Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

4 Ton Garam Ditabur Di Atas Ujung Kulon

Ngintip Operasi Mencegah Hujan

Rabu, 30 Januari 2013, 09:13 WIB
4 Ton Garam Ditabur Di Atas Ujung Kulon
ilustrasi, Kru Penabur Garam
rmol news logo Deru mesin Hercules memecah langit Jakarta ketika pesawat angkut militer milik TNI Angkatan Udara (AU) itu mulai mengangkasa dari Landasan Udara (Lanud) Halim Perdana Kusumah, Jakarta, kemarin siang.

Di kokpit, pilot dibantu co-pilot yang berseragam oranye terus menarik kemudi agar pesawat mencapai ketinggian aman. Pesawat bongsor bermesin baling-baling itu terasa berat ketika bermanuver ke barat Jakarta.

Rencananya, pesawat itu diarahkan ke Ujung Kulon, Banten.

Di bagian belakang pesawat, 15 pria yang mengenakan masker dan berompi biru bersiap-siap menjalankan tugasnya. Mereka menunggu instruksi dari pilot dan ahli modifikasi cuaca.

Pesawat itu tengah menjalankan misi memecah awan yang berpotensi menyebabkan hujan deras. Tujuan misi ini adalah mencegah banjir besar kembali melanda Jakarta. Hujan deras di daerah hulu sungai menjadi salah satu pemicu banjir besar di ibu- kota pada 17 Januari lalu.

Saat itu, debit air Kali Ciliwung yang terpantau di pintu air Manggarai sudah jauh di atas normal. Tak kuat menahan deras arus air, tanggul Kanal Banjir Barat di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, jebol. Air pun menggenangi kawasan Menteng dan Bunderan Hotel Indonesia. Istana Kepresidenan pun sempat kebanjiran.

Hercules itu adalah pesawat kedua yang diterbangkan kemarin untuk menjalankan misi memecah awan. Misi pertama dengan pesawat berbeda berangkat pagi hari.

Pesawat itu mengangkut 4 ton Natrium Clorida (NaCl) atau yang lebih dikenal sebagai garam. Garam inilah yang dipakai untuk memecah awan. Garam ditaburkan di atas awan tebal yang mengarah ke wilayah Jabodetabek. Awan tebal dikhawatirkan bisa memicu hujan deras.

Pesawat terasa oleng ketika menembus gugusan awan. Saat itu, posisi pesawat sudah mendekati ujung barat pulau Jawa di ketinggian 8.500 meter.

Tak lama anggota TNI AU bergerak menuju bagian belakang. Ia memberitahu kepada para kru yang mengenakan masker sudah bisa memulai menabur garam.

Karung-karung putih berisi garam ditempatkan di bagian tengah pesawat. Karung-karung itu ditutupi terpal warna biru. Dinding kabin pesawat dilapisi plastik. Ini untuk mencegah dinding kabin terkena garam. Garam bisa menyebabkan korosi atau karat jika terkena logam.

Di bagian belakang pesawat ada kotak yang dindingnya dari pelat logam. Alasnya dari tripleks. Di sisi kiri dan kanan kotak ada lubang mirip corong. Di belakang kotak itu masih ada sedikit ruang untuk duduk lima orang.

Belasan kru bermasker sibuk memindahkan karung-karung berisi garam ke bagian belakang pesawat. Sesekali pesawat limbung saat menembus awan tebal.

Jahitan penutup karung dibuka. Garam pun dituangkan ke dalam kotak di belakang pesawat yang berfungsi sebagai corong penabur. Peluh membasahi baju para kru yang bertugas menabur garam.

Di kokpit, pilot dan co-pilot mengarahkan pesawat ke gugusan awan yang menjadi target. Mereka terus berkomunikasi dengan kru di darat.

Tak banyak gugusan awan yang jadi target dalam misi ini. Sebab, sebagian sudah diurai oleh pesawat yang terbang pagi hari.

Setelah sejam mengangkasa, penaburan garam selesai. Pilot memutar kemudi pesawat ke arah Lanud Halim Perdana Kusuma. Misi ini hanya berlangsung dua jam. Mulai dari pemuatan garam ke pesawat, lepas landas, penaburan sampai pesawat mendarat.

“Ini lumayan cepat,” kata salah satu kru sambil membersihkan garam di lantai kabin pesawat.

Sehari Dua Kali Terbang Diupah Rp 75 Ribu
Kru Penabur Garam
Sudah empat hari, Timin bergabung dengan kru tim teknologi modifikasi cuaca. Tim ini menjalankan misi memecah gugusan awan berpotensi memicu hujan deras di Jabodetabek.

Pria berusia 40 tahun ini menjadi kru yang menaburkan garam ke gugusan awan. “Saya diajak kerja Mas. Ada teman yang ajak. Kebetulan saya memang lagi menganggur. Jadi saya ikut,” ujar warga Cilangkap, Jakarta Timur itu.

Sebelumnya, Timin bekerja sebagai buruh pabrik. Beberapa bulan lalu pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Ia pun kehilangan pekerjaan.

“Awalnya agak ngeri (kerja) di pesawat. Tapi namanya kerja sama saja kayak di darat,” ujarnya.

Pria bertubuh gelap itu menuturkan, ada dua tim yang bertugas menabur garam. Mereka mulai dipekerjakan sejak Sabtu lalu. Sebelum bekerja mereka diberi pengarahan dan pelatihan mengenai cara menabur garam di udara.

Timin dan kawan-kawan dijanjikan akan mendapat upah Rp 75 ribu sehari. “Katanya sih begitu. Gajiannya nanti kalau semua sudah selesai dikerjakan,” ujarnya.

Setiap hari, mereka sudah tiba di Lanud Halim Perdana Kusumah, Jakarta Timur pukul 8 pagi. Penaburan garam dilakukan dua kali dalam sehari.


“Pulangnya bisa jam empat sore. Dikasih makan sekali,” kata Timin.


Ia belum tahu sampai kapan akan dipekerjakan sebagai penabur garam.

Dipakai Untuk Cegah Hujan Saat SEA Games
Di darat, kesibukan terlihat di Hanggar Suma 3 Lanud Halim Perdana Kusumah. Tempat ini dijadikan Posko Tim Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).


Tim ini bertugas mengurai awan yang berpotensi menyebabkan hujan deras di ibukota dan sekitarnya. Anggotanya berasal dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan TNI AU.

Berbagai perangkat elektronik memenuhi ruang posko ini. Mulai dari laptop hingga radar pemantau awan. Laporan cuaca jam per jam dipajang di dua papan tulis besar.

Pesawat Hercules yang mengangkut 4 ton garam baru saja lepas landas. Garam itu akan ditebar di atas awan. Tim sibuk mengarahkan pesawat ke gugusan awan yang akan diurai. Setiap hari Hercules dua kali terbang untuk menabur garam.

“Tetapi itu tergantung perkembangan awan dan juga besar atau tidaknya awan yang akan diproses,” ujar Tri Handoko Seto, koordinator posko.

Menurut staf BPPT itu, pesawat bisa berputar di udara selama dua hingga tiga jam jika awan yang hendak diurai sangat tebal. Hercules yang terbang siang kemarin hanya mengudara selama sejam. Sebab, sebagian gugusan awan sudah terurai saat penaburan pagi.

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) ini, jelas dia, adalah upaya untuk intervensi proses yang terjadi dalam awan dan atau lingkungannya.

Di alam ada kondisi di mana awan dengan sangat cepat berproses menjadi hujan. Ada pula awan yang sulit atau perlu proses lama untuk menjadi hujan. Bahkan ada pula awan yang buyar tidak jadi hujan. Teknologi ini bisa dipakai untuk mengurangi curah hujan yang bisa menyebabkan banjir.

Caranya dengan mempercepat proses awan menjadi hujan sehingga hujan sudah turun sebelum awan memasuki wilayah Jabodetabek. Bahkan awan-awan yang tumbuh di Jakarta juga bisa dipercepat proses hujannya agar tidak sempat menjadi awan besar dan hujan deras. Metode ini dieksekusi menggunakan pesawat terbang dan bahan sema powder.

Cara berikutnya dengan, mengganggu proses pertumbuhan awan di hulu sungai agar tak menjadi hujan di daerah aliran sungai. Pertumbuhan awan besar (cumulonimbus)  juga bisa diganggu agar tak menyebabkan hujan deras.

Dengan menabur garam di udara, diharapkan bisa mengurangi curah hujan di Jabodetabek sebanyak 30 persen. Cara ini pernah dipakai ketika pelaksanaan SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan 2011. Hasilnya ternyata memuaskan. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA