Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pedagang Dibersihkan, Bangun Panggung Seni

Berkunjung Ke Kota Tua Jakarta

Minggu, 16 Desember 2012, 08:44 WIB
Pedagang Dibersihkan, Bangun Panggung Seni
Kota Tua Jakarta

rmol news logo Dua perempuan muda tertawa riang mengayuh sepeda onthel di lapangan berlapis batu alam. Topi bundar berenda, yang biasa dipakai noni-noni Belanda, menghiasi kepala mereka.

Lelah menggowes, kedua perempuan itu menghentikan laju sepeda. Kamera digital dike­luar­kan dari saku celana. Mereka pun mulai jeprat-jepret dengan latar belakang gedung kuno yang ma­sih kokoh berdiri. Suasana tempo dulu pun terekam di layar kamera modern.

Suasana tempo dulu bisa kita rasakan ketika berkunjung ke ka­wasan kota tua Jakarta. Bekas kan­tor gubernur jenderal VOC yang kini jadi Museum Fatahillah adalah jantung kawasan ini.

Gedung yang dibangun abad ke-17 ini menjadi tujuan utama warga yang ingin menikmati sua­sana kawasan kota tua. Hera, ma­hasiswi universitas swasta di Ta­ngerang Selatan sering berwisata ke­ sini untuk mengusir penat se­te­lah kuliah.

“Kalau ke sini su­a­sananya jadi tenang dan hilang semua kegun­da­han,” kata wanita berjilbab yang sebulan sekali mengunjungi kawasan kota tua.

Lantaran rutin ke Museum Fa­tahillah, dia bisa merasakan peru­bahan di sini. Dia tak menemukan lagi pedagang kali lima (PKL).

“Sekarang suasananya jadi le­bih bersih dan tidak semrawut lagi karena tidak ada PKL. Jadi enak bila dibuat jalan-jalan sam­bil mengayuh sepeda,” kata Hera.

Kawasan kota tua Jakarta mu­lai ditata. Tujuannya untuk me­mancing para wisatawan. Hala­man di depan gedung Museum Fatahillah yang dulu dipenuhi pe­dagang kaki lima, dibersihkan.

Bukan hanya jadi enak dipan­dang mata, area ini bisa dipakai un­tuk menggelar kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian kawasan kota tua. Atau sekadar tempat untuk merasakan naik se­peda kuno.

Hera mengapresiasikan lang­kah Pemerintah DKI yang mulai menata kawasan di sekitar Mu­seum Fatahillah.

“Dulu waktu ada PKL, hala­man banyak sampah dan penuh dengan pedagang, jadi tidak enak bila dibuat refreshing,” kata wa­ni­ta berumur 20 tahun ini.

Ia berharap penataan juga di­lakukan di gedung-gedung lain­nya yang berada di kawasan kota tua. Sehingga lebih indah dan ba­nyak dikunjungi wisatawan.

Wawan yang menyewakan sepeda onthel juga menyambut baik penataan halaman Museum Fatahillah dari para pedagang.

“Wak­tu ada PKL halaman mu­seum menjadi kotor dan banyak sam­pah bertebaran dimana-mana,” katanya. Selain itu, ba­nyak copet berkeliaran me­ngi­n­car harta pengunjung.

Pemantauan Rakyat Merdeka, gedung Museum Fatahillah ter­lihat terawat. Di depan gedung ber­diri panggung untuk perge­la­ran seni. Tenda-tenda putih ber­diri di beberapa sudut halaman.

Di halaman ini juga terlihat pu­luhan sepeda onthel yang di­par­kir. Sepeda-sepeda itu disewakan untuk pengunjung yang ingin merasakan mengayuh sepeda kuno itu.

Pedagang yang juga ber­dagang di halaman museum digeser ke se­panjang Jalan Kali Besar, Taman Sari dan kantor Pos Indonesia.

Mengitari kawasan kota tua ter­lihat beberapa gedung yang tidak terawat. Bahkan ada tinggal rang­ka dan dindingnya saja. Sewaktu-waktu gedung yang sudah berusia ratusan tahun itu bisa roboh.

Bangunan kuno yang masih te­rawat umumnya dimiliki sejum­lah BUMN. Misalnya, museum Bank Indonesia, Museum Bank Indonesia, Museum BNI, kantor Pos Indonesia, kantor Jasa Ra­harja DKI Jakarta dan Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Barat.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ba­suki Tjahaja Purnama beren­cana mengembalikan gengsi ka­wasan kota tua. Untuk itu, per­lu menggandeng semua pihak untuk menata kawasan itu.

“Pak Gubernur sudah kirim surat ke Menteri BUMN, Menteri Keuangan, dan Menteri Pari­wisata. Kita harus sama-sama dorong kota tua biar eksklusif lagi,” katanya.

Penataan ini, kata Basuki, un­tuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Kawasan kota tua juga bisa mendongkrak cit­ra Jakarta sebagai etalase bangsa.

“Jadi nanti kalau ada tamu dari luar negeri dipandunya ke sana, karena di luar negeri juga begitu. Lihat kalau ke luar negeri, pasti tour-tour selalu antarkan ke kota tua,” katanya.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Arie Budhiman mengatakan pengem­bangan kawasan kota tua sebagai tempat wisata akan dilakukan dua tahap. Tahap pertama fokus di kawasan Taman Fatahillah dan Sunda Kelapa.

 â€œDua lokasi itu dulu yang akan dilakukan penataan. Setidaknya ada 134 bangunan cagar budaya yang akan direvitalisasi,” katanya.

Arie menjelaskan, dari 134 ba­ngunan cagar budaya yang ada, hanya lima yang milik Peme­rin­tah DKI. Yakni Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Balai Konservasi, Museum Wayang, serta Museum Seni Rupa dan Keramik.

Untuk pengembangan wisata kota tua ini, Pemerintah DKI akan menggandeng para pemilik bangunan kota yang ada di ka­wasan ini. “Yang banyak pe­mi­lik­nya swasta dan BUMN. Kita harus meminta dukungan peme­rin­tah pusat, termasuk juga Ke­menterian Keuangan. Tahap be­rikutnya adalah membahas for­mat kerjasamanya,”katanya.

Untuk itu, ia akan membuat bis­nis plan yang bisa me­ngun­tungkan kedua belah pihak. Pe­me­rintah DKI juga bersedia jika pengelolaan bangunan cagar budaya dipindahtangankan.

Menurut Arie, untuk menarik wisatawan ke kota tua maka ka­wa­san ini harus dilengkapi fasi­litas hotel, restoran, serta galeri. Juga perlu dikembangkan pusat kreativitas untuk mendorong industri kreatif.

Ia berjanji akan memberikan tempat kepada UKM untuk me­ngembangkan usahanya. “Pasti, kita harus memberikan perhatian untuk UKM, dengan format ter­tata sesuai visi pengembangan Kota Tua sebagai kawasan de­ngan nilai kesejahteraan yang ting­gi,” katanya.

Jayakarta Dihancurkan, Diganti Kota Batavia

Sejarah kota tua Jakarta di­mulai dari sebuah kampung kecil bernama Jayakarta yang terletak di pinggir Kali Ciliwung. Lambat laut, banyak bermunculan kam­pung lainnya di sepanjang aliran sungai itu.

Kampung-kampung ini ada yang bertahan sampai sekarang yang disebut Kampung Tua. Di antaranya Kampung Bandan, Kampung Orang Cina (Pecinan), Kampung Luar Batang, Kam­pung Pekojan, Kampung Angke, Kampung Kebon Jeruk.

Tahun 1526, Kesultanan De­mak mengirim Fatahillah untuk menyerang pelabuhan Sunda Ke­lapa yang saat itu dikuasai ke­rajaan Hindu Pajajaran. Setelah me­nang, nama Sunda Kelapa di­ganti jadi Jayakarta.

VOC mendarat Indonesia. Pada 1619, di bawah komando Jan Pieterszoon Coen, kota seluas 15 hektar itu dihancurkan.  Satu tahun kemudian, VOC mem­ba­ngun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Su­ngai Cili­wung, saat ini Lapangan Fatahillah.

Penduduk Batavia disebut “Ba­tavianen” yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi. Orang Be­tawi sebenarnya terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang meng­huni Batavia.

Pada tahun 1635, kota Batavia d­iperluas ke sebelah barat sungai Ciliwung di atas bekas kota Jaya­kar­ta yang hancur. Kota ini di­rancang lengkap dengan sistem pertahannya berupa tembok dan parit sekeliling kota.

Tata ruang kota dibagi ke dalam blok-blok yang dipisahkan kanal. Pem­ba­ngunan kota Bata­via selesai pada 1650.

Batavia kemudian menjadi kan­tor pusat VOC di Hindia Ti­mur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi bu­ruk. Kota ini mulai meluas ke se­latan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (se­karang daerah di sekitar Lapa­ngan Merdeka).

Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Setelah pendudukan Je­p­ang pada tahun 1942, nama Bata­via diganti menjadi “Jakarta”.

Sebagai pusat pemerintahan kala itu, Batavia banyak berdiri gedung seperti Gedung Gereja Batavia (sekarang Museum Wa­yang), Gedung Pengadilan Ba­ta­via (sekarang Museum Keramik), Gedung Stadhuis Batavia (se­ka­rang Museum Sejarah Jakarta), Stasiun Beos (Sekarang Stasiun Ja­karta Kota), Jakarta China Town (sekarang Glodok dan Pi­nangsia Area) yang sampai se­ka­rang masih berdiri meskipun be­berapa diantaranya mulai rapuh digerus zaman.

Untuk menyelamatkan bangu­nan kuno bernilai historis dan seni arsitektur tinggi yang ter­se­bar di kawasan kota tua, Gu­bernur Ali Sadikin (1966-1977) mencanangkan program revi­talisasi kota tua.

Kawasan Kota Tua Jakarta mem­punyai luas 864 hektar men­cakup wilayah Jakarta Kota sekitarnya, dari seputar Glodok hingga Pelabuhan Sunda Kelapa.

Saat ini di kawasan kota tua Ja­karta masih melestarikan be­be­rapat bangunan gedung pe­ning­galan Belanda. Seperti, Taman Fatahillah, Museum Bahari, Mu­seum Bank Mandiri, Menara Syahbandar, Masjid Luar Batang, Kota Intan, Cafe Batavia, Toko Merah, Bank Standard Chartered, Gedung Chandranaya, Gedung Arsip, Museum Bank Indonesia dan Petak Sembilan.

Didaftarkan Ke PBB Sebagai Warisan Dunia

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif men­du­kung pengembangan kota tua Ja­karta. Bahkan, kementerian telah mendaftarkan kota tua Ja­karta sebagai salah satu warisan dunia.

Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nir­wan­dar telah bekerja sama de­ngan United Nations World Tou­rism Organization (UNWTO) untuk membangun kota tua Ja­karta jadi warisan dunia yang diakui UNESCO, Badan PBB Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya.

“Bekerja sama dengan UNWTO tentunya akan meng­op­timalkan target kita untuk menjadikan kota tua Jakarta menjadi warisan dunia yang diakui UNESCO,” katanya.

Menurutnya, kota tua Jakarta adalah salah satu pariwisata yang harus dikembangkan. Dan UNWTO akan memberikan du­ku­ngan dan konsultasi kepada Indonesia untuk membangun pariwisata di kawasan ini. Ba­ngunan-bangunan kuno yang ada di sini dapat dimanfaatkan, dioptimalkan, sehingga mem­berikan ekonomi kepada ma­syarakat sekitar.

Menurut Sapta, dalam mem­bangun kota tua Jakarta me­n­jadi warisan dunia tak dapat di­k­erjakan sendiri oleh pe­me­rintah. Tapi dibutuhkan bantuan dari pihak lain seperti st­a­ke­hol­der, masyarakat, komunitas, swasta dan lainnya.

Selain itu, kota tua Jakarta juga akan dijadikan kawasan wisata budaya. “Pemerintah pu­sat melibatkan diri karena ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah DKI Jakarta saja, tapi butuh keteribatan pusat dan komunitas, karena ini masalah kompleks,” kata Sapta.

Ia menjelaskan, pemerintah pu­sat akan mengoordinasi se­luruh pemangku kepentingan ter­kait untuk menyiapkan ren­cana strategis pengembangan kota tua Jakarta dengan mem­pertimbangkan masukan dari tenaga ahli UNWTO.

Pemerintah akan mem­per­baiki strategi pengembangan kota tua Jakarta seluas 846 hek­tar agar bisa lestari. Selain itu, agar bisa manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.

Menurutnya, pemerintah akan menyelesaikan penyusu­nan rencana aksi tahun ini. Ia mencontohkan banyak kota be­sar di dunia seperti Paris, Berlin, dan London yang justru me­lestarikan warisan sejarah dan budayanya.

Selain menjaga bangunan-bangunan bersejarah, ling­ku­ngan sekitarnya juga ditata de­ngan baik. Misalnya, wisata gon­dola di kanal-kanal Venesia, Italia, dan Amsterdam di Belanda.

Sapta mengatakan, Indonesia masih jauh dari seperti itu. Ba­ngunan kuno dan bersejarah ba­nyak dimusnahkan. Diganti mal-mal dan perkantoran. Kota Tua Di Yogya Peninggalan Kerajaan Mataram Islam

Sejumlah kota besar di In­donesia juga memiliki kawasan kota tua yang masih terpelihara hingga saat ini. Di Bandung, ka­wasan kota tua terletak di se­kitar di Jalan Braga

Jalan ini terletak persis di jan­tung kota. Berhimpitan dengan Jalan Asia Afrika yang dikenal dengan Gedung Merdeka-nya. Jalan sepanjang lebih dari 700 meter ini ada kaitannya dengan pembuatan jalan Anyer-Pa­narukan oleh Daendels tahun 1808-1811.

Di sisi kanan dam kiri Jalan Braga terdapat kompleks per­tokoan yang memiliki arsitektur dan tata kota yang tetap mem­pertahankan ciri arsitektur lama masa Hindia Belanda. Tata letak pertokoan tersebut me­ngi­kuti model yang ada di Eropa pada masa 1920 sampai 1940-an.

Pertokoan tersebut yang ma­sih mempertahankan ciri ar­si­tektur lama adalah Sarinah, Apo­tek Kimia Farma dan Ge­dung Merdeka (Gedung Asia Af­rika yang dulunya adalah ge­dung Societeit Concordia).

Model tata letak jalan dan gedung gedung pertokoan dan perkantoran yang berada di Jalan Braga juga terlihat pada model jalan-jalan lain di sekitar Jalan Braga seperti Jalan Sunia­raja (dulu dikenal sebagai Jalan Parapatan Pompa) dan Jalan Pos Besar (Postweg) yang diba­ngun Gubernur Jendral Herman Willem Daendels pada tahun 1811, di depan Gedung Merdeka.

Di Yogyakarta juga banyak terdapat kawasan kota tua. Yang cukup terkenal adalah Kota Gede. Kota ini merupakan se­buah tempat penghasil kera­jinan perak sehingga dijuluki kota perak. Beragam jenis per­hiasan dan barang-barang ter­buat dari perak menjadi daya tarik pengunjung.

Kota tua ini bukan dibangun Hindia Belanda. Tapi Kerajaan Mataram Islam. Di kawasan ini masih terlihat reruntuhan ba­ngu­nan di zaman Mataram Islam.

Semarang juga memiliki ka­wasan kota tua. Kota tua ini men­jadi pusat perdagangan pada abad ke-19 sampai abad ke-20 . Pada masa itu, untuk me­nga­mankan warga dan wila­yahnya, kawasan ini dibangun benteng, yang dinamai benteng Vijhoek.

Luas kawasan ini sekitar 31 hektare. Terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri, sehingga mendapat julukan “Little Netherland”.

Mayoritas banguanan di ka­wasan ini masih seperti sedia kala, belum banyak berubah. Ba­ngunan di kota tua ini me­ngikuti bangunan-bangunan di benua Eropa sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail bangunan yang khas dan orna­men-ornamen yang identik de­ngan gaya Eropa. Seperti uku­ran pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, bentuk atap yang unik, sampai adanya ruang ba­wah tanah. [Harian Rakyat Merdeka] 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA