Studi oleh Grasso (2020) menyoroti bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi telah berkembang seiring dengan perubahan teori hukum yang mulai melihat perusahaan sebagai entitas independen yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan kriminal yang dilakukan dalam lingkup bisnisnya.
Di berbagai yurisdiksi, termasuk Indonesia, terdapat perdebatan mengenai apakah korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus korupsi atau hanya terbatas pada tuntutan perdata dan administratif.
Perjanjian internasional, seperti yang diteliti Ivory & Soreide (2020), mengamanatkan bahwa negara harus menerapkan sanksi pidana terhadap badan hukum dalam kasus penyuapan lintas negara.
Namun, kenyataannya banyak negara lebih memilih menggunakan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan yang sering kali menghasilkan hukuman yang lebih ringan bagi korporasi. Banyak putusan hukum lebih menitikberatkan pada pertanggungjawaban individu pengurus perusahaan, sementara entitas korporasi sebagai institusi sering kali terbebas dari hukuman pidana langsung.
Urazboev & Odilov (2022) menyoroti bahwa terdapat celah dalam hukum yang memungkinkan perusahaan menghindari tanggung jawab pidana meskipun individu dalam perusahaan terbukti melakukan suap. Hal ini mencerminkan kompleksitas dalam menegakkan hukum pidana terhadap badan usaha, terutama dalam kasus yang melibatkan pejabat tinggi perusahaan.
PembahasanDalam konteks pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum, perdebatan muncul mengenai apakah korporasi masih dapat dikenakan denda atau sanksi pidana lebih lanjut setelah pengurusnya telah dijatuhi hukuman.
Sebagian pandangan berargumen bahwa jika pengurus telah bertanggung jawab secara pidana dan membayar denda atas tindakan yang dilakukan dalam kapasitasnya, maka menghukum badan hukum itu sendiri menjadi tidak relevan dan dapat bertentangan dengan prinsip keadilan hukum.
Hal ini didasarkan pada konsep bahwa korporasi sebagai entitas hukum seharusnya tidak serta-merta diperlakukan seperti individu yang dapat memiliki niat dan tanggung jawab moral sendiri. Jika suatu korporasi dianggap sebagai entitas yang bertanggung jawab secara pidana, maka dalam logika yang sama, ia juga dapat dianggap sebagai pemegang hak hukum seperti individu.
Namun, hal ini menciptakan dilema hukum, karena dengan mengakui tanggung jawab pidana korporasi, berarti korporasi juga memiliki hak-hak hukum yang sebanding dengan individu.
Pendekatan rehabilitatif dalam pertanggungjawaban pidana korporasi juga menjadi pertimbangan penting dalam diskusi ini. Sistem hukum di Italia, misalnya, lebih mengedepankan insentif kepatuhan melalui adopsi model kepatuhan yang ketat oleh perusahaan dibandingkan dengan hanya sekadar mengenakan sanksi pidana atau denda tambahan terhadap korporasi.
Dengan adanya mekanisme kepatuhan yang baik, tujuan hukum pidana untuk mencegah kejahatan korporasi dapat tercapai tanpa harus memberikan sanksi ganda terhadap entitas hukum yang sama.
Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan bahwa dalam beberapa kasus, korporasi mengalami perubahan signifikan seperti pergantian kepemilikan, perubahan manajemen, atau bahkan rebranding. Dalam situasi semacam ini, muncul pertanyaan apakah entitas yang sama tetap dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pengurus sebelumnya, atau apakah tanggung jawab pidana harus dihapuskan ketika perusahaan mengalami perubahan fundamental dalam struktur dan kepemilikannya.
Dari perspektif kepatuhan hukum, penerapan sanksi ganda terhadap badan hukum setelah pengurusnya telah dijatuhi hukuman juga menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran prinsip double jeopardy atau penghukuman ganda. Studi menunjukkan bahwa individu yang telah menjalani sanksi pidana sering kali merasa bahwa denda tambahan yang dijatuhkan setelah hukuman pidana dapat menimbulkan rasa ketidakadilan.
Dalam konteks hukum korporasi, ini relevan karena jika pengurus telah dijatuhi sanksi, maka menghukum korporasi secara finansial bisa dianggap sebagai bentuk penghukuman berlebihan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan substantif.
Sebagai alternatif dari sanksi tambahan terhadap korporasi, studi menunjukkan bahwa hukuman pidana sebaiknya tidak hanya difokuskan pada sanksi finansial, tetapi juga pada perubahan struktural yang dapat mencegah pelanggaran serupa di masa depan. Misalnya, daripada menjatuhkan denda tambahan terhadap perusahaan yang pengurusnya telah dihukum, sistem peradilan dapat mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan mekanisme pengawasan internal dan sistem kepatuhan yang lebih ketat. Hal ini lebih efektif dalam jangka panjang daripada sekadar menerapkan hukuman finansial tambahan yang bisa jadi tidak adil atau tidak proporsional.
Dengan demikian, prinsip keadilan hukum dan kepastian hukum menuntut bahwa jika pengurus suatu perusahaan telah dihukum dan membayar denda atas pelanggaran yang mereka lakukan dalam kapasitasnya sebagai pengurus, maka badan hukum itu sendiri tidak perlu lagi dimintai pertanggungjawaban lebih lanjut.
Pendekatan yang lebih adil dan efektif adalah mendorong perusahaan untuk menerapkan sistem kepatuhan yang lebih ketat, alih-alih memberlakukan sanksi ganda yang dapat merusak prinsip fundamental dalam sistem hukum pidana korporasi.
Dalam sistem hukum Indonesia, bentuk badan usaha seperti Commanditaire Vennootschap (CV) memiliki karakteristik unik yang membedakan pertanggungjawaban hukum antara sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekutu aktif bertanggung jawab penuh atas operasional dan keputusan perusahaan, sementara sekutu pasif hanya memiliki kewajiban sebatas modal yang disetorkan.
Oleh karena itu, dalam konteks pertanggungjawaban pidana, sekutu aktif lebih relevan untuk dikenai sanksi hukum dibandingkan CV itu sendiri sebagai entitas usaha. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia, di mana hukum korporasi belum secara eksplisit menetapkan CV sebagai subjek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana korporasi secara langsung.
Prinsip business judgment rule yang diatur dalam hukum korporasi Indonesia juga mendukung gagasan bahwa individu yang mengelola badan usaha harus bertanggung jawab secara langsung terhadap keputusan bisnisnya. Berdasarkan doktrin ini, sekutu aktif dalam CV harus menunjukkan bahwa keputusan yang diambil telah dilakukan dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian agar terhindar dari tanggung jawab pidana. Jika terjadi tindakan melawan hukum, tanggung jawab pidana akan lebih diarahkan kepada sekutu aktif sebagai pengelola, bukan kepada CV sebagai badan usaha.
Dalam praktiknya, hukum pidana Indonesia juga cenderung menekankan pertanggungjawaban individu atas tindakan kriminal yang dilakukan dalam kapasitas profesionalnya. Misalnya, dalam kasus kejahatan korporasi yang melibatkan pemalsuan dokumen ekspor, hukum lebih menargetkan individu yang secara langsung terlibat dalam kejahatan tersebut dibandingkan dengan badan hukum yang menaunginya.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa meskipun CV beroperasi sebagai badan usaha, tanggung jawab utama tetap berada pada pengurusnya, yaitu sekutu aktif.
Namun, di tengah perkembangan regulasi, ada desakan untuk mereformasi hukum pidana ekonomi di Indonesia agar lebih jelas dalam menangani pertanggungjawaban pidana badan usaha, termasuk CV. Beberapa kajian mengusulkan bahwa mekanisme hukum yang lebih modern harus mencakup pendekatan yang lebih sistematis dalam menentukan batas tanggung jawab antara badan usaha dan individu yang mengelolanya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, CV masih diperlakukan sebagai bentuk usaha persekutuan, dengan tanggung jawab pidana tetap lebih diarahkan kepada sekutu aktif. Oleh karena itu, pendekatan hukum yang lebih adil adalah tetap menitikberatkan sanksi pidana pada individu yang memiliki kendali atas tindakan bisnis CV, bukan pada CV itu sendiri sebagai entitas usaha.
Hal ini sejalan dengan prinsip dasar pertanggungjawaban dalam sistem hukum Indonesia yang lebih menitikberatkan pada aspek individu dalam pengelolaan perusahaan dibandingkan dengan entitas usaha itu sendiri.
Dalam sistem hukum pidana korporasi, perlu adanya batasan yang jelas mengenai kapan pertanggungjawaban pidana terhadap suatu badan hukum berakhir setelah pengurusnya dihukum pidana. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip keadilan hukum tetap terjaga serta menghindari penerapan sanksi ganda yang tidak perlu.
Beberapa penelitian menekankan bahwa dalam praktik hukum di berbagai yurisdiksi, ketika seorang pengurus telah menerima sanksi pidana dan membayar denda, korporasi seharusnya tidak lagi dimintai pertanggungjawaban lebih lanjut, kecuali dalam situasi tertentu yang melibatkan pelanggaran lain yang belum tercakup dalam proses hukum sebelumnya.
Pendekatan ini juga sejalan dengan konsep Deferred Prosecution Agreements (DPA) yang diterapkan di beberapa negara, dengan suatu korporasi dapat menghindari tuntutan pidana dengan memenuhi persyaratan tertentu, seperti pembayaran denda dan peningkatan sistem kepatuhan. DPA menjadi alternatif bagi penegakan hukum dalam menangani kejahatan korporasi tanpa harus membubarkan atau menghukum badan usaha secara berlebihan. Namun, kritik terhadap DPA juga mencerminkan bahwa sistem ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum jika tidak diterapkan secara konsisten.
Selain itu, penelitian dalam konteks hukum pidana korporasi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa meskipun hukum mengatur kemungkinan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi dan pengurusnya, dalam praktiknya, banyak kasus kejahatan korporasi yang tidak dibawa ke pengadilan karena kompleksitas pembuktian serta hambatan teknis dalam menetapkan pertanggungjawaban hukum badan usaha. Akibatnya, sistem hukum lebih cenderung menuntut individu daripada korporasi secara keseluruhan.
Namun, terdapat pula argumen bahwa dalam kasus tertentu, korporasi tetap dapat dimintai pertanggungjawaban setelah pengurusnya dihukum, terutama jika terdapat bukti bahwa badan usaha secara sistematis membiarkan atau bahkan mendorong pelanggaran yang terjadi. Misalnya, dalam kasus industri tembakau, beberapa penelitian menyoroti bagaimana perusahaan tembakau menghadapi kemungkinan tuntutan pidana yang dapat mencakup sanksi terhadap individu sekaligus terhadap korporasi secara keseluruhan karena sifat sistematis dari pelanggaran yang dilakukan.
Dalam konteks hukum Indonesia, perdebatan ini relevan karena sistem hukum masih terus berkembang dalam mengakomodasi prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi korporasi yang terlibat dalam tindak pidana. Oleh karena itu, batasan yang lebih jelas mengenai kapan pertanggungjawaban pidana berakhir perlu dikodifikasikan dalam undang-undang guna menghindari ketidakadilan serta memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Dengan demikian, prinsip dasar yang harus diterapkan adalah bahwa korporasi tidak boleh dikenakan sanksi pidana tambahan jika pengurusnya telah bertanggung jawab sepenuhnya, kecuali jika terdapat unsur kesalahan baru yang belum diproses dalam sistem peradilan.
KesimpulanPenulisan ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam kasus korupsi masih menjadi perdebatan hukum yang kompleks, terutama dalam menentukan sejauh mana entitas bisnis dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan ilegal yang dilakukan individu di dalamnya.
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun banyak yurisdiksi telah mengakui konsep Corporate Criminal Liability (CCL), implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk celah hukum dan inkonsistensi dalam putusan pengadilan.
Dari perspektif keadilan hukum, penelitian ini mengungkapkan bahwa penjatuhan sanksi terhadap badan hukum setelah pengurusnya dihukum dapat menimbulkan dilema hukum, terutama terkait dengan prinsip double jeopardy dan keadilan prosedural. Dalam konteks hukum Indonesia, pendekatan yang lebih menekankan pertanggungjawaban individu dibandingkan dengan badan usaha sebagai subjek hukum masih menjadi tantangan dalam penerapan hukum pidana korporasi.
Kontribusi utama penelitian ini adalah memberikan wawasan tentang perlunya reformasi hukum yang lebih jelas dalam menangani pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain itu, pendekatan alternatif seperti mekanisme Deferred Prosecution Agreements (DPA) atau model kepatuhan yang lebih ketat dapat menjadi solusi yang lebih efektif daripada sekadar menjatuhkan sanksi finansial tambahan yang tidak selalu menyelesaikan akar masalah.
Namun, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, terutama dalam cakupan yurisdiksi yang dianalisis. Regulasi hukum pidana ekonomi yang berbeda di setiap negara dapat mempengaruhi efektivitas implementasi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain itu, penelitian ini belum membahas secara mendalam bagaimana kebijakan publik dapat berperan dalam membentuk sistem hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan kejahatan korporasi di era globalisasi.
Ke depan, Penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih sistematis dalam mengembangkan regulasi yang dapat mengakomodasi prinsip keadilan hukum bagi badan usaha dan individu yang mengelolanya. Reformasi hukum pidana ekonomi yang lebih jelas akan memberikan kepastian hukum yang lebih baik, mencegah korporasi menghindari tanggung jawab pidana melalui celah hukum, serta memastikan bahwa praktik bisnis berjalan secara etis dan bertanggung jawab.

*
Penulis adalah praktisi hukum
BERITA TERKAIT: