Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pinjam Troli DPR, Achsanul Bawa Pulang Kulkas Pribadi

Terpilih Jadi Pimpinan BPK, Anggota Dewan Beres-beres

Rabu, 24 September 2014, 08:07 WIB
Pinjam Troli DPR, Achsanul Bawa Pulang Kulkas Pribadi
Achsanul Qosasi
rmol news logo Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin menetapkan empat pimpinan baru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2014-2019. Dua di antaranya anggota DPR periode 2009-2014: Achsanul Qosasih dan Harry Azhar Azis. Begitu paripurna selesai, kedua politisi itu langsung disalami koleganya di parlemen.

Achsanul adalah politisi Par­tai Demokrat. Sedangkan Harry Azhar Azis dari Par­tai Golkar. Aksi salam-sala­man itu, seperti tanda perpisahan bagi ke­duanya di parlemen dan du­nia po­litik. Sebagai anggota BPK, me­re­ka harus melepas atri­but partai po­litik yang selama ini disandangnya.

Usai paripurna, Achsanul ber­gegas menuju ruangan kerjanya di lantai 15 gedung Nusantara I, S­e­nayan, Jakarta Selatan. Ia hen­dak beres-beres. Diruangannya yang bernomor 2129, masih ter­pampang papan namanya. Stiker lambang Partai Demokrat pun masih menempel di pintu kaca.

Masuk ke ruangan, Achsanul langsung disambut dua stafnya yang bekerja di bagian depan ruang kerja anggota DPR. Ber­bincang sejenak soal tugas-tugas parlemen, ayah satu anak itu me­nuju ruang kerjanya. Jas hitam di­lepas lalu ditaruh kursi.

Menyandarkan punggung ke kursi, Achsanul langsung ber­ha­dapan dengan tumpukan berkas setinggi 30 cm di atas mejanya. Isinya beragam. Ada arsip DPR, hingga buku-buku bacaan. Berkas-berkas itu, akan disortir dan dimasukkan kar­dus untuk dibawanya pulang. “Sudah 80 persen beres-beres se­lesai,” ujar politisi asal Madura ini.

Beres-beres dimulai sejak pe­kan lalu. Sepanjang Jumat-Ming­gu tak ada agenda di DPR. Ia me­ngerahkan sopir pribadinya untuk membantu mengosongkan ruang kerjanya

Untuk mengangkuti barang-bar­ang pribadinya, Achsanul me­minjam troli milik DPR. Foto diri­nya bersama SBY berukuran be­sar telah dicopot dari dinding di sudut ruangan kerja. Foto itu dibawa de­ngan troli. Berikutnya giliran foto-foto keluarga, tulisan kaligrafi hing­ga plakat-plakat penghargaan yang dibawa pu­lang. Sebuah kul­kas miliknya juga sudah diangkut.

“Yang pasti tidak bawa barang milik DPR,” candanya.

Hampir semua benda-benda pri­badi milik Achsanul sudah di­angkut. Yang tersisa di rua­ngan­nya tinggal furnitur inventaris DPR. Yakni satu set sofa warna hi­jau, dua lemari kayu, meja dan kursi kerja, serta satu set kom­pu­ter. Tanpa barang-barang pribadi, ruangan kerja berukuran 32 meter persegi itu tampak lowong.

Paku-paku bekas tempat me­ngaitkan foto dan pajangan belum dicabut dari dinding ruangan ker­ja Achsanul. Paku-paku ini juga akan dicopoti. Achsanul ingin ruangan ini bersih saat dia me­ninggalkannya.

Mengenai berkas-berkas yang masih menumpuk di atas meja­nya, Achsanul menuturkan setiap hari hasil rapat di DPR. Menurut dia, sistem pelaporan model ini membutuhkan tempat penyim­pa­nan. Ia pernah menyarankan agar sistem pelaporan sidang dan rapat di DPR dibuat secara elektronik dan dikirim ke email.

“Setiap hari ada setengah kilogram kita terima. Ini disortir-sortir. Bo­ros kertas, yang penting saja di­bawa pulang,” katanya. Ia mengaku sediakan dua lemari besar khusus untuk m­e­nyimpan berkas-berkas DPR.

Sebelum melanjutkan beres-be­res, dia menyentuh nasi bung­kus.  Nasi bungkus di­buka. Isinya nasi dengan lapuk ikan ba­wal. Tak beberapa santapan ma­kan siang itu tandas.

Merebahkan badan usai santap makan siang, anggota Komisi XI yang membidangi keuangan ini merasa memiliki utang empat RUU yakni RUU Keuangan Ne­gara, Perbankan, Hubungan Ke­uangan Pusat dan Daerah serta Re­denomisnasi Rupiah. Empat RUU belum rampung hingga dia harus melepaskan jabatannya di DPR. Anggota Komisi IX lainnya juga tak bisa menyelesaikan pem­bahasan keempat RUU ini.  Pa­salnya, masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 tinggal hitu­ngan hari lagi.

Usai istirahat sejanak, Ach­sa­nul kembali menyortir berkas-ber­kas yang hendak dibawa pu­lang. Di sela-sela itu dia m­e­n­ce­ri­takan sudah pamit kepada SBY se­laku Ketua Umum Partai De­mok­rat, partai tempat dia ber­naung selama ini.

Ia juga sudah pamit kepada ko­leganya di DPR. “Ya Kamis atau Jumat depan saya sudah tidak ngantor di sini lagi,” sebutnya.

Usai ditetapkan sebagai ang­go­ta BPK baru, Harry Azhar Azis tak langsung kembali ke rua­ngannya untuk berbenah. Ia ber­ge­gas meninggalkan Senayan un­tuk menghadiri seminar m­e­nge­nai Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia salah satu pembicaranya.

Politisi Partai Golkar mengaku hampir rampung berbenah. Lu­ki­san anak-anaknya hingga cen­deramata dan buku-buku bacaan, le­bih dahulu diangkuti. Me­nu­rut­nya, hiasan-hiasan dinding itu, akan dipasang di ruang kerja ba­runya di BPK.

Harry mengaku dalam waktu de­kat akan melakukan “perpi­sa­han kecil” dengan dua stafnya yang telah menemaninya hampir lima tahun di DPR. “Ya makan-ma­kan saja,” ujarnya.

Sebelumnya, lima orang ter­pilih sebagai anggota BPK pe­riode 2014-2019 dalam voting di Ko­misi XI DPR, Senin pekan lalu. Pemilihan dilakukan lewat dua kali votingnya. Rizal Djalil kembali terpilih menjadi anggota BPK. Ia akan didampingi empat anggota baru yakni Achsanul Qo­sasi, Harry Azhar Azis, Mo­er­ma­hadi Soerja Djanegara, dan Eddy Mulyadi Soepardi.

Gagal Ke Nyaleg, Banting Setir Ke BPK

POLITISI DPR kembali mengisi kursi pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Achsanul Qo­sasi, anggota Fraksi Partai De­mok­­rat dan Harry Azhar dari Frak­si Partai Golkar ditetapkan sebagai anggota BPK Periode 2014-2019 dalam rapat paripurna DPR kemarin.

Dalam catatan Rakyat Mer­de­ka, tak sedikit anggota legislatif yang loncat pagar ke BPK. Ge­dung BPK kebetulan terletak di seberang kompleks DPR. Mereka yakni Abdullah Zainie, Baha­ruddin Aritonang, Rizal Djalil, Teuku Muhammad Nurlif dan Ali Masykur Musa. Ahsanul dan Harry mengikuti jejak itu.

Sebagian besar anggota DPR yang banting setir jadi anggota BPK lantaran tak bisa nyaleg lagi maupun karena tidak terpilih jadi wakil rakyat. Rizal Djalil, misal­nya. Par­tai tempatnya bernaung: PAN melarang mereka yang su­dah di­periode jadi anggota DPR un­tuk nyaleg lagi. Sebelumnya, Ri­zal anggota DPR periode 1999-2004 dan periode 2004-2009.

Baharuddin adalah anggota DPR periode 1999-2004 dari Par­tai Golkar. Pada Pemilu 2004 dia mencalonkan diri lagi. Ia berta­rung di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumut II. Partai beringin mem­per­oleh dua kursi di dapil ini. Diberikan untuk Rambe Kama­rul­­zaman dan Syarfi Hutauruk yang perolehan suaranya lebih banyak dari Baharuddin.

Abdullah Zainie adalah ang­go­ta DPR sejak 1971 hingga 1997. Selama kurun 1998-1999, dia men­jadi hakim di Badan Pe­nye­lesaian Sengketa Pajak (BPSP). Tahun Pemilu 1999 dia men­ca­lon­kan diri lagi jadi anggota DPR dan terpilih.

Di Senayan, politisi Partai Gol­kar ini sempat menduduki Ketua Panitia Anggaran DPR. Gagal jadi anggota DPR pada 2004, Zainie mendaftar jadi pimpinan BPK. Bah­kan, dia ditunjuk men­jadi wakil ke­tua BPK. Na­mun dia sempat diperiksa KPK dalam kasus suap audit an­g­garan Ko­misi Pemilihan Umum. Zaini wafat 4 April 2009 dalam usia 67 tahun.

Karier beberapa anggota BPK berlatar belakang politisi sempat ternoda. Baharuddin Aritonang dan Teuku M Nurlif dipenjara. Bu­kan lantaran melakukan pe­nye­lewengan di BPK, namun ka­rena tindak-tanduk mereka ketika di Senayan.

Baharuddin dan Nurlif terlibat suap dalam pemilihan Deputi Gu­bernur Senior BI Miranda Goel­tom pada 2004. Keduanya divo­nis satu tahun empat bulan pen­jara oleh Pengadilan Tipikor. Mereka juga didenda Rp 50 juta subsider tiga bulan penjara.

Sementara, Ali Masykur Musa sukses merampungkan satu periode duduk di kursi Anggota BPK (2009-2014). Santer terdengar po­litisi PKB itu kembali ikut pe­milihan periode selanjutnya. Na­mun di tengah jalan, Ali memilih mundur dari seleksi yang digelar Komisi XI DPR itu.

Ia mundur pada hari kelima seleksi calon pimpinan BPK. Te­pat­nya, saat Komisi XI me­la­ku­kan uji kelayakan dan kepatutan.  Tahun lalu. Ali me­ngikuti kon­ven­si Partai De­mokrat untuk men­jadi calon presiden. Keikut­sertaannya da­lam ranah politik memicu kritik dan protes dari ber­bagai kalan­gan, karena di­kha­watirkan menganggu oby­ekti­vi­tas dan independensi dirinya se­ba­gai anggota BPK

Mengikuti jejak pendahulunya, Achsanul dan Harry yang tak ter­pilih lagi menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 langsung me­la­mar jadi pimpinan BPK. Ke­dua­nya berhasil lolos seleksi.

Ngaku Kantongi Restu SBY
Plong, Tanggalkan Baju Partai

Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berlatar politisi harus menanggalkan baju partainya. Dua anggota BPK yang baru: Achsanul Qosasih dan Harry Azhar Azis pun harus mundur dari parpol.

Achsanul menuturkan sudah mengantongi restu dari Ketua Umum Partai Demokrat SBY sebelum melamar jadi anggota BPK pada Agustus lalu. “Pak SBY mempersilakan dan men­dukung saya ikut seleksi,” ujar Achsanul.

Terpilih sebagai anggota BPK, Achsanul merasa lebih plong (lega). Meninggalkan DPR dan menanggalkan baju partai, dia tak lagi terlibat dalam tarik-menarik kepentingan po­litik. “Lebih enak (di BPK), ti­dak ada tarik-tarikan,” katanya.

Sebelum ikut seleksi pim­pinan BPK, Achsanul mengaku sering membaca buku-buku soal keuangan negara. Me­nu­rut­nya, tugas BPK sangat berat. Sudah tepat, jika anggota BPK wajib lepas dari baju partai. Pa­salnya, lembaga itu harus me­meriksa Anggaran Penda­pa­tan dan Belanja Negara (APBN) se­besar Rp 2.000 triliun.

Memiliki background seba­gai legislator, Achsanul me­nga­ku tidak akan kerepotan di ja­ba­tan barunya. Soalnya, di Ko­misi XI dia terlibat dalam pem­ba­hasan anggaran negara.

Senada, politisi Partai Golkar, Harry Azhar Azis juga mengaku sudah siap bekerja mengaudit ke­uangan negara. Harry juga ber­asal dari Komisi XI yang mem­bi­dangi keuangan. Ia bahkan sa­lah satu wakil ketua di komisi itu.

Tentu dia paham betul alokasi keuangan negara karena mem­ba­hasnya semasa di parlemen. “Ini bagian kehidupan berne­ga­ra. Dimana pun harus siap,” ujar Harry menanggapi pene­ta­pan di­ri­nya sebagai anggota BPK.

Menurut Harry, DPR, bukan satu-satunya tempat untuk me­nyumbangkan tenaga dan pi­kiran untuk Indonesia. Harry se­benarnya mencalonkan diri men­jadi anggota DPR. Namun tak terpilih.

Sama seperti Achsanul, Harry pun plong meninggalkan dunia politik dan parpol. “Yah, lebih lega. Ada beban yang hilang,” pun­g­kasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA