Kini setelah label RSBI dihapus, status semua sekolah baik yang pernah menyandang label itu maupun belum sama. Adakah perubahan di sekolah-sekolah yang pernah menyandang label RSBI? Yuk kita intip.
Kelas yang tak terlalu luas itu dilengkapi pendingin udara. Satu LCD berukuran kecil dipasang di bagian depan. Di dalam ruangan itu puluhan siswa tengah asyik membaca buku di mejanya maÂsing-masing.
Seorang guru terlihat meÂngaÂmati satu per satu siswa sambil sesekali menjelaskan pelajaran yang belum dipahami para murid. “Itu program kelas international,†kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA 70 JaÂkarta, Safari.
SMA 70 merupakan salah satu sekolah yang memegang status Rintisan Sekolah Bertaraf InÂterÂnasional (RSBI) sejak tahun 2006. Dengan jumlah siswa seÂbaÂnyak 1.000 orang, sekolah elite di JaÂkarta itu mempunyai 36 kelas, muÂlai dari tingkat X, XI dan XII.
Safari mengatakan, program kelas international sudah dibuka sebelum ada RSBI. “Walaupun RSBI telah dihapus. Program ini (internasional) masih tetap diperÂtahankan,†katanya.
Ini, kata Safari, untuk memÂfaÂsilitasi beberapa siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya di luar negeri. “Dari pada mereka belajar bahasa di luar negeri seÂbelum melanjutkan kuliah (di luar negeri). Mendingan sejak di SMA mereka sudah difasilitasi.†katanya.
Ia menjelaskan, di SMA 70 JaÂkarta ada tiga kelas internasional mulai tingkat X, XI dan XII. MaÂsing-masing kelas dibatasi hanya sebanyak 24 siswa. KuriÂkulumÂnya mengacu sistem belajar di Cambridge Inggris.
Untuk masuk ke kelas ini, kata Safari harus mengikuti seÂrangÂkaian tes termasuk kecakapan baÂhasa, pengetahuan dan tenÂtunya memiliki kemampuan finansial orangtua murid. “Seluruh mata peÂlajaran menggunakan penganÂtar bahasa Inggris,†katanya. Biaya program pendidikan ini Rp 17 juta per tahun.
Safari tidak meÂmÂperÂmaÂsaÂlahÂkannya penghapusan label RSBI. Kata dia, sejak dulu sekolah ini selalu menjaga mutu pendiÂdiÂkanÂnya. “Ada atau tidak adanya proÂgram itu, kami selalu memikirkan kualitas pendidikan,†katanya.
Sebenarnya, ungkap dia, tidak terlalu banyak beda di sekolah ini sebelum dan sesudah ada proÂgram RSBI. “Kalau pelajaran baÂhasa Inggris tentu semuanya paÂkai pengantar bahasa Inggris. Tapi kalau pelajaran Fisika tentu peÂngantarnya menggunakan baÂhasa Indonesia agar lebih mudah diÂmeÂngerti siswa. Jadi fleksibel terÂgantung kebutuhan saja,†katanya.
Walaupun begitu, ada juga keunggulannya dari RSBI. Yakni sarana dan prasarana sekolah jadi lebih lengkap. Proses belajar meÂngajar di kelas menggunakan LCD. Fasilitas laboratorium juga jadi lengkap.
Selain itu, seluruh guru sekolah minimal harus lulusan strata satu. “Di sekolah ini semua guru sudah lulus sarjana. Bahkan 30 persen diantaranya lulusan strata dua dan tiga,†kata Safari.
Saat ditanya berapa biaya penÂdidikan yang dikenakan kepada siswa setiap bulannya, Safari meÂngatakan, pungutan itu hanya bersifat donasi. Besarnya terÂganÂtung kemampuan siswa. “Kalau siswa hanya sanggup bayar Rp 50 ribu ya nggak apa-apa. Lebih juga diÂpersilakan,†katanya.
Kebanggaan Yang Berujung Gugatan
Milang Tauhida awalnya bangÂga anak keduanya bisa maÂsuk SMP negeri di bilangan CiÂkini, Jakarta Pusat. Selain favorit, sekolah yang lulusannya banyak menjadi petinggi negeri ini juga berstatus Rintisan Sekolah BerÂtaraf Internasional (RSBI).
“Masuk sekolah itu nilai rapor minimal harus 7. Kurang dari itu jangan harap bisa masuk,†tutur Milang. Namun kebanggaan itu tak berlangsung lama. Ketika awal masuk, dirinya diminta membayar uang pangkal sebesar Rp 9 juta. Lantaran dianggap maÂhal untuk sekolah negeri, Milang bersama orangtua murid yang tergabung daÂlam komite sekolah berneÂgoÂsiaÂsi dengan pihak sekolah.
Akhirnya disepakati uang pangÂkal dipangkas jadi Rp 7 juta. “Kami sepakat membayar uang seÂÂbanyak itu demi menÂdapatkan kuaÂÂlitas penÂdidikan yang lebih baik,†kata MiÂlang menÂjeÂlaskan alaÂsannya meÂnerima keÂsepakatan itu.
Usai membayar uang pangkal, ibu dua anak bisa bernapas lega. SeÂbabnya, anaknya bisa berÂseÂkoÂlah di sekolah favorit itu. Namun baru sebulan, dia dikejutkan deÂngan iuran yang harus dibayar pendidikan anaknya. Jumlah Rp 600 ribu per bulan.
Lagi-lagi dinilai kemahalan, komite sekolah kembali beremÂbug dengan pihak sekolah. HaÂsilÂnya, iuran diturunkan jadi Rp 375 ribu per bulan. “Bagi saya iuran seÂbesar itu cukup membÂerÂatÂkanÂnya karena saya hanya ibu rumah tangga. Sementara suami karÂyaÂwan swasta yang penghasilannya tidak menentu,†kata Milang.
Untuk membiayai pendidikan anaknya, Milang pun mengambil uang tabungan. “Ini langkah terÂakhir demi masa depan,†ujarnya.
Di luar iuran per bulan, orang tua siswa juga dibebankan bebeÂrapa biaya. Misalnya untuk fotoÂkopi bahan-bahan pelajaran.
Lantaran biaya-biaya itu diangÂgap memberatkan, Milang memÂberanikan diri mengajukan protes ke pihak sekolah. Ia juga meÂminta pihak sekolah transparan mengenai pengelolaan keuangan.
Sayangnya, protes itu seolah diÂanggap angin lalu. Bahkan, MiÂlang merasa diintimidasi. “Rapor anak saya sempat ditahan pihak sekolah karena saya terus meÂlaÂkukan protes,†ucapnya.
Ditunggu-tunggu, tak juga menÂdaÂpat tanggapan dari pihak sekolah, Milang lalu bergabung deÂngan Andi Akbar Fitriyadi, NaÂdia Masykuria, Juwono, LoÂdewijk F Paat, Bambang WisuÂdo dan Febri Antoni Arif untuk mengÂguÂgat status RSBI ke MahÂÂkamah Konstitusi (MK). Status itu diÂangÂgap sebagai peÂnyebab mahalnya biaya penÂdiÂdikan di sekolah neÂgeri yang meÂÂnyandangnya.
Sasaran gugatan adalah Pasal 50 ayat 3 UU Sistem Pendidikan NaÂsional. Pasal itu menyebut peÂmerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekuÂrang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satu pendidikan yang bertaraf interÂnasional. Inilah payung hukum RSBI. Ada lebih dari 1.300 sekoÂlah yang diberikan status itu.
Senin lalu, MK membacakan putusan gugatan Milang Cs. PuÂtuÂsan Mahkamah yang dipimpin Mahfud MD itu menyatakan Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas berÂtentangan dengan konstitusi. Pasal itu dibatalkan.
Dengan dihapuskannya paÂyung hukum itu, maka tak boleh lagi ada sekolah berstatus RSBI. “Alhamdulilah setelah berjuang selama berbulan-bulan, perÂjuaÂngan kami berhasil dengan diÂhaÂpuskannya RSBI,†kata Milang penuh rasa syukur.
Dengan keluarnya putusan MK ini, dia berharap tidak ada lagi diskriminasi di dunia pendidikan. “Orang kaya dan miskin berhak mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas,†katanya.
Selama ini, iuran pendidikan yang di sekolah negeri yang berÂstatus RSBI lebih mahal dari seÂkolah non-RSBI. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, biaya pendidikan di sekolah RSBI membebani orang tua murid.
Ia lalu mencontohkan biaya penÂdidikan di SMA favorit di biÂlangan Koja, Jakarta Utara yang berstatus RSBI. Menurut dia, biaya pendidikan di sini paling muÂrah dibandingkan sekolah negeri lain. Biaya masuk Rp 7,5 juta. Sedangkan iuran per bulan Rp 600 ribu.
Retno membandingkan dengan biaya yang dikenakan di sekolah berstatus sama yang ada di JaÂkarta Timur dan Jakarta Selatan. Dua SMA negeri yang diseÂbutÂkannya menarik uang pangkal seÂbesar Rp 12,5 juta dan Rp 15 juta.
Sekolah favorit di Jakarta SelaÂtan itu menarik iuran Rp 1 juta per bulan. Sedangkan yang di JaÂkarÂta Timur Rp 500 ribu per bulan.
“Bila dihitung-hitung sebulan Rp 500 ribu dikali 12 bulan berÂarti Rp 6 juta. Tambah Rp 15 juta uang masuk jadinya Rp 21 juta. Itu untuk tahun pertama,†katanya.
Bila iuran di tahun kedua dan ketiga tidak naik, orang tua perlu mengeluarkan Rp 12 juta lagi. Biaya pendidikan selama tiga taÂhun Rp 33 juta.
“Saya Dapat Teror Dari Mana-manaâ€
Guru Penggugat RSBI
Bukan hanya orangtua yang keberatan dengan RSBI, kalaÂngan guru juga memÂperÂsoalÂkannya. Label itu diangÂgap menÂjadi penyebab mahalÂnya biaya pendidikan di seÂkolah negeri.
Adalah Retno Listyarti, guru di SMA Negeri 13 Jakarta Utara yang mempersoalkan RSBI. PeÂrempuan yang juga sekjen FÂeÂdeÂrasi Serikat Guru Indonesia ini bersedia menjadi saksi daÂlam gugatan uji materi UU SiÂsÂtem Pendidikan Nasional.
Sebagai guru pelajaran BaÂhaÂsa Inggris di sekolah negeri yang menyandang status RSBI, memberikan kesaksian yang menguatkan gugatan terhadap RSBI tentu bukan tanpa risiko.
“Saat menjadi saksi itu peÂnuh ketegangan karena banyak teror dari mana-mana. Tapi kami meÂlihat ini sangat tidak adil buat pendidikan dan anak bangsa,†katanya.
Namun kini, ia senang karena MK mengabukan perÂmoÂhoÂnanÂnya yang berimplikasi peÂngÂhaÂpusan kelas-kelas internasional yang dinilai diskriminatif.
Menurut Retno, pemerintah tidak pernah melakukan riset unÂtuk menemukan hasil positif dari RSBI. “Tidak pernah ada riset soal itu. SMA 13 Jakarta miÂsalnya. Saya alumni sini. Sekolah ini sudah unggulan dari dulu jauh sebelum diberi label RSBI di tahun 2005. Sekarang apa kontribusi RSBI untuk sekolah yang sudah unggul? Pemerintah tak pernah lakukan riset soal itu,†tanya Retno berapi-api.
Tanpa riset, pemerintah tidak bisa melihat relevansi antara sekolah yang RSBI dan yang tidak. “Paling hanya terlihat seÂcara fisik sekolah seperti ada LCD, ada CCTV, ada pelajaran IT (teknologi informasi/TI). Itu saja,†katanya.
Retno menilai anggaran khuÂsus program RSBI yang menÂcaÂpai Rp 11 triliun juga memunÂculkan semacam kasta di dunia pendidikan.
“Sekolah non RSBI juga tak dapat bantuan rutin dari APBD. Sementara RSBI dapat anggaÂran Rp 11 triliun. Ini kan meÂnunjukkan ketidakadilan, disÂkriminasi, ini pengkastaan beÂtul. Sekolah RSBI ini punya kelas berstandar internasional yang harganya mahal dan seÂgala macamnya. Sementara seÂkolah gurem tak punya apa apa. Ini jelas pengkastaan,†katanya.
Retno menyarankan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia lebih baik dengan memÂberikan pelatihan kepada para guru. Ia mencontohkan Cina dan Singapura, yang meÂmiliki program pelatihan rutin kepada guru.
Kata dia, bila memakai stanÂdar Singapura, guru harus dilaÂtih seratus jam setiap tahun. Cina melatih gurunya 240 jam per lima tahun.
“Kami menemukan data, di 29 daerah 52 persen gurunya tak pernah terima pelatihan, bahÂkan hingga pensiun. Guru kota juga terima pelatihan itu hanya sekali dalam jangka wakÂtu lima tahun. Itu pun kurang leÂbih hanya 3x8 jam. jauh sekali apabila dibandingkan dengan Shanghai (Cina) dan SingaÂpura,†jelasnya.
Retno meminta ini bisa menÂjadi masukan bagi pemerintah. Kualitas pendidikan tidak ditentukan sepenuhnya oleh kurikulum atau bahkan RSBI. Tapi juga ditentukan kualitas gurunya.
“Kami sebagai guru tahu perÂsis. Dana RSBI belasan triÂlÂiuÂnan bisa digunakan untuk meÂlatih guru-guru. Yakinlah akan ada perubahan kualitas,†katanya.
Retno menjelaskan pembenaÂhan kualitas dan kuantitas guru di Indonesia merupakan peÂkerÂjaan penting untuk peÂmerintah Indonesia. Guru yang berÂkuaÂlitas akan menghasilkan penÂdiÂdikan yang berkualitas juga.
“Membenahi guru itu PR. Karena kalau gurunya jelek ya kuaÂlitas pendidikan dan pengÂaÂjarannya juga jelek. Hanya guru kreatif yang bisa bikin muridÂnya kreatif. Hanya guru pintar yang bisa buat muridnya pintar, hanya guru kritis yang bisa buat muridnya kritis,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.