Jarum jam menunjukkan 13.30. Waktu istirahat untuk karyawan Perum Pengangkutan Djakarta (PPD) sudah berakhir setengah jam lalu. Beberapa karyawan terlihat masih ngobrol di pelataran masjid kantor Perum PPD Cawang, Jakarta Timur. Tak segera kembali ke tempat kerjanya setelah melaksanakan shalat Dhuhur.
“Semua direksi tidak ada di kanÂtor karena rapat di kantor (KeÂmenterian) BUMN,†kata satpam yang berjaga di pos dekat gerÂbang.
Sugiyarto, Kepala Divisi RuÂmah Tangga Perum PPD dan Epen Rohendi, bekas karyawan PPD nimbrung dalam obrolan yang diselingi tawa itu. “Kami lagi ngobrol mengenai nasib perÂusahaan ke depan,†kata Sugiyarto.
Para karyawan membicarakan pemanggilan direksi ke KeÂmenÂterian BUMN. Mereka menÂduga, ini ada kaitannya dengan rencana likuidasi PPD.
Menurut Sugiyarto, sejak awal tahun beredar desas-desus di karÂyawan bahwa PPD bakal dilebur ke Perum Damri, perusahaan neÂgara yang juga mengoperasikan bus angkutan penumpang. “Tapi sampai sekarang belum juga terÂlaksana,†ujarnya.
Rencana peleburan PPD ke DamÂri diungkapkan Imam A Putro, Kepala Biro Perencanaan dan SDM Kementerian BUMN, Minggu lalu. Kata dia, ada 16 BUMN yang masih rugi. PerÂusaÂhaan negara yang dianggap diangÂgap tidak memiliki nilai straÂtegis dan terus menerus meÂrugi, bakal dilikuidasi. PPD masuk bidikan.
Menurut Imam, sebagai BUMN, bisnis PPD belum jelas. BUMN seÂharusnya menjadi perusahaan kelas nasional. Tapi PPD hanya berÂoperasi di Jakarta.
Sugiyarto resah mendengar kabar itu. “Kalau benar diliÂkuiÂdasi, terus anak dan istri makan apa? Saya sudah tua dan sebentar lagi pensiun. Mana ada perusaÂhaÂan yang mau menerima sebagai karyawan,†ucapnya masih meÂneÂteskan air mata. Pria paruh baÂya asal Surakarta itu sudah mengÂabdi di PPD selama 28 tahun. Ia berharap Kementerian BUMN memÂperhatikan nasib para karyaÂwan jika PPD dilikuidasi.
Saat ini karyawan PPD tersisa 315 orang. Setelah berulang kali dilanda kesulitan keuangan, perÂusahaan pelat merah itu meÂmangÂkas jumlah karyawannya. Ribuan orang di-PHK. “Diberi pesangon Rp 60 juta,†ungkap Sugiyarto.
Di matanya kondisi PPD tak terÂlalu gawat seperti yang dibeÂriÂtakan. Perusahaan masih meÂmiliki 300 bus. Dua ratus di anÂtaranya kondisinya baik dan laÂyak beroperasi. Selain itu, ada puluhan bus yang dipakai untuk busway dan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB).
Pembayaran gaji karyawan juga tak pernah telat. Karyawan level terendah digaji Rp 1,8 juta. Sebagai kepala divisi, Sugiyarto menerima gaji Rp 4,7 juta setiap bulan.
Epen Rohendi yang sudah penÂsiun dari PPD menyalahkan direksi yang tak maksimal meÂnyelamatkan perusahaan dari keÂsulitan keuangan. “Padahal, karÂyawannya hanya sisa tiga ratusÂan,†kata dia.
Ia mendengar informasi bahwa pemasukan yang diperoleh dari pengoperasian bus dan komÂpensasi dari busway. Ia menÂcuriga ada penyimpangan seÂhingga PPD terus menerus rugi, yang berbuntut perusahaan itu bakal ditutup.
Epen mengaku sudah melaÂporkan beberapa dugaan penyimÂpangan di PPD ke KPK. “Saya ingin tindakan yang tidak benar itu bisa secepatnya diusut KPK,†katanya. Ia pun siap memberikan kesaksiannya.
Tak ada pejabat Perum PPD yang bisa dimintai tanggapan meÂngeÂnai rencana likuidasi ini.
Bertahan Dengan Menjual Aset
Perum PPD berulang kali diÂlanda kesulitan keuangan. UnÂtuk membayar gaji karÂyaÂwan dan kewajiban lainnya, perÂusahaan pelat merah itu melego satu per satu asetnya.
Awalnya, PPD memiliki aset berubah satu gedung kantor pusat, 15 depo, sejumlah tanah di Jabodetabek dan vila di PunÂcak. Depo milik PPD seluas 596.601 meter.
Memasuki 2000, PPD mulai limÂbung. Gaji karyawan tersenÂdat-sendat. Bahkan tidak dibayar berbulan-bulan. Para karÂyawan berulang kali berÂunjuk rasa menuntut hak-hak mereka.
Kementerian BUMN mereÂkoÂmendasikan menjual aset untuk mengatasi keuangan PPD yang negatif. Pemerintah DKI, yang saat itu baru memulai busway tertarik untuk membeli beberapa depo PPD. Depo itu akan dijadikan pool bus TransÂjakarta. Ada empat depo yang dianggap cocok yakni Cililitan, Daan Mogot, Kramat Jati dan Cakung.
Pendek cerita, pembelian deÂpo pun terjadi. Namun tranÂsakÂsinya terindikasi korupsi. KaÂsusnya disidik Kejaksaan Tinggi DKI. Dua eks direksi dan seorang notaris ditetapkan sebagai tersangka.
Dana segar ratusan miliar yang diperoleh melepas keÂpeÂmilikan sejumlah depo itu terÂnyata tak bertahan lama. PerÂusahaan kembali kesulitan keÂuangan.
Untuk mengatasinya, PPD berencana menjual asetnya. Kali ini yang dijual adalah Depo di Ciputat, vila di Puncak dan dua kavling tanah di Depok.
Depo yang terletak di Jalan RE Martadinata, Ciputat, TaÂngeÂrang Selatan merupakan depo PPD yang terbesar saat ini. LuasÂnya 67.875 meter persegi. Nilai jual obyek pajak (NJOP) depo ini sekitar Rp 98,9 miliar.
Adapun vila yang dijual terÂletak di Mega Mendung, PunÂcak dengan luas tanah 2.950 meÂter persegi dan luas baÂngunÂan 283 meter persegi. Vila ini bernilai Rp 1,2 miliar.
Sedangkan dua kavling tanah seluas 186 meter persegi dan 141 meter persegi di Sukamaju, Depok ditawarkan dengan harga Rp 53 juta dan Rp 40 juta.
Jika Depo Ciputat dijual maka aset PPD yang besar tingÂgallah kantor pusat yang terÂletak di Jalan DI Panjaitan NoÂmor 1, Cawang, Jakarta Timur.
Kantor pusat menempati lahan seluas 8.251 meter perÂsegi. Sebagian besar lahan di sini dipakai untuk parkir bus. SisaÂnya untuk dibangun gedung berlantai dua, yang jadi kantor karyawan dan direksi PPD. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.