Teranyar, konflik di Desa BaÂliÂnuraga, Kecamatan Way PanÂji, KaÂbupaten Lampung Selatan. 14 orang tewas, 166 rumah dibaÂkar massa dan 1.600 warga meÂngungÂsi.
Pemerintah mencatat, frekuenÂsi konflik sosial memang meÂningÂkat satu tahun terakhir. Pada 2011, terjadi 77 konÂflik, lebih renÂÂdah diÂbanding tahun 2010 yakni 93 konÂflik. Namun, sampai NoÂvemÂber ini sudah terjadi 89 konflik.
Menteri Dalam Negeri, GamaÂwan Fauzi mengatakan, pemicu konflik seringkali sangat sepele, namun telanjur besar sebelum berhasil diredam.
“Banyak konÂflik besar yang diÂsebabkan masaÂlah sepele,†kataÂnya kepada wartawan di LamÂpung, Senin lalu.
Bekas Gubernur Sumatera BaÂrat ini menjelaskan, dari pemeÂtaan yang dilakukan lembaganya, pemicu konflik itu di antaranya akiÂbat sengketa pilkada, sengketa kewenangan, sengketa lahan, konflik SARA, konflik ormas, konflik pada institusi pendidikan, dan kesenjangan sosial.
Dari seluruh konflik sosial yang terjadi, tawuran sangat menÂdoÂmiÂnasi, dengan intensitas menÂcapai 30 persen. Sedangkan konÂflik soÂsial yang disebabkan peÂmilihan keÂpala daerah mencaÂpai 10 perÂsen, dan konflik akibat suku agaÂma dan ras hanya 1 persen.
Pemerintah mengingatkan, ke depan setiap wilayah membuat peta konflik per kecamatan dan berÂbagai maÂsaÂlah yang belum terselesaikan.
Aparat di daerah mulai tingÂkat kabupaten/kota sampai deÂsa, seÂharusnya mencegah konÂflik seÂÂÂbeÂlum membesar. “Yang terÂjaÂdi seÂÂkarang, setelah api konÂÂflik memÂÂÂbesar baru semua kaÂget,†ujarnya.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) memÂbeberkan, dari 183 daerah tertingÂgal, 143 daerah di antaranya terÂmaÂsuk rawan konflik sosial.
Demikian kata MenÂteri PDT Helmi Faizal Zaini keÂpada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, dilihat dari akar perÂmasalahannya ada beberapa penyebab terjadinya konflik soÂsial, mulai dari faktor ekonomi, soÂÂsial budaya, agama hingga poÂlitik.
Politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa ini menegaskan, konflik membuat ekonomi di daerah terÂsebut terpuruk.
“PeÂreÂkonomian masyarakat diÂmuÂlai dari nol lagi,†katanya.
Buntutnya, daerah terÂsebut terÂmaÂsuk kategori daerah tertinggal.
“Mayoritas kabupaten yang termasuk daerah tertinggal ada di Indonesia bagian timur, jumlahÂnya hampir 68 perÂsen,†ujarnya.
KPDT berÂupaya mengurangi reÂÂsiÂko terjadinya konÂflik deÂngan meÂÂnerapkan sisÂtem peÂringatan dini.
“Kami tidak fokus pada penaÂngaÂÂÂnannya lagi, namun orienÂtasiÂnya kepada pencegahant. UnÂdang-UnÂdang PeÂnanganan KonÂflik Sosial sangat membantu,†tegasnya.
Untuk meningkatkan perekoÂnoÂmian masyarakat, selain meÂlaÂkuÂkan pemberdayaan terhadap maÂsyaÂrakatnya, KPDT tak segan-seÂgan menggandeng Uni Eropa daÂlam upaya pembangunan berÂkeÂlanÂÂjutan di daerah konflik seÂperti di Palu, Kupang dan AmÂbon.
Siapkan Pasukan 10 Ribu Personel
Jenderal Timur Pradopo, Kapolri
Hasil pemetaan daerah di Indonesia yang dilakukan Polri, saat ini setidaknya ada 1.629 loÂkasi berpotensi konflik. InÂvenÂÂtarisasi itu terus dilakukan seÂcara intensif melalui KepoÂliÂsian Daerah.
“Lokasi-lokasi itu tersebar paÂda beberapa latar belakang konÂdisi masyarakat. Paling banyak loÂkasi potensi konflik terÂdapat pada sektor perkeÂbuÂnan.â€
Polri telah menempatkan peÂtugasnya di setiap desa guna mengantisipasi potensi konflik, mengetahui masalah, dan menÂcari solusi bersama dengan maÂsyarakat.
Selain itu, dilakukan koordiÂnaÂsi dengan tokoh masyarakat agar tidak munÂcul konflik.
Dalam hal ini, Polri meÂmainÂkan peran sebagai meÂdiator yang membawa pesan perÂdaÂmaian bagi masyarakat.
Makanya, Polri juga berupaya membangun kerukunan antar warga dan mengikuti perkemÂbaÂngannya secara terus menerus. “Kami juga menambah kekuaÂtan PolÂri sebanyak 10.000 angÂgota paÂda tahun 2012, juga meÂlengÂkapi perlengkapan senÂjata dalam penanganan konflik.â€
Rakyat Ogah Dengarkan Imbauan Pemerintah Lagi
Ahmad Muzani, Anggota Komisi I DPR
Imbauan pemerintah semesÂtinya didengar rakyat. Tapi, karena pemerintah telah kehiÂlangan wibawanya, rakyat tidak lagi mau mendengarkannya. “RakÂyat jadi bertindak semauÂnya, main hakim sendiri dan menÂÂcari penyelesaian sendiri.â€
Aparat pemerintah tidak makÂsimal meredam konflik. SeÂmesÂtinya perwakilan pemeÂrinÂtah di daerah mulai lurah sampai guÂbernur harusnya menÂjadi paÂnuÂtan bagi rakyat.
Untuk menekan terulangnya konÂflik tentu pemerintah harus memÂbaÂngun kembali wibawaÂnya.
“CaÂraÂnya, hukum harus diÂteÂgakkan, tanpa pandang bulu.â€
Pemda, pemuka agama, peÂmuÂka adat dan pihak-pihak terÂkait seharusnya bisa mengambil langkah-langkah cepat, tegas dan tepat terhadap konflik yang akan terjadi, sedang terjadi, maupun seÂsudahnya.
Yang tak kalah pentingÂnya, pemerintah juga harus bisa meÂmetakan poÂtensi konflik agar tiÂdak terulang. [Harian Rakyat Merdeka]
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: