Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ditinggal Long March, Rumah & Kebun Disikat

Petani Jambi Jalan Kaki 1.300 KM Ke Jakarta

Kamis, 31 Januari 2013, 09:07 WIB
Ditinggal Long March, Rumah & Kebun Disikat
ilustrasi, petani jambi
rmol news logo 12-12-2012. Sebagian kalangan cemas menanti apa yang akan terjadi pada tanggal itu. Ada ramalan kiamat bakal terjadi pada tanggal itu. Tapi bagi Andi Saputra dan kawan-kawan, tanggal itu dianggap tepat untuk memulai aksi mereka: jalan kaki 1.300 kilometer (km) ke Jakarta.

Tepat pukul 12 siang tanggal 12 Desember 2012, Andi Cs bergerak meninggal Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Jambi. Long march itu diikut 80 warga Desa Kunangan Jaya II, Suku Anak Dalam dan Mekar Jaya. Desa Kunangan Jaya II dan Suku Anak Dalam terletak di Kabupaten Batanghari. Sedangkan Desa Mekar Jaya masuk wilayah Kabupaten Sarolangun.

Warga ketiga desa itu ke ibu kota untuk memperjuangkan ribuan hektar lahan yang dicaplok perusahaan sejak 1986. Mereka menuntut janji pemerintah untuk menyelesaikan sengketa ini.

Long march itu dikawal mobil bak terbuka. Selain jadi pusat komando, mobil itu juga untuk mengangkut logistik. Mulai dari bahan makanan untuk seminggu, obat-obatan, pakaian hingga peralatan memasak.

“Jadi yang jalan kaki itu tinggal bawa badan, spanduk dan bendera,” tutur Andi.

Setiap empat jam, rombongan berhenti selama 15 menit untuk istirahat. Malam pertama mereka mereka menginap di Desa Simpang Tempinu, Kabupaten Muaro Jambi. Kepala desa setempat mempersilakan rumahnya dipakai untuk bermalam.

“Rumah itu tidak bisa menampung semua orang. Jadi sebagian tidur di emperan rumah,” ujarnya.

Hari-hari berikutnya rombongan menginap di mana saja yang bisa dipakai untuk beristirahat. “Di emperan pasar hingga mushola,” kata Andi.

Memasuki hari ketiga, Purwanto (40) warga Desa Mekar Jaya tertabrak motor saat menyeberang jalan raya menuju Palembang. “Lagi nyeberang mau numpang buang air di rumah warga,” ungkapnya.

Purwanto pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Dua orang rekannya menemani di rumah sakit. Rombongan berkurang tinggal 77 orang. “Rombongan melanjutkan perjalanan,” katanya.

Hari ketiga, rombongan sampai di kota Sungai Lilin, Sumatera Selatan. Di sini, mereka disambut aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Beberapa peserta long march mulai bertumbangan. “Kami berkurang tujuh orang. Rata-rata usianya 50 tahunan. Mereka kelelahan,” tutur Andi.

Rombongan tinggal 70 orang. Hari berikutnya 40 orang memutuskan tak melanjutkan perjalanan. Rumah dua peserta long march dibobol maling. “Televisinya hilang,” ujarnya.

Saat bersamaan, mereka mendapat kabar terjadi penggusuran 20 hektar kebun karet di kampung halamannya. “Mereka pulang untuk mengamankan kampung halaman,” kata Andi.

Kepulangan lebih dari separuh rombongan membuat mereka yang tersisa terpukul. Mereka juga mengalami kelelahan fisik karena terus berjalan di tengah cuaca terik dan guyuran hujan. Untuk mengembalikan stamina, Andi dan kawan-kawan memutuskan beristirahat selama tiga hari. Mereka menginap di rumah aktivitas setempat, Muladi.

Tanggal 23 Desember rombongan kembali bergerak. Kecelakaan kembali menimpa peserta rombongan. Dua hari setelah melanjutkan perjalanan, Narto, warga Desa Kunangan Jaya II tertabrak mobil. Kejadian malam hari di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Saat itu, Narto yang mengalami tinggi ingin beristirahat di mobil bak terbuka yang mengangkut logistik. “Pas mau naik, kaki kirinya terlindas fuso,” kata Andi. “Ternyata fuso itu remnya blong.”

Akibatnya, Narto pun dilarikan ke Rumah Sakit Kayu Agung, Ogan Komering Ilir. Namun karena lukanya parah, pihak rumah sakit tak sanggup menangani. Alasannya peralatan operasi tak lengkap. Narto akhirnya dibawa ke Palembang. “Untung tidak sampai diamputasi. Tapi telapak kaki kirinya mendapat 42 jahitan,” ujarnya.

Dua orang tak melanjutkan perjalanan karena menemani Narto di rumah sakit. “Tersisa 34 orang,” katanya. Rombongan kembali bergerak.

Suasana haru dirasakan para pejalan kaki begitu di perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung. Mereka disambut ratusan aktivis seperti dari Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi).

Rombongan lalu diajak menemui warga di Register 45, Mesuji, Lampung, yang memiliki persoalan serupa. “Kita di Mesuji sampai melewatkan tahun baru bersama,” kata Andi.

Setelah beristirahat, rombongan meninggalkan Mesuji. “Kami berangkat lagi dengan iringan manusia sepanjang 20 kilometer dari Tugu Roda sampai Desa Tunggal Jaya. Melihat mereka berbaris melambaikan tangan membuat bulu kuduk merinding,” kenangnya.

Keluar dari Mesuji, Andi mengungkapkan, rombongan mulai mendapat teror. Mobil bak pengangkut dilempari bom molotov. (Baca: Yang Tersisa Hanya Baju Di Badan).

Rombongan pun memutuskan tak menghentikan perjalanan. Selama seminggu mereka mengatur strategi sekaligus melaporkan kasus pembakaran itu.

“Ini tidak menyurutkan semangat kami. Soal molotov itu sudah diperiksa polisi, tapi hingga kini belum ada tindak lanjutnya,” katanya. Setiba di Kabupaten Tulang Bawang, bergabung rombongan dari Mesuji yang terdiri 33 orang. Rombongan pun bertambah jadi 67 orang.

Di perjalanan ada peserta dari Jambi yang kehilangan handphone. Pelakunya diduga orang di rombongan Lampung. Andi menceritakan, orang itu mengaku dari Mesuji. Juga sempat meminjam motor warga yang dilalui rombongan.

“Ini bisa membuat perpecahan. Begitu kita mau laporkan ke polisi, orang itu hilang. Ternyata, orang Mesuji juga tidak mengenalnya,” ujar dia. Andi menduga orang itu adalah penyusup untuk membuat perpecahan antara kelompok Jambi dan Lampung.

Minggu 13 Desember, rombongan tiba di Lampung Selatan. Mereka beristirahat di Masjid Raya Islamic Center. Dini hari, rombongan didatangi sekelompok orang.

“Ada orang lompat pagar masjid, dan mendekati kami. Tapi, begitu kami berdiri siap untuk mengejar, mereka menjauh,” ceritanya.

Lima hari kemudian, rombongan sampai di Pelabuhan Bakauheni. Saat itu hari sudah senja. Beberapa peserta rombongan menerima pesan pendek (SMS) dan telepon berisi ancaman.

“Teror SMS dan telepon hampir setiap jam diterima. Tapi kami tak hiraukan,” kata Andi.

Rombongan pun menyeberang dengan ferry. Pukul 7 pagi, 19 Desember rombongan tiba di Pelabuhan Merak. “Di kapal tidak ada masalah,” ujarnya.

Di Merak, mereka disambut aktivis dan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dari Merak rombongan menuju Jakarta. Di sepanjang perjalanan mereka tak lagi menerima teror.

Tiba pukul 3 sore pada Selasa (22/1), rombongan bergabung dengan kelompok yang menggelar tenda di depan kantor Kementerian Kehutanan, Senayan, Jakarta Selatan.

Kelompok ini juga berasal dari tiga desa di Batanghari dan Sarolangun, Jambi. Mereka sudah berada di sini selama beberapa bulan. Mereka akan terus di sini sampai pemerintah memenuhi janjinya.

“Yang Tersisa Hanya Baju Melekat Di Badan”
Mobil Logistik Terbakar
Rombongan melewatkan malam pergantian tahun bersama warga register 45, Mesuji Lampung. Mereka pun menggelar perayaan tahun baru kecil-kecilan.

Seperti dituturkan Ngatono, Kepala Dusun Kunangan Jaya II, Batanghari, Jambi.  “Tahun baru tetap dirayakan. Ada kembang api sama sate kambing, pemberian warga di register 45. Saya sampai menangis di sana, ingat keluarga dan kampung halaman. Apalagi dengar cerita warga Mesuji, kasusnya juga sama: lahan,” katanya.

Malam hari, suasana senasib mewarnai pertemuan rombongan dengan warga Mesuji. Mereka berbagi cerita dan pengalaman mengenai persoalan lahan. “Saya saling cerita dengan warga Mesuji itu sampai menangis,” ceritanya.

Usai merayakan pergantian tahun bersama, rombongan melanjutkan perjalanan. Setelah dari Mesuji, anggota rombongan mulai menerima ancaman lewat SMS (pesan pendek) dan telepon dari nomor tak dikenal.
Si penelepon memaksa agar tak menyeberang ke Jawa sambil disertai ancaman-ancaman.

Menurut Ngatono, puncak teror itu terjadi pada 5 Januari 2013. Saat itu rombongan sedang menginap di lapangan tenis indoor Menggala, Tulang Bawang.

Dini hari, mobil bak terbuka yang selama perjalanan dipakai untuk mengangkut logistik dan pakaian rombongan dilempari bom molotov. Pelaku diduga dua orang yang mengendarai sepeda motor. Pelaku langsung kabur tak sempat dikejar.

Semua barang yang ada di mobil itu hangus. “Seluruh baju habis terbakar, beras, dan satu laptop. Saat ini yang tersisa hanya baju yang melekat di badan,” kata Ngatono.

Sementara mobilnya rusak berat karena terbakar. Mobil itu merupakan pinjaman Waslim, warga Suku Anak Dalam. Kejadian ini lalu dilaporkan ke kepolisian. Tapi pelakunya tak tertangkap.

Tolak Tawaran Tiket Pesawat Gratis Dari DPR
Aksi jalan kaki yang dilakukan warga Kunangan Jaya II, Mekar Jaya dan Suku Anak Dalam menuai simpatik sejumlah kalangan. Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR Edi Prabowo menawarkan tiket pesawat ke Jakarta.

Saat itu, Edi tengah meresmikan pengurusan organisasi sayap Partai Gerindra di Palembang, Sumatera Selatan. “Kami sedang mimbar bebas di depan kantor DPRD Sumatera Selatan. Kemudian Pak Edi datang memberikan uang sebesar Rp 2 juta, dan menawari tiket pesawat ke Jakarta,” ungkap Andi.

Tawaran bantuan dari anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumsel I itu ditolak. Sebab sejak awal, rombongan sudah bertekad untuk jalan kaki sampai Jakarta. Jika belakangan naik pesawat dianggap menodai perjuangan.

“Uangnya kita terima, untuk menambah biaya logistik. Itu tidak masalah karena kita juga menerima sumbangan sukarela sepanjang jalan. Tapi, untuk tiket pesawat, kami tegas menolak,” katanya.

Menurut Andi, Edi sempat terkejut ketika peserta long march menolak tawaran tiket pesawat. Ia pun sempat geleng-geleng kepala ketika mengetahui bahwa warga tiga desa itu sudah menempuh perjalanan sejauh 300 kilometer dari Jambi sampai ke Palembang.

“Pak Edi sampai cerita, kalau dia pernah melakukan jalan kaki dengan peralatan lengkap sejauh 250 kilometer. Dia tidak sanggup melanjutkan. Lha ini petani sudah berjalan 300 kilometer. Saya salut sekali,” kata Andi menirukan pernyataan Edi.

Berhari-hari berjalan di tengah cuaca panas dan hujan, stamina peserta pun tergerus. Di Palembang, rombongan memutuskan beristirahat selama tiga hari di rumah Mulyadi.

Di situ, mereka dicek kesehatannya oleh Dinas Kesehatan Sumsel. Beberapa peserta memang mengalami sakit dari flu sampai demam.

Saat beristirahat, rombongan sempat berdiskusi dengan warga setempat. Mereka akhirnya tahu sengketa lahan antara petani dengan perusahaan swasta juga terjadi di Sumsel.

Nyanyi-nyanyi Lagu Perjuangan Sebelum Tidur
Hingga kemarin, puluhan warga tiga desa di Jambi masih bertahan di tenda-tenda di depan Kantor Kementerian Kehutanan, Senayan, Jakarta. “Kami akan menuntut janji relokasi lahan,” kata Mawardi dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi yang menemani warga tiga desa.

Dikatakan Mawardi, pemerintah daerah telah merekomendasikan 7.489 hektar lahan PT Agronusa Alam Sejahtera (ASS) dan PT. Wanakasita Nusantara (WN) untuk digarap petani Kunangan Jaya II sebagai Hutan Tanah Rakyat (HTR). Kemudian lahan  seluas 3.482 hektar PT WN untuk petani Mekar Jaya.

Sayang, Kementerian Kehutanan, menurut Mawardi, mempersulit prosesnya. Alasannya ada aturan yang melarang masyarakat menggunakan lahan itu sebagai hutan tanaman rakyat.

Pantauan Rakyat Merdeka, puluhan petani yang bertahan di depan Kantor Kemenhut hidup dengan perlengkapan ala kadarnya. Menggunakan terpal-terpal yang dijadikan tenda agar tak kena hujan.

Ada delapan tenda di situ. Empat tenda berjejer, membentuk tenda panjang. Terpal juga dipakai sebagai alas untuk tidur.

Untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK), mereka membuat toilet darurat yang ditutupi terpal di sekeliling. Tapi tanpa atap. Tanah di situ digali untuk tempat buang hajat.

Selama ini, mereka yang tinggal di tenda-tenda ini tak kekurangan makan. Di salah satu tenda terlihat ada empat karung beras, sayuran, lengkap dengan peralatan masaknya. Juga tersedia kopi atau teh.

Menunggu realisasi janji pemerintah, para petani tak hanya berleha-leha tinggal di tenda. Berbagai kegiatan digelar. Mulai dari orasi, diskusi sampai kesenian.

Aktivis Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) hampir ke sini setiap malam menjelang waktu tidur. “Macam-macam lagunya. Ada Darah Juang, Satukanlah. Pokoknya lagu perjuangan. Biar menghibur petani lah,” papar Dompak, aktivis Jaker. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA