Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

PPD Terancam Ditutup, Eks Karyawan Salahkan Direksi

Selasa, 11 Desember 2012, 09:38 WIB
PPD Terancam Ditutup, Eks Karyawan Salahkan Direksi
Perum Pengangkutan Djakarta (PPD)

rmol news logo Jarum jam menunjukkan 13.30. Waktu istirahat untuk karyawan Perum Pengangkutan Djakarta (PPD) sudah berakhir setengah jam lalu. Beberapa karyawan terlihat masih ngobrol di pelataran masjid kantor Perum PPD Cawang, Jakarta Timur. Tak segera kembali ke tempat kerjanya setelah melaksanakan shalat Dhuhur.

“Semua direksi tidak ada di kan­tor karena rapat di kantor (Ke­menterian) BUMN,” kata satpam yang berjaga di pos dekat ger­bang.

Sugiyarto, Kepala Divisi Ru­mah Tangga Perum PPD dan Epen Rohendi, bekas karyawan PPD nimbrung dalam obrolan yang diselingi tawa itu. “Kami lagi ngobrol mengenai nasib per­usahaan ke depan,” kata Sugiyarto.

Para karyawan membicarakan pemanggilan direksi ke Ke­men­terian BUMN. Mereka men­duga, ini ada kaitannya dengan rencana likuidasi PPD.

Menurut Sugiyarto, sejak awal tahun beredar desas-desus di kar­yawan bahwa PPD bakal dilebur ke Perum Damri, perusahaan ne­gara yang juga mengoperasikan bus angkutan penumpang. “Tapi sampai sekarang belum juga ter­laksana,” ujarnya.

Rencana peleburan PPD ke Dam­ri diungkapkan Imam A Putro, Kepala Biro Perencanaan dan SDM Kementerian BUMN, Minggu lalu. Kata dia, ada 16 BUMN yang masih rugi. Per­usa­haan negara yang dianggap diang­gap tidak memiliki nilai stra­tegis dan terus menerus me­rugi, bakal dilikuidasi. PPD masuk bidikan.

Menurut Imam, sebagai BUMN, bisnis PPD belum jelas. BUMN se­harusnya menjadi perusahaan kelas nasional. Tapi PPD hanya ber­operasi di Jakarta.

Sugiyarto resah mendengar kabar itu. “Kalau benar dili­kui­dasi, terus anak dan istri makan apa? Saya sudah tua dan sebentar lagi pensiun. Mana ada perusa­ha­an yang mau menerima sebagai karyawan,” ucapnya masih me­ne­teskan air mata. Pria paruh ba­ya asal Surakarta itu sudah meng­abdi di PPD selama 28 tahun. Ia berharap Kementerian BUMN mem­perhatikan nasib para karya­wan jika PPD dilikuidasi.  

Saat ini karyawan PPD tersisa 315 orang. Setelah berulang kali dilanda kesulitan keuangan, per­usahaan pelat merah itu me­mang­kas jumlah karyawannya. Ribuan orang di-PHK. “Diberi pesangon Rp 60 juta,” ungkap Sugiyarto.

Di matanya kondisi PPD tak ter­lalu gawat seperti yang dibe­ri­takan. Perusahaan masih me­miliki 300 bus. Dua ratus di an­taranya kondisinya baik dan la­yak beroperasi. Selain itu, ada puluhan bus yang dipakai untuk busway dan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB).

Pembayaran gaji karyawan juga tak pernah telat. Karyawan level terendah digaji Rp 1,8 juta. Sebagai kepala divisi, Sugiyarto menerima gaji Rp 4,7 juta setiap bulan.

Epen Rohendi yang sudah pen­siun dari PPD menyalahkan direksi yang tak maksimal me­nyelamatkan perusahaan dari ke­sulitan keuangan. “Padahal, kar­yawannya hanya sisa tiga ratus­an,” kata dia.

Ia mendengar informasi bahwa pemasukan yang diperoleh dari pengoperasian bus dan kom­pensasi dari busway. Ia men­curiga ada penyimpangan se­hingga PPD terus menerus rugi, yang berbuntut perusahaan itu bakal ditutup.

Epen mengaku sudah mela­porkan beberapa dugaan penyim­pangan di PPD ke KPK. “Saya ingin tindakan yang tidak benar itu bisa secepatnya diusut KPK,” katanya. Ia pun siap memberikan kesaksiannya.

Tak ada pejabat Perum PPD yang bisa dimintai tanggapan me­nge­nai rencana likuidasi ini.

Bertahan Dengan Menjual Aset

Perum PPD berulang kali di­landa kesulitan keuangan. Un­tuk membayar gaji kar­ya­wan dan kewajiban lainnya, per­usahaan pelat merah itu melego satu per satu asetnya.

Awalnya, PPD memiliki aset berubah satu gedung kantor pusat, 15 depo, sejumlah tanah di Jabodetabek dan vila di Pun­cak.  Depo milik PPD seluas 596.601 meter.

Memasuki 2000, PPD mulai lim­bung. Gaji karyawan tersen­dat-sendat. Bahkan tidak dibayar berbulan-bulan. Para kar­yawan berulang kali ber­unjuk rasa menuntut hak-hak mereka.

Kementerian BUMN mere­ko­mendasikan menjual aset untuk mengatasi keuangan PPD yang negatif. Pemerintah DKI, yang saat itu baru memulai busway tertarik untuk membeli beberapa depo PPD. Depo itu akan dijadikan pool bus Trans­jakarta. Ada empat depo yang dianggap cocok yakni Cililitan, Daan Mogot, Kramat Jati dan Cakung.

Pendek cerita, pembelian de­po pun terjadi. Namun tran­sak­sinya terindikasi korupsi. Ka­susnya disidik Kejaksaan Tinggi DKI. Dua eks direksi dan seorang notaris ditetapkan sebagai tersangka.

Dana segar ratusan miliar yang diperoleh melepas ke­pe­milikan sejumlah depo itu ter­nyata tak bertahan lama. Per­usahaan kembali kesulitan ke­uangan.

Untuk mengatasinya, PPD berencana menjual asetnya. Kali ini yang dijual adalah Depo di Ciputat, vila di Puncak dan dua kavling tanah di Depok.

Depo yang terletak di Jalan RE Martadinata, Ciputat, Ta­nge­rang Selatan merupakan depo PPD yang terbesar saat ini. Luas­nya 67.875 meter persegi. Nilai jual obyek pajak (NJOP) depo ini sekitar Rp 98,9 miliar.

Adapun vila yang dijual ter­letak di Mega Mendung, Pun­cak dengan luas tanah 2.950 me­ter persegi dan luas ba­ngun­an 283 meter persegi. Vila ini bernilai Rp 1,2 miliar.

Sedangkan dua kavling tanah seluas 186 meter persegi dan 141 meter persegi di Sukamaju, Depok ditawarkan dengan harga Rp 53 juta dan Rp 40 juta.

Jika Depo Ciputat dijual maka aset PPD yang besar ting­gallah kantor pusat yang ter­letak di Jalan DI Panjaitan No­mor 1, Cawang, Jakarta Timur.

Kantor pusat menempati lahan seluas 8.251 meter per­segi. Sebagian besar lahan di sini dipakai untuk parkir bus. Sisa­nya untuk dibangun gedung berlantai dua, yang jadi kantor karyawan dan direksi PPD. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA