiang Evie meminta dijaÂdiÂkan kamar karena rumahnya suÂdah tak layak. Di dinding penÂdopo ini dipasang spanduk berÂgamÂbar Jokowi-JK.
Bangunan ini berdiri di bekas sangÂgar lukis Henk. Dulu luÂkisÂan-lukisan peninggalan disimpan di sanggar ini. Lantaran tak teÂraÂwat, sanggar ini hancur termakan usia. Atapnya ambruknya. “DeÂngan uang pensiun 830 ribu per bulan, Ibu tak bisa merenovasi,†tutur Kamang.
Sebelum Evie wafat, dia semÂpat menawarkan rumahnya keÂpada Ahok agar dibeli Pemprov DKI. Kamang, selaku waris juga seÂtuju tempat tinggalnya dibeli peÂmerintah. Ia mengatakan seÂdang mengurus peningkatan surat tanah rumah orang tuanya dari Hak Guna Bangunan (HGB) menÂjadi Hak Milik. “Sudah ke BPN (Badan Pertanahan NasioÂnal) Jakarta Timur. Minggu depan mau diukur,†kata Kamang.
Sejak ibunya meninggal, KaÂmang menempati rumah ini seÂorang diri. Kedua kakaknya tingÂgal di luar negeri. Kamang berÂpisah dengan istri dan anak-anakÂnya yang tinggal di rumah mertua di Cipayung, Bogor.
Kamang berharap surat tanah bisa cepat terbit sehingga rumah keÂluarganya bisa segera diseÂrahÂkan ke Pemprov DKI. “(Dinas) PerÂtamanan juga sudah menÂdesak,†sebutnya. Ia diberitahu, DiÂnas sudah menyediakan angÂgaran pembelian pada tahun ini.
Sketsa Dan Tulisan Tangan Diserahkan Ke Arsip NasionalHendrik Hermanus Joel NganÂtung, atau Henk NganÂtung, merupakan salah satu seÂniman terbaik Indonesia. KarÂyaÂnya yang terkenal antara lain, sketsa Tugu Selamat Datang yang menggambarkan sepasang pria dan wanita sedang meÂlamÂbaikan tangan di bundaran HoÂtel Indonesia, Jakarta.
Ide pembuatan patung itu, berÂasal dari Presiden Soekarno dan design awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang saat itu merupakan wakil Gubernur DKI Jakarta. Henk juga memÂbuat sketsa lambang DKI JaÂkartÂa dan lambang Kostrad.
Semenjak tidak menjadi guÂberÂnur, keluarga Henk tinggal diÂsudut Ibukota. Tepatnya, di Gang Jambu Nomor 25 RT 07 RW 04, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Meski memiliki lahan seluas 2.444 meter, para manÂtan pejabat seangkatannya, kebanyakan tinggal di kawasan elite, Menteng, Jakarta Pusat.
Di rumah itulah, karya-karya Henk Ngantung disimpan. TanÂpa perawatan khusus, beberapa karyanya rusak dimakan usia. HaÂnya sebagian yang bisa diseÂlaÂmatkan Evie, istrinya. Pihak Arsip Nasional Republik IndoÂneÂsia (ANRI) beberapa kali daÂtang untuk membujuk Evie meÂnyerahkan dokumen maupun karÂya Henk kepada negara. DiÂsepakati, penyerahan pada 28 OkÂtober 2014. Sebelum itu terÂjaÂdi, Evie tutup usia. Serah teÂrima akan dilakukan Kamang selaku ahli waris.
“Ibu sempat nggak mau (meÂnyerahkan). Kami lalu diajak ke Arsip Nasional, di sana diperÂliÂhatkan bahwa tempat penyimÂpanÂannya baik. Ibu akhir mau meÂnyerahkan,†ujar Kamang.
Beberapa karya yang akan diÂserahkan adalah, tulisan taÂngan maupun sketsa-sketsa Henk Ngantung. Menurutnya, selama ini benda-benda itu ditaruh di ruÂmah tanpa dirawat. Kertasnya mulai lapuk. “Kita ingin memÂbantu negara menyelamatkan arsip. Bagaimana juga, Bapak bagian sejarah,†kata Kamang.
Kamang lalu memperlihatkan salah satu karya ayahnya, yakni lukisan pria muda mengenakan kemeja berkerah. Lukisan itu dipajang di kamar tidurnya. Pria di lukisan itu adalah ayahnya. Henk melukis dirinya pada 1939. Bisa diketahui dari tangÂgal yang dibuat di bawah tulisÂan. “Ini Bapak melukis mukaÂnya sendiri pakai kaca,†ujar Kamang.
Selama Evie hidup, lukisan ini selalu dijaganya. Meski suÂdah berusia lebih 70 tahun, konÂdisi lukisan itu masih baik. BingÂkainya pun belum rusak. Jika galeri Henk Ngantung jadi dibuat, Kamang akan menyeÂrahÂkan lukisan ini untuk dipajang.
Hingga kini, Kamang masih menyimpan peninggalan Henk. Ia khaÂwatir benda-benda berseÂjaÂrah ini raib jika dipajang di penÂdopo galeri. ***