Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dalam 20 Menit, Pipa Menembus Dasar Laut

Pembangunan Tanggul Laut Raksasa Jakarta Dimulai

Senin, 13 Oktober 2014, 07:57 WIB
Dalam 20 Menit, Pipa Menembus Dasar Laut
ilustrasi
rmol news logo Kapal tongkang bersandar di bibir laut Muara Baru Ujung, Penjaringan, Jakarta Utara. Di atas tongkang itu crane mengangkat sebuah pipa baja bulat berdiameter 1,2 meter. Secara perlahan pipa diturunkan ke air dengan posisi vertikal. Dengan mesin pancang, pipa ditekan-tekan. Suara mesin terdengar menderu.

Berlangsung selama 20 menit, pipa sepanjang 75 meter itu bisa berdiri tegak menembus dasar laut. Hanya menyisakan 2 meter ujungnya menyembul di atas permukaan air.

Pipa ini adalah cetakan (be­kis­ting) pondasi tanggul laut raksasa (giant sea wall) Jakarta. “Nanti di dalamnya akan diisi cor beton agar kuat,” kata Wawan, pekerja yang mengenakan helm proyek ber­tuliskan PT Karya Bangun Se­mesta. Ia mengamati proses pe­nancapan pipa dari atas tongkang.

Sudah hampir sebulan dia dan 19 pekerja lainnya menancapkan pipa di Muara Baru. Sebanyak 17 pipa sudah ditancapkan berderet. Membentuk “benteng” sepanjang 24 meter. “Nanti (pipa) dilas agar menyambung,” jelas Wawan.

Pondasi tanggul model ini akan membenteng sepanjang 32 kilo­meter di laut uatara Jakarta. Pem­bangunan tanggul ini merupakan bagian dari proyek National Ca­pital Integrated Coastal De­ve­lopmet (NCICD) atau Pe­ngem­bangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara.

Proyek ini diawali dengan mem­perkuat dan membangun tanggul yang akan membentengi ibukota dari air laut. Kamis lalu, program ini diluncurkan. Ditandai dengan groundbreaking pipa pondasi tanggul.  

Acara itu tidak dihadiri Gu­ber­nur DKI Jakarta, Joko Widodo, maupun wakilnya, Basuki Tjahja Purnama. Adalah, Sarwo Han­da­yani, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan yang mewakili Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Saat diminta memberikan sam­butan, Handayani menyebutkan sang gubernur maupun wakilnya ti­dak dapat hadir. Handayani me­ngatakan, proyek tersebut selain solusi dari rob, juga sebagai  pe­nanggulangan dampak penu­ru­nan tanah untuk wilayah utara Jakarta.

Menurut wanita yang akrab di­sapa Yani ini, nanti akan diba­ngun pusat ekonomi, bisnis dan pe­mukiman baru di atas 17 pulau buatan. “Karena ada pengem­bangan pelabuhan internasional, pengembangan kawasan komer­sial dan pemukiman,” jelasnya.

Sehari berselang, Wakil Guber­nur Basuki Tjahja Purnama ang­kat bicara atas ketidakhadirannya saat ground breaking mega pro­yek tersebut. Pria yang akrab di­sapa Ahok itu mengeluhkan ko­munikasi antara pemerintah pusat dengan pemda yang sering tak lancar mengenai pelaksanaan proyek kakap ini.

Dia tak kaget Wali Kota Jakarta Utara Heru Budi Hartono mela­porkan belum diajak koordinasi untuk menangani masalah sosial yang muncul akibat dimulainya Tahap A NCICD. “(Pemerintah) pu­sat memang sering begitu,” kritik Ahok pada wartawan di Ba­lai Kota, Jumat lalu.

Pencanangan Tahap A awalnya dilakukan Pemprov DKI dengan pengembang. Pengembang—yang akan mereklamasi laut men­jadi 17 pulau—memiliki ke­wa­jiban membangun tanggul laut sepanjang 24 kilometer.

“Pencanangan itu tadinya memang DKI dan pengembang. Tiba-tiba pusat bilang ada pen­ca­nangan. Tapi sekarang pusat yang mau leading, ya saya sih nggak apa-apa. Mau siapa yang me­n­canangkan yang penting beres,” kata Ahok.

Selama ini, baru digelar satu kali pertemuan antara pusat dan Dinas Tata Ruang DKI mem­ba­has soal desain kawasan ter­padu yang akan dibangun.

Pada pencanangan Kamis lalu hadir Menteri Koordinator Per­ekonomian Chairul Tanjung, Wa­kil Menteri Pekerjaan Umum Her­manto Dardak, Kepala Bap­pe­nas Armida Alisjahbana, Men­teri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, dan perwakilan pengembang.

Chairul Tanjung mengatakan, komitmen pemerintah sangat pen­ting untuk menyelesaikan pro­yek Giant Sea Wall  Jakarta. Jika tidak, proyek yang ditar­get­kan selesai 2030 bisa molor 2050. Saat itu mung­kin Jakarta sudah tenggelam.

Ia menjelaskan proyek ini di­bagi menjadi tiga tahap. Tahap A atau pertama adalah pem­ba­ngu­nan tanggul sepanjang 32 km di tepi pantai. Tanggul ini dikerja­kan bersama pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan in­vestor. Targetnya selesai tahun 2017—2018.

“Biaya yang dibutuhkan sangat besar. Sudah diputuskan 8 kilo­meter tanggung jawab pem­e­rin­tah pusat dan DKI. Sebanyak 50 persen (biayanya) ditanggung pu­sat dan 50 persen ditanggung DKI,” jelas Tanjung.

Sisanya, pembangunan tanggul sepanjang 25 km menjadi tang­gung jawab investor pemegang konsesi proyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta.

Tahap berikutnya pemba­ngu­nan fase B dan fase C. Proses pe­ngembangan seluruh kawasan yang diperkirakan tuntas tahun 2030. Diperkirakan, butuh ang­garan hingga Rp 500 triliun un­tuk menyelesaikannya pada 2022.

PLN Minta Pembuatan Tanggul Dilakukan Hati-hati
Pembangkit Muara Karang & Priok Jadi Tulang Punggung Listrik Di Ibukota

PLN meminta kontraktor berhati-hati dalam menggarap pem­ba­ngunan tanggul laut raksasa di pe­sisir Jakarta. Jangan sampai pem­bangunannya mengganggu pem­bangkit listrik.

Direktur Perencanaan dan Pem­binaan Afiliasi PT PLN Mur­taqi Syamsuddin mengatakan pembangunan tanggul raksasa ber­singgungan dengan beberapa pembangkit yang memasok listrik ke wilayah Jakarta. Yakni Pem­bangkit Listrik Gas Uap (PLTGU) Muara Karang dan Tan­jung Priok berkapasitas total 4.000 megawatt (MW). Kedua pembangkit ini meru­pakan tulang punggung ke­lis­tri­kan Jakarta.

“Pelaksanaan harus hati-hati, di sana ada dua PLTU yang total­nya 4.000 Megawatt. Itu tulang punggung pasokan listrik Ja­kar­ta,” ujar Murtaqi.

PLTU Muara Karang dan Tan­jung Priok, lanjut dia, sangat ber­gantung pada pasokan air laut se­bagai media pendinginan. Arti­nya, bila proses pendinginan ter­se­but terganggu, maka akan me­nimbulkan dampak penurunan ki­nerja pembangkit meng­ha­sil­kan listrik.

Untuk itu, PLN berharap pem­bangunan tanggul bisa di­koor­dinasikan terlebih dahulu agar tidak berdampak buruk terhadap aktivitas pembangkit.

“Itu yang perlu diperhatikan. Ha­rapannya perencanaan itu be­kerja sama dengan PLN . Ini da­lam proses,” katanya.

“Kalau kena pembangkit itu, DKI kehilangan 4 ribu megawatt. Apa gunanya pembangunan ka­lau tidak punya listrik. Jadi perlu hati-hati dalam pelaksanaannya. Karena itu desainnya koordinasi dengan PLN jangan sampai ke­dua pem­bangkit itu tergang­gu,” tutupnya.

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak berha­rap tanggul yang dibangun secara terpadu ini bisa berfungsi baik. Pemerintah, kata dia, akan me­ngeluarkan kriteria desain, yang di dalamnya tercakup soal ke­ama­nan seperti desain penahan gelombang yang bisa bertahan lama.

“Tinggi elevasi mercu tanggul yang harus sama dan mampu me­ngatasi problema kenaikan muka air laut dan penurunan tanah hing­­ga 2030,” ujar Hermanto.

Pada fase pertama pemba­ngu­nan tanggul, imbuh Hermanto, juga akan dilakukan revitalisasi waduk-waduk atau kolam retensi banjir dan pompa-pompa tam­pu­ngan banjir, serta peningkatan ka­pasitas sungai dan perbaikan mua­ra-muara sungai.

Warga Maklumi Suara Bising Mesin Crane

Proses pemasangan pipa-pipa baja cetakan pondasi tang­gul laut menjadi hiburan ter­sen­diri bagi warga Muara Baru Ujung, Jakarta Utara. Pada sore hari, ibu-ibu ber­sama anaknya per­gi ke tepi laut untuk me­nyaksikan dimu­lai­nya proyek NCICD.

Warga menaruh harapan besar pembangunan tanggul ini bisa menghindari mereka dari rob. Casmadi, warga RT 20 RW 17 Muara Baru, Penjaringan, Ja­karta Utara mengatakan warga di sini akrab dengan banjir ka­rena setiap tahun diterjang rob.

Ketika pasang tinggi, rumah­nya yang berlantai dua meren­dam sampai dua meter. “T­ang­gul sudah di-double, mudah-mudahan nggak banjir lagi. (Tanggul) pernah jebol, semua rumah di sini terendam,” tutur Casmadi.

Dimulainya pembangunan tanggul laut ini memunculkan problem sosial baru. Mesin pan­cang dan crane mengeluarkan suara bising. Untungnya, warga bisa memaklumi.

“Asalkan ti­dak banjir lagi ti­dak apa-apa,” ujar Casmadi yang rutin “menonton” pe­nan­capan pipa baja di sela-sela na­rik bajaj.  

Wawan, pekerja proyek me­ngamini mesin-mesin yang di­gunakan untuk menancapkan pipa baja ke dasar laut m­e­nim­bulkan suara bising. Sejauh ini, kata dia, warga belum ada yang komplain.

Saat waktu tidur, para pekerja menghentikan aktivitas pe­nan­capan pipa. “Kita tahu meng­gang­gu, makanya tidak kami ker­jakan 24 jam sehari,” ujarnya.

Air laut di tepi Muara Baru Ujung, Penjaringan, Jakarta Utara, berwarna hitam pekat. Ti­dak sedikit, sampah plastik me­­ngambang hingga ke pipa-pipa baja cekatan pondasi tang­gul yang akan dibangun.

Sampah mengambang ini menambah pekerja proyek. Dari atas kapal tongkang, mereka me­nyeroki sampah dengan tong­kat jaring. Ini dilakukan sampai per­mukaan laut bersih sebelum pipa ditancapkan.

Jika tidak dibersihkan sam­pah itu akan terdorong ke dasar laut ketika adukan cor di­tuang­kan ke dalam pipa. “Kita galah dulu sampahnya, baru dip­an­cang,” ujar Wawan.

Terlihat ada empat orang pe­kerja yang membersihkan sam­pah yang mengambang. Jika per­mukaan air sudah bersih, se­orang pekerja menginstruksikan operator crane untuk mulai me­nurunkan pipa baja.

Pembangunan tanggul laut raksasa ini bukan tanpa kritik. Wa­hana Lingkungan Hidup (Wal­hi) Jakarta menilai pemba­ngunan ini bukan solusi me­nga­tasi rob yang kerap melanda pe­sisir Jakarta.

Dewan Daerah Walhi Jakarta Ubaidillah mengatakan, rob hanya salah satu konsekuensi dari kesemrawutan dalam tata ke­lola sumber daya dan pen­a­ta­an ruang kawasan pesisir Ja­karta.

“Selain rob, masalah lain­nya yang ada di teluk Jakarta, ada­lah seperti fenomena peru­ba­han iklim dan kenaikan muka air laut, abrasi pantai, sampah dan limbah, serta instrusi air laut,” sebutnya.

Ia menambahkan ada masalah lain yang harus diperhatikan, yaitu penurunan tanah, han­cur­nya ekosistem pantai laut, pe­mukiman kumuh, krisis air ber­sih, kandungan logam berat yang terdapat pada tangkapan ikan dan budidaya kerang ne­layan tradisional, hingga an­ca­man hilangnya cagar budaya ser­ta situs sejarah.

Banyaknya persoalan ters­e­but, lanjutnya, disebabkan tata kelola kawasan pesisir Jakarta yang mengabaikan daya dukung lingkungan dan peruntukan ruang yang tidak adil.

“Kalau di­perhatikan faktanya, panjang pantai Jakarta sepan­jang 32 ki­lo­meter yang m­e­m­bentang dari barat ujung Kamal Muara, Pen­jaringan hingga ke Timur ujung Cilincing, lahan didominasi oleh pusat industri, pelabuhan, tem­pat rekreasi ko­mersil dan hunian eksklusif,” katanya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA