Dua perempuan muda tertawa riang mengayuh sepeda onthel di lapangan berlapis batu alam. Topi bundar berenda, yang biasa dipakai noni-noni Belanda, menghiasi kepala mereka.
Lelah menggowes, kedua perempuan itu menghentikan laju sepeda. Kamera digital dikeÂluarÂkan dari saku celana. Mereka pun mulai jeprat-jepret dengan latar belakang gedung kuno yang maÂsih kokoh berdiri. Suasana tempo dulu pun terekam di layar kamera modern.
Suasana tempo dulu bisa kita rasakan ketika berkunjung ke kaÂwasan kota tua Jakarta. Bekas kanÂtor gubernur jenderal VOC yang kini jadi Museum Fatahillah adalah jantung kawasan ini.
Gedung yang dibangun abad ke-17 ini menjadi tujuan utama warga yang ingin menikmati suaÂsana kawasan kota tua. Hera, maÂhasiswi universitas swasta di TaÂngerang Selatan sering berwisata ke sini untuk mengusir penat seÂteÂlah kuliah.
“Kalau ke sini suÂaÂsananya jadi tenang dan hilang semua kegunÂdaÂhan,†kata wanita berjilbab yang sebulan sekali mengunjungi kawasan kota tua.
Lantaran rutin ke Museum FaÂtahillah, dia bisa merasakan peruÂbahan di sini. Dia tak menemukan lagi pedagang kali lima (PKL).
“Sekarang suasananya jadi leÂbih bersih dan tidak semrawut lagi karena tidak ada PKL. Jadi enak bila dibuat jalan-jalan samÂbil mengayuh sepeda,†kata Hera.
Kawasan kota tua Jakarta muÂlai ditata. Tujuannya untuk meÂmancing para wisatawan. HalaÂman di depan gedung Museum Fatahillah yang dulu dipenuhi peÂdagang kaki lima, dibersihkan.
Bukan hanya jadi enak dipanÂdang mata, area ini bisa dipakai unÂtuk menggelar kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian kawasan kota tua. Atau sekadar tempat untuk merasakan naik seÂpeda kuno.
Hera mengapresiasikan langÂkah Pemerintah DKI yang mulai menata kawasan di sekitar MuÂseum Fatahillah.
“Dulu waktu ada PKL, halaÂman banyak sampah dan penuh dengan pedagang, jadi tidak enak bila dibuat refreshing,†kata waÂniÂta berumur 20 tahun ini.
Ia berharap penataan juga diÂlakukan di gedung-gedung lainÂnya yang berada di kawasan kota tua. Sehingga lebih indah dan baÂnyak dikunjungi wisatawan.
Wawan yang menyewakan sepeda onthel juga menyambut baik penataan halaman Museum Fatahillah dari para pedagang.
“WakÂtu ada PKL halaman muÂseum menjadi kotor dan banyak samÂpah bertebaran dimana-mana,†katanya. Selain itu, baÂnyak copet berkeliaran meÂngiÂnÂcar harta pengunjung.
Pemantauan Rakyat Merdeka, gedung Museum Fatahillah terÂlihat terawat. Di depan gedung berÂdiri panggung untuk pergeÂlaÂran seni. Tenda-tenda putih berÂdiri di beberapa sudut halaman.
Di halaman ini juga terlihat puÂluhan sepeda onthel yang diÂparÂkir. Sepeda-sepeda itu disewakan untuk pengunjung yang ingin merasakan mengayuh sepeda kuno itu.
Pedagang yang juga berÂdagang di halaman museum digeser ke seÂpanjang Jalan Kali Besar, Taman Sari dan kantor Pos Indonesia.
Mengitari kawasan kota tua terÂlihat beberapa gedung yang tidak terawat. Bahkan ada tinggal rangÂka dan dindingnya saja. Sewaktu-waktu gedung yang sudah berusia ratusan tahun itu bisa roboh.
Bangunan kuno yang masih teÂrawat umumnya dimiliki sejumÂlah BUMN. Misalnya, museum Bank Indonesia, Museum Bank Indonesia, Museum BNI, kantor Pos Indonesia, kantor Jasa RaÂharja DKI Jakarta dan Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Barat.
Wakil Gubernur DKI Jakarta BaÂsuki Tjahaja Purnama berenÂcana mengembalikan gengsi kaÂwasan kota tua. Untuk itu, perÂlu menggandeng semua pihak untuk menata kawasan itu.
“Pak Gubernur sudah kirim surat ke Menteri BUMN, Menteri Keuangan, dan Menteri PariÂwisata. Kita harus sama-sama dorong kota tua biar eksklusif lagi,†katanya.
Penataan ini, kata Basuki, unÂtuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Kawasan kota tua juga bisa mendongkrak citÂra Jakarta sebagai etalase bangsa.
“Jadi nanti kalau ada tamu dari luar negeri dipandunya ke sana, karena di luar negeri juga begitu. Lihat kalau ke luar negeri, pasti tour-tour selalu antarkan ke kota tua,†katanya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Arie Budhiman mengatakan pengemÂbangan kawasan kota tua sebagai tempat wisata akan dilakukan dua tahap. Tahap pertama fokus di kawasan Taman Fatahillah dan Sunda Kelapa.
“Dua lokasi itu dulu yang akan dilakukan penataan. Setidaknya ada 134 bangunan cagar budaya yang akan direvitalisasi,†katanya.
Arie menjelaskan, dari 134 baÂngunan cagar budaya yang ada, hanya lima yang milik PemeÂrinÂtah DKI. Yakni Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Balai Konservasi, Museum Wayang, serta Museum Seni Rupa dan Keramik.
Untuk pengembangan wisata kota tua ini, Pemerintah DKI akan menggandeng para pemilik bangunan kota yang ada di kaÂwasan ini. “Yang banyak peÂmiÂlikÂnya swasta dan BUMN. Kita harus meminta dukungan pemeÂrinÂtah pusat, termasuk juga KeÂmenterian Keuangan. Tahap beÂrikutnya adalah membahas forÂmat kerjasamanya,â€katanya.
Untuk itu, ia akan membuat bisÂnis plan yang bisa meÂngunÂtungkan kedua belah pihak. PeÂmeÂrintah DKI juga bersedia jika pengelolaan bangunan cagar budaya dipindahtangankan.
Menurut Arie, untuk menarik wisatawan ke kota tua maka kaÂwaÂsan ini harus dilengkapi fasiÂlitas hotel, restoran, serta galeri. Juga perlu dikembangkan pusat kreativitas untuk mendorong industri kreatif.
Ia berjanji akan memberikan tempat kepada UKM untuk meÂngembangkan usahanya. “Pasti, kita harus memberikan perhatian untuk UKM, dengan format terÂtata sesuai visi pengembangan Kota Tua sebagai kawasan deÂngan nilai kesejahteraan yang tingÂgi,†katanya.
Jayakarta Dihancurkan, Diganti Kota Batavia
Sejarah kota tua Jakarta diÂmulai dari sebuah kampung kecil bernama Jayakarta yang terletak di pinggir Kali Ciliwung. Lambat laut, banyak bermunculan kamÂpung lainnya di sepanjang aliran sungai itu.
Kampung-kampung ini ada yang bertahan sampai sekarang yang disebut Kampung Tua. Di antaranya Kampung Bandan, Kampung Orang Cina (Pecinan), Kampung Luar Batang, KamÂpung Pekojan, Kampung Angke, Kampung Kebon Jeruk.
Tahun 1526, Kesultanan DeÂmak mengirim Fatahillah untuk menyerang pelabuhan Sunda KeÂlapa yang saat itu dikuasai keÂrajaan Hindu Pajajaran. Setelah meÂnang, nama Sunda Kelapa diÂganti jadi Jayakarta.
VOC mendarat Indonesia. Pada 1619, di bawah komando Jan Pieterszoon Coen, kota seluas 15 hektar itu dihancurkan. Satu tahun kemudian, VOC memÂbaÂngun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur SuÂngai CiliÂwung, saat ini Lapangan Fatahillah.
Penduduk Batavia disebut “BaÂtavianen†yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi. Orang BeÂtawi sebenarnya terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang mengÂhuni Batavia.
Pada tahun 1635, kota Batavia dÂiperluas ke sebelah barat sungai Ciliwung di atas bekas kota JayaÂkarÂta yang hancur. Kota ini diÂrancang lengkap dengan sistem pertahannya berupa tembok dan parit sekeliling kota.
Tata ruang kota dibagi ke dalam blok-blok yang dipisahkan kanal. PemÂbaÂngunan kota BataÂvia selesai pada 1650.
Batavia kemudian menjadi kanÂtor pusat VOC di Hindia TiÂmur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buÂruk. Kota ini mulai meluas ke seÂlatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (seÂkarang daerah di sekitar LapaÂngan Merdeka).
Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Setelah pendudukan JeÂpÂang pada tahun 1942, nama BataÂvia diganti menjadi “Jakartaâ€.
Sebagai pusat pemerintahan kala itu, Batavia banyak berdiri gedung seperti Gedung Gereja Batavia (sekarang Museum WaÂyang), Gedung Pengadilan BaÂtaÂvia (sekarang Museum Keramik), Gedung Stadhuis Batavia (seÂkaÂrang Museum Sejarah Jakarta), Stasiun Beos (Sekarang Stasiun JaÂkarta Kota), Jakarta China Town (sekarang Glodok dan PiÂnangsia Area) yang sampai seÂkaÂrang masih berdiri meskipun beÂberapa diantaranya mulai rapuh digerus zaman.
Untuk menyelamatkan banguÂnan kuno bernilai historis dan seni arsitektur tinggi yang terÂseÂbar di kawasan kota tua, GuÂbernur Ali Sadikin (1966-1977) mencanangkan program reviÂtalisasi kota tua.
Kawasan Kota Tua Jakarta memÂpunyai luas 864 hektar menÂcakup wilayah Jakarta Kota sekitarnya, dari seputar Glodok hingga Pelabuhan Sunda Kelapa.
Saat ini di kawasan kota tua JaÂkarta masih melestarikan beÂbeÂrapat bangunan gedung peÂningÂgalan Belanda. Seperti, Taman Fatahillah, Museum Bahari, MuÂseum Bank Mandiri, Menara Syahbandar, Masjid Luar Batang, Kota Intan, Cafe Batavia, Toko Merah, Bank Standard Chartered, Gedung Chandranaya, Gedung Arsip, Museum Bank Indonesia dan Petak Sembilan.
Didaftarkan Ke PBB Sebagai Warisan Dunia
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menÂduÂkung pengembangan kota tua JaÂkarta. Bahkan, kementerian telah mendaftarkan kota tua JaÂkarta sebagai salah satu warisan dunia.
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta NirÂwanÂdar telah bekerja sama deÂngan United Nations World TouÂrism Organization (UNWTO) untuk membangun kota tua JaÂkarta jadi warisan dunia yang diakui UNESCO, Badan PBB Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya.
“Bekerja sama dengan UNWTO tentunya akan mengÂopÂtimalkan target kita untuk menjadikan kota tua Jakarta menjadi warisan dunia yang diakui UNESCO,†katanya.
Menurutnya, kota tua Jakarta adalah salah satu pariwisata yang harus dikembangkan. Dan UNWTO akan memberikan duÂkuÂngan dan konsultasi kepada Indonesia untuk membangun pariwisata di kawasan ini. BaÂngunan-bangunan kuno yang ada di sini dapat dimanfaatkan, dioptimalkan, sehingga memÂberikan ekonomi kepada maÂsyarakat sekitar.
Menurut Sapta, dalam memÂbangun kota tua Jakarta meÂnÂjadi warisan dunia tak dapat diÂkÂerjakan sendiri oleh peÂmeÂrintah. Tapi dibutuhkan bantuan dari pihak lain seperti stÂaÂkeÂholÂder, masyarakat, komunitas, swasta dan lainnya.
Selain itu, kota tua Jakarta juga akan dijadikan kawasan wisata budaya. “Pemerintah puÂsat melibatkan diri karena ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah DKI Jakarta saja, tapi butuh keteribatan pusat dan komunitas, karena ini masalah kompleks,†kata Sapta.
Ia menjelaskan, pemerintah puÂsat akan mengoordinasi seÂluruh pemangku kepentingan terÂkait untuk menyiapkan renÂcana strategis pengembangan kota tua Jakarta dengan memÂpertimbangkan masukan dari tenaga ahli UNWTO.
Pemerintah akan memÂperÂbaiki strategi pengembangan kota tua Jakarta seluas 846 hekÂtar agar bisa lestari. Selain itu, agar bisa manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Menurutnya, pemerintah akan menyelesaikan penyusuÂnan rencana aksi tahun ini. Ia mencontohkan banyak kota beÂsar di dunia seperti Paris, Berlin, dan London yang justru meÂlestarikan warisan sejarah dan budayanya.
Selain menjaga bangunan-bangunan bersejarah, lingÂkuÂngan sekitarnya juga ditata deÂngan baik. Misalnya, wisata gonÂdola di kanal-kanal Venesia, Italia, dan Amsterdam di Belanda.
Sapta mengatakan, Indonesia masih jauh dari seperti itu. BaÂngunan kuno dan bersejarah baÂnyak dimusnahkan. Diganti mal-mal dan perkantoran. Kota Tua Di Yogya Peninggalan Kerajaan Mataram Islam
Sejumlah kota besar di InÂdonesia juga memiliki kawasan kota tua yang masih terpelihara hingga saat ini. Di Bandung, kaÂwasan kota tua terletak di seÂkitar di Jalan Braga
Jalan ini terletak persis di janÂtung kota. Berhimpitan dengan Jalan Asia Afrika yang dikenal dengan Gedung Merdeka-nya. Jalan sepanjang lebih dari 700 meter ini ada kaitannya dengan pembuatan jalan Anyer-PaÂnarukan oleh Daendels tahun 1808-1811.
Di sisi kanan dam kiri Jalan Braga terdapat kompleks perÂtokoan yang memiliki arsitektur dan tata kota yang tetap memÂpertahankan ciri arsitektur lama masa Hindia Belanda. Tata letak pertokoan tersebut meÂngiÂkuti model yang ada di Eropa pada masa 1920 sampai 1940-an.
Pertokoan tersebut yang maÂsih mempertahankan ciri arÂsiÂtektur lama adalah Sarinah, ApoÂtek Kimia Farma dan GeÂdung Merdeka (Gedung Asia AfÂrika yang dulunya adalah geÂdung Societeit Concordia).
Model tata letak jalan dan gedung gedung pertokoan dan perkantoran yang berada di Jalan Braga juga terlihat pada model jalan-jalan lain di sekitar Jalan Braga seperti Jalan SuniaÂraja (dulu dikenal sebagai Jalan Parapatan Pompa) dan Jalan Pos Besar (Postweg) yang dibaÂngun Gubernur Jendral Herman Willem Daendels pada tahun 1811, di depan Gedung Merdeka.
Di Yogyakarta juga banyak terdapat kawasan kota tua. Yang cukup terkenal adalah Kota Gede. Kota ini merupakan seÂbuah tempat penghasil keraÂjinan perak sehingga dijuluki kota perak. Beragam jenis perÂhiasan dan barang-barang terÂbuat dari perak menjadi daya tarik pengunjung.
Kota tua ini bukan dibangun Hindia Belanda. Tapi Kerajaan Mataram Islam. Di kawasan ini masih terlihat reruntuhan baÂnguÂnan di zaman Mataram Islam.
Semarang juga memiliki kaÂwasan kota tua. Kota tua ini menÂjadi pusat perdagangan pada abad ke-19 sampai abad ke-20 . Pada masa itu, untuk meÂngaÂmankan warga dan wilaÂyahnya, kawasan ini dibangun benteng, yang dinamai benteng Vijhoek.
Luas kawasan ini sekitar 31 hektare. Terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri, sehingga mendapat julukan “Little Netherlandâ€.
Mayoritas banguanan di kaÂwasan ini masih seperti sedia kala, belum banyak berubah. BaÂngunan di kota tua ini meÂngikuti bangunan-bangunan di benua Eropa sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail bangunan yang khas dan ornaÂmen-ornamen yang identik deÂngan gaya Eropa. Seperti ukuÂran pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, bentuk atap yang unik, sampai adanya ruang baÂwah tanah. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.