Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Organisasi Penyandang Cacat Adukan M Nuh Ke Ombudsman

Dianggap Lakukan Diskriminatif Pada SNMPTN

Rabu, 16 April 2014, 09:20 WIB
Organisasi Penyandang Cacat Adukan M Nuh Ke Ombudsman
ilustrasi
rmol news logo Perjuangan kaum penyandang cacat yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Disabilitas Indonesia menuntut keadilan tidak pernah suruh. Kemarin, didampingi aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH), koalisi mengadukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh ke Ombudsman.

Mendikbud M Nuh dituding telah bertindak diskriminatif da­lam membuat aturan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Ting­gi Negeri (SNMPTN). Aduan ter­­sebut dilayangkan ke lembaga ne­­gara yang mempunyai kewe­nang­­an mengawasi penye­leng­ga­raan pelayanan publik yakni Om­budsman di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, ke­marin.

“Syarat-syarat diskriminatif tersebut berupa tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wi­cara, tidak tuna daksa, tidak buta war­na keseluruhan boleh buta war­na sebagian dan tidak buta war­na keseluruhan maupun se­bagian,” kata Pengacara Publik LBH Jakarta, Tigor Hutapea di Kantor Ombudsman, Jakarta, ke­marin.

Sebelumnya, pada 11 Maret 2014 organisasi penyandang di­sa­bilitas dan LBH Jakarta telah melayangkan somasi kepada Ke­mendikbud terkait kebijakan sya­rat-syarat SNMPTN 2014. Na­mun hingga kemarin, pihak Ke­men­dikbud belum merespon so­masi yang diberikan secara resmi.

“Tidak adanya balasan me­nunjukkan, kalau Ke­mendikbud sudah menyalahi pasal 4, pasal 20 dan pasal 34 Undang-Undang No­mor 25 tahun 2009 tentang pela­yan­an publik. Dalam undang-un­dang itu disebutkan, kalau pe­nyelenggara publik harus menye­leng­garakan pelayanan dengan adil, tidak diskriminatif dan pro­fe­ssional,” sesalnya.

Menurut Tigor, syarat-syarat SNMPTN tersebut telah me­langgar berbagai aturan. Pertama melanggar pasal 11, pasal 12, pa­sal 13, pasal 60 ayat 1, dan pasal 71 undang-undang nomoe 39 tahun 2009 tentang HAM. Kedua me­langgar pasal 5 ayat 1 Undang-Un­dang Nomor 20 tahun 2003 ten­tang sistem pendidikan nasional. Ke­mudian melanggar pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kon­vensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

“Yang paling penting syarat-syarat tersebut melanggar pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konve­nan Internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas, dan melanggar pasal 11 dan 12 Undang-Un­dang Nomor 4 tahun 1997 ten­tang penyandang cacat,” jelas dia.

Lebih lanjut Tigor mengaku sudah menyiapkan langkah hukum, apa­­bila aduan kepada Om­buds­man ini gagal. LBH dan Koalisi Organisasi Disabilitas berencana me­ngajukan gugatan ke Penga­dilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Ber­kas-berkas sudah siap, tinggal ek­sekusi saja. Kami kan punya wak­tu 90 hari sejak menemukan ma­sa­lah ini. Jadi masih ada dua bulan lagi,” tuturnya.

“Kami ingin memaksimalkan upaya yang ada. Jadi sekarang kami upayakan dulu ke Om­buds­man. Kalau di sini gagal, baru ambil langkah hukum,” tam­bah­nya.

Koordinator Persatuan Pe­nyan­dang Disabilitas Indonesia (PPDI) Ariani mengaku kecewa atas terbitnya persyaratan terse­but. Dia menilai, Kemendikbud su­dah bersikap sangat tidak adil ter­hadap para penyandang disa­bi­litas.

“Masa kaum disabilitas mau be­­lajar saja dilarang. Mereka ru­panya nggak tahu, banyak kaum disabilitas yang sukses. Betho­ven, Thomas Alfa Edison, Stephen Haw­king itu kaum disabilitas,” cibirnya.

Menurut Ariani, sudah banyak penyandang disabilitas yang sukses lewat jalur akademisi. Ada yang menjadi dosen, doktor, guru, dan lain-lain. “Ini bu Mau­lani Rotinsulu yang kaum disa­bilitas itu dokter loh. Doktor gigi. Jadi, jangan meremehkan ya,” ujar dia kesal.

Dia pun berharap agar Kemen­­dikbud meminta maaf secara ter­buka kepada kaum disabilitas, ka­rena sudah membuat aturan se­perti itu. “Secara pribadi saya me­­rasa tersinggung. Karena kaum disabilitas bahkan tidak di­beri ke­sempatan untuk bersaing,” sesal­nya.

Senada dengan Ariani, Koor­di­nator Himpunan Wanita Disa­bi­litas Indonesia (HWDI), Maulani Rotinsulu pun mempertanyakan sikap Kemendikbud yang seolah tidak mengerti kaum disabilitas. Diri­nya merasa seperti di justifikasi tidak mampu, dengan  atur­an tersebut. “Apa mereka tidak tahu beratnya hidup kaum di­sabilitas? Saya saja sempat dila­rang untuk jadi Dokter karena sulit berbicara. Eh malah sampai bikin aturan semacam itu,” kritiknya.

Menurut Maulani, tanpa ada­nya aturan yang melarang, kaum disabilitas pun sudah sadar akan posisinya. Selama ini, kata Mau­lani, para penyandang disabilitas me­mang berupaya keras mele­pas­kan label tersebut, guna me­nyetarakan diri dengan orang normal. Tapi mereka tidak akan mengambil bidang yang memang tidak bisa ditangani.

“Tidak pernah ada diantara kami yang mencoba jadi pilot atau tentara. Sebab kami tahu po­sisi tersebut membutuhkan apa yang tidak kami miliki. Terlalu ber­bahaya bagi kami dan orang lain jika kami mengambil posisi itu. Jadi soal itu tidak perlu di­atur,” tandasnya.

Dia pun berharap, agar aturan ini bisa segera dihapuskan. Su­paya para penyandang disabilitas bisa ikut bersaing secara adil. “Ja­ngan seperti ini, kesempatan saja sudah ditiadakan. Kami tidak me­minta diistimewakan kok. Yang kami minta hanya hak,” ketusnya.

Menanggapi aduan tersebut, anggota Ombudsman Bidang Pe­nyelesaian Laporan, Budi San­to­so berjanji akan memberikan ban­tuan semaksimal mungkin. Pi­hak­nya akan segera memanggil pi­hak-pihak terkait untuk menye­lesaikan masalah ini.

Korban Tragedi 1965 Minta Dukungan Wantimpres
Ngarep Namanya Direhabilitasi Oleh Pemerintahan SBY

Berbagai bentuk diskriminasi masih dialami para korban Tra­ge­di 1965. Meski Mahkamah Agung (MA) pada 2003 telah me­nyam­paikan pertimbangan ke­pada presiden untuk memberikan rehabilitasi pada korban, hingga saat ini mereka masih belum bisa mendapatkan hak-haknya.

Perwakilan korban 1965, Nani Nurani, beserta tim advokasi re­ha­bilitasi korban 1965 men­da­ta­ngi kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jalan Ve­teran III, Jakarta, kemarin. Me­reka menyampaikan surat per­mo­honan rehabilitasi nama baik untuk para korban 1965 kepada Wantimpres untuk diteruskan kepada Presiden SBY.

Nani Nurani, korban Tragedi 1965 menceritakan, dirinya telah mengalami penahanan di penjara tanpa proses hukum selama 1968-1975, sementara Kartu Tan­da Penduduk-nya (KTP) diberi tanda eks tahanan politik. Tak ha­nya itu, dirinya juga harus men­ja­lankan wajib lapor setiap bulan­nya sampai pada tahun 2000.

“Sejak Mahkamah Agung me­menangkan saya, bahwa pen­can­tum­an nama saya dalam daftar orang yang terlibat organisasi ter­larang merupakan perbuatan me­lawan hukum, saya selalu ber­kirim surat kepada presiden untuk mendapatkan rehabilitasi,” ung­kapnya.

Nani mengatakan, dalam ke­sem­patan ini dia hanya sendirian mengajukan permohonan reha­bi­l­itasi sebagai korban 1965 karena para korban lainnya tidak me­miliki dokumentasi surat-surat yang lengkap, seperti surat pem­bebasan, surat tahanan rumah, dan surat wajib lapor. “Banyak kor­ban 1965 surat pembe­bas­an­nya saja tidak punya, sementara saya masih lengkap dan disimpan rapi, saya berharap jika per­mo­hon­an saya dikabulkan maka ini akan menjadi pintu masuk bagi para korban lainnya,” ujarnya.

Para korban, menurutnya, me­minta agar pemerintah mengem­balikan hak-hak mereka sesuai dengan martabat manusia dan sebagaimana manusia lain yang ada di Indonesia. “Bagi kami yang penting kami dinyatakan tidak bersalah,” tekannya.

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengatakan, hing­ga saat ini para korban 1965 masih mengalami pelanggaran HAM dan terpaksa menanggung stigma buruk atas peristiwa 1965. “Contohnya Bu Nani ini yang pernah dicekal tanpa dasar saat hendak bepergian ke luar negeri dan tidak mendapatkan KTP seumur hidup saat usianya sudah 60 tahun,” ungkapnya.

Menurut dia, tim advokasi su­dah menempuh berbagai proses hukum termasuk melakukan gu­gatan secara perdata dan mela­yang­kan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Ke­­da­tangan kami hari ini ke Wan­tim­pres karena kami sebelumnya su­dah mengirimkan surat ke pre­siden untuk meminta rehabilitasi bagi korban 1965 tapi surat itu be­lum direspon oleh presiden,” katanya.

Pihaknya meminta dukungan dari Wantimpres untung mendo­rong agar presiden segera mem­be­rikan rehabilitasi bagi para kor­ban 1965. Dia berharap Presiden SBY di akhir masa jabatannya se­gera memberikan rehabilitasi bagi para korban 1965. “Beliau se­bagai kepala negara mem­pu­nyai kewenangan untuk itu, apa­lagi yudikatif juga telah men­do­rong pemerintah memberikan rehabilitasi bagi korban 1965,” tandasnya.

Pengacara publik dari LBH Ja­karta, Pratiwi Febry, menga­takan tim advokasi sudah pernah me­lakukan class action untuk pe­mu­lihan korban 1965. “Tahun 2012 kita menang dalam judicial review Keppres nomor 28 tahun 1975 tentang Perlakuan Mereka yang Terlibat G30S/PKI Go­longan C yang menegaskan stig­ma terhadap korban 1965, Kep­pres tersebut menyebabkan ba­nyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tiba-tiba di-PHK kare­na dituduh terlibat peristiwa 1965,” katanya.

Tak hanya itu, Pratiwi menye­but­k­an DPR dan MPR juga turut men­dukung diberikannya reha­bilitasi tersebut. “Jadi dalam hal ini, harusnya Wantimpres mampu memberi pertimbangan yang bijaksana kepada presiden,” pung­kasnya.

Ketua Anindo Warning Presiden Baru Rawan Tersandera Partai Koalisi
Melihat rapuhnya peme­rin­tahan Susilo Bambang Yudho­yon­o-Boediono dalam menja­lankan roda peme­rintahan patut dicermati serius. Untuk itu, pe­me­rintahan ke depan harus di­du­kung parlemen yang solid, se­hingga program-program pro rakyat terealisasi.

Hal itu disampaikan Ketua Umum DPP Aliansi Nasionalis In­donesia (ANINDO), Edwin H Soekawati saat dihubungi Rak­yat Merdeka di Jakarta, ke­marin.

Menurutnya, peme­rin­tah­an mendatang baik di ekse­kutif maupun parlemen harus mengacu pada Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

“Koalisi yang dibangun pe­me­rintahan ke depan harus se­irama baik dari segi flatporm mau­pun ideologi. Sebab kita sudah me­lihat bagaimana koa­lisi parpol yang pramatis pada zaman SBY-Boediono,” kata Edwin.

Menurutnya, peristiwa terse­but sangat menyedihkan, di ma­na ketika pemerintah meng­am­bil kebijakan yang mengun­tung­kan, anggota koalisi rame-rame mendukung. “Namun, ke­tika pemerintah mengambil ke­bijakan tidak populis, ada ang­gota koalisi cari aman atau ber­sebrangan,” terangnya.

Jika pemerintahan ke depan tidak kuat, kata Edwin, pre­si­den akan tersandera dan jatuh di te­ngah jalan. “Akibatnya, rak­yat bengkalai,” ujarnya. Meski demikian, Edwin berharap pe­me­rintah ke depan akan banyak me­ng­alami kemajuan dengan di­to­pang dengan koalisi yang kuat.

Menurut Edwin, kelemahan pemerintahan SBY-Boediono pa­da hakekatnya koalisi prag­ma­tis, bukan ideologi. Sehing­ga tidak ada loyalitas dari par­pol koalisi. “Akibatnya pada saat menguntungkan dukung ra­mai-ramai, tetapi kalau meru­gikan lari, menggunting lipat­an,” katanya.

Hal serupa juga dikatakan Ketua Asosiasi Pertekstilan In­d­o­nesia (API) Ade Sudrajat. Me­nurutnya, pasar dan peng­usaha masih menanti hasil koa­lisi yang akan dilakukan antar­parpol untuk mengusung capres dan cawapresnya.

“Koalisi yang dibangun pe­merintahan nanti harus kuat dan tegas. Jangan seperti koalisi gabungan pemerintahan saat ini yang tidak tegas, hanya ‘lipstik’ se­hingga tidak mampu men­cip­takan pemerintahan yang solid,” tegasnya.

Dia berharap koalisi yang akan dibangun menciptakan pe­merintahan dengan program yang pro terhadap rakyat dan du­nia ekonomi di Indonesia.

Pemerintah Diminta Usut Kebocoran UN
Kunci Jawaban Dihargai Rp 50 Juta

PraktIk jual beli kunci jawaban Ujian Nasional (UN) ma­sih mewarnai bentuk ke­cu­rangan penyelenggaraan UN tahun ini. Padahal praktek se­ru­pa sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Aktivis Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Slamet Maryanto menyatakan, praktik tersebut kembali terjadi, karena tidak ada ketegasan dari pe­merintah untuk membawa ma­salah tersebut ke ranah hu­kum. “Setiap tahun pada pe­nyeleng­ga­raan UN selalu terdapat ke­cu­rangan, akibatnya tujuan dari pendidikan itu sendiri tidak tercapai,” ungkapnya di Kantor LBH Jakarta, Jalan Dipo­ne­goro, Jakarta, kemarin.

Menurutnya, selama pelak­sa­naan UN tingkat SMA dan SMK pada tahun ini, posko pe­ngaduan FSGI telah menerima banyak pengaduan dari ma­syarakat mengenai laporan dan potensi kecurangan yang ter­jadi.

“Dari laporan yang masuk, ditemukan bahwa praktik sin­dikat jual beli kunci jawaban dan kasus kekurangan soal da­lam penyelenggaraan UN tahun ini,” ujarnya.

Hal sama ditegaskan Sekjen FSGI Retno Listyarti yang meng­atakan untuk ketiga kal­inya selama tiga tahun ber­turut-turut FSGI membuka posko peng­aduan UN.

“Dalam la­por­an pengaduan yang kami te­ri­ma sejak 11 April lalu, praktik jual beli kunci jawaban itu dilakukan melalui perantara alumni yang tahun lalu juga membeli kunci ja­waban dan Bim­bingan Belajar (Bimbel) yang diikuti siswa sekolah ber­sangkutan,” ung­kapnya.

Harga kunci jawaban, lanjut­nya, juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu. “Mi­sal­nya di DKI Jakarta tahun lalu 6 paket kunci jawaban di­jual seharga Rp 6 juta tapi se­ka­rang naik jadi Rp 14 juta,” sebutnya.

Dia melihat, pasca ketentuan bahwa nilai UN juga dijadikan bahan pertimbangan untuk ma­suk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sindikat jual beli kunci jawaban malah semakin marak.

Retno mengatakan saat ini sindikat pelaku jual beli kunci jawaban bahkan sampai mem­ber­ikan jaminan uang kembali bila kunci jawabannya tidak benar. “Untuk pembayarannya, para siswa mengumpulkan uang kepada koordinator mulai dari tingkat kelas, jurusan IPA atau IPS, sekolah, hingga ting­kat wilayah,” jelasnya.

Bahkan di sebuah daerah, lan­jutnya, harga satu paket kun­ci jawab bisa mencapai Rp 50 juta. “Ada perbedaan harga, an­ta­ra kunci jawaban yang se­ke­dar untuk lulus hingga kunci ja­waban yang menjamin bisa ma­suk PTN,” tambahnya.

Dia menekankan bahwa prak­tik jual beli kunci jawaban itu benar-benar terjadi. “Ba­nyak bukti yang bisa digunakan untuk mengungkap kasus ini tapi jangan korbankan anak didik,” pintanya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA