Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

89 Konflik Sosial Didominasi Aksi Tawuran Antar Warga

Perekonomian Daerah Tertinggal Makin Terpuruk

Kamis, 08 November 2012, 09:02 WIB
89 Konflik Sosial Didominasi Aksi Tawuran Antar Warga
ilustrasi, tawuran
rmol news logo Frekuensi konflik sosial antar masyarakat cenderung meningkat. Korban berjatuhan, dan menyisakan trauma mendalam.

Teranyar, konflik di Desa Ba­li­nuraga, Kecamatan Way Pan­ji, Ka­bupaten Lampung Selatan. 14 orang tewas, 166 rumah diba­kar massa dan 1.600 warga me­ngung­si.

Pemerintah mencatat, frekuen­si konflik sosial memang me­ning­kat satu tahun terakhir. Pada 2011, terjadi 77 kon­flik, lebih ren­­dah di­banding tahun 2010 yakni 93 kon­flik. Namun, sampai No­vem­ber ini sudah terjadi 89 konflik.

Menteri Dalam Negeri, Gama­wan Fauzi mengatakan, pemicu konflik seringkali sangat sepele, namun telanjur besar sebelum berhasil diredam.

“Banyak kon­flik besar yang di­sebabkan masa­lah sepele,” kata­nya kepada wartawan di Lam­pung, Senin lalu.

Bekas Gubernur Sumatera Ba­rat ini menjelaskan, dari peme­taan yang dilakukan lembaganya, pemicu konflik itu di antaranya aki­bat sengketa pilkada, sengketa kewenangan, sengketa lahan, konflik SARA, konflik ormas, konflik pada institusi pendidikan, dan kesenjangan sosial.

Dari seluruh konflik sosial yang terjadi, tawuran sangat men­do­mi­nasi, dengan intensitas men­capai 30 persen. Sedangkan kon­flik so­sial yang disebabkan pe­milihan ke­pala daerah menca­pai 10 per­sen, dan konflik akibat suku aga­ma dan ras hanya 1 persen.

Pemerintah mengingatkan, ke depan setiap wilayah membuat peta konflik per kecamatan dan ber­bagai ma­sa­lah yang belum terselesaikan.

Aparat di daerah mulai ting­kat kabupaten/kota sampai de­sa, se­harusnya mencegah kon­flik se­­­be­lum membesar. “Yang ter­ja­di se­­karang, setelah api kon­­flik  mem­­­besar baru semua ka­get,” ujarnya.

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) mem­beberkan, dari 183 daerah terting­gal, 143 daerah di antaranya ter­ma­suk rawan konflik sosial.

Demikian kata Men­teri PDT Helmi Faizal Zaini ke­pada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurutnya, dilihat dari akar per­masalahannya ada beberapa penyebab terjadinya konflik so­sial, mulai dari faktor ekonomi, so­­sial budaya, agama hingga po­litik.

Politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa ini menegaskan, konflik membuat ekonomi di daerah ter­sebut terpuruk.

“Pe­re­konomian masyarakat di­mu­lai dari nol lagi,” katanya.

Buntutnya, daerah ter­sebut ter­ma­suk kategori daerah tertinggal.

“Mayoritas kabupaten yang termasuk daerah tertinggal ada di Indonesia bagian timur,  jumlah­nya hampir 68 per­sen,” ujarnya.

KPDT ber­upaya mengurangi re­­si­ko terjadinya  kon­flik de­ngan me­­nerapkan sis­tem pe­ringatan dini.

“Kami tidak fokus pada pena­nga­­­nannya lagi, namun orien­tasi­nya kepada pencegahant. Un­dang-Un­dang Pe­nanganan Kon­flik Sosial sangat membantu,” tegasnya.

Untuk meningkatkan pereko­no­mian masyarakat, selain me­la­ku­kan pemberdayaan terhadap ma­sya­rakatnya, KPDT tak segan-se­gan menggandeng Uni Eropa da­lam upaya pembangunan ber­ke­lan­­jutan di daerah konflik se­perti di Palu, Kupang dan Am­bon.

Siapkan Pasukan 10 Ribu Personel

Jenderal Timur Pradopo, Kapolri

Hasil pemetaan daerah di Indonesia yang dilakukan Polri, saat ini setidaknya ada 1.629 lo­kasi berpotensi konflik. In­ven­­tarisasi itu terus dilakukan se­cara intensif melalui Kepo­li­sian Daerah.

“Lokasi-lokasi itu tersebar pa­da beberapa latar belakang kon­disi masyarakat. Paling banyak lo­kasi potensi konflik ter­dapat pada sektor perke­bu­nan.”

Polri telah menempatkan pe­tugasnya di setiap desa guna mengantisipasi potensi konflik, mengetahui masalah, dan men­cari solusi bersama dengan ma­syarakat.

Selain itu, dilakukan koordi­na­si dengan tokoh masyarakat agar tidak mun­cul konflik.

Dalam hal ini, Polri me­main­kan peran sebagai me­diator yang membawa pesan per­da­maian bagi masyarakat.

Makanya, Polri juga berupaya membangun kerukunan antar warga dan mengikuti perkem­ba­ngannya secara terus menerus. “Kami juga menambah kekua­tan Pol­ri sebanyak 10.000 ang­gota pa­da tahun 2012, juga me­leng­kapi perlengkapan sen­jata dalam penanganan konflik.”

Rakyat Ogah Dengarkan Imbauan Pemerintah Lagi

Ahmad Muzani, Anggota Komisi I DPR

Imbauan pemerintah semes­tinya didengar rakyat. Tapi, karena pemerintah telah kehi­langan wibawanya, rakyat tidak lagi mau mendengarkannya. “Rak­yat jadi bertindak semau­nya, main hakim sendiri dan men­­cari penyelesaian sendiri.”

Aparat pemerintah tidak mak­simal meredam konflik. Se­mes­tinya perwakilan peme­rin­tah di daerah mulai lurah sampai gu­bernur harusnya men­jadi pa­nu­tan bagi rakyat.

Untuk menekan terulangnya kon­flik tentu pemerintah harus mem­ba­ngun kembali wibawa­nya.

“Ca­ra­nya, hukum harus di­te­gakkan, tanpa pandang bulu.”

Pemda, pemuka agama, pe­mu­ka adat dan pihak-pihak ter­kait seharusnya bisa mengambil langkah-langkah cepat, tegas dan tepat terhadap konflik yang akan terjadi, sedang terjadi, maupun se­sudahnya.

Yang tak kalah penting­nya, pemerintah juga harus bisa me­metakan po­tensi konflik agar ti­dak terulang. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA