Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Belajar Di Dalam Kontainer, Siswanya Duduk Di Lantai

Nengok Sekolah Kalangan Tak Mampu Di Depok

Minggu, 04 November 2012, 08:50 WIB
Belajar Di Dalam Kontainer, Siswanya Duduk Di Lantai
ilustrasi, siswa sekolah depok
rmol news logo Di Depok, Jawa Barat ada sekolah unik. Siswanya belajar di kontainer peti kemas. Tidak memungut bayaran.

Suara tawa anak perempuan terdengar dari dalam kontainer. Beberapa anak perempuan tam­pak tengah bercanda. “Kami se­dang istirahat. Masuk lagi jam tiga,” kata Fatiya.

Siswi kelas 1 paket C yang se­ta­ra SMA ini memilih mengisi wak­­tu istirahat dengan membaca buku. Ia duduk di atas lantai kon­tainer yang sudah dilapisi keramik.

Di dalam kontainer berukuran 7x4 meter ini pula Fatiya dan te­man-temannya belajar. Tak ada meja dan bangku untuk duduk siswa, seperti yang biasa ditemui di ruang kelas sekolah.

Peralatan belajar yang ada di sini hanya papan tulis putih (white board) untuk guru me­ne­rang­­kan pelajaran. Papan tulis di­sangkutkan di dinding kon­tai­ner. Siswa-siswa duduk di lantai.

Dinding kontainer juga dipa­sang jendela untuk ventilasi uda­ra. Dari jendela ini pula cahaya matahari masuk menerangi kelas.

Sekolah Masyarakat Terminal (Master) Depok memanfaatkan kon­tainer bekas untuk dipakai jadi ruang kelas. Sebelum dipa­kai, kontainer ini dipermak dulu. Lantainya dilapisi keramik. Din­dingnya dicat.

Sesuai namanya, sekolah ini me­mang terletak di kawasan Terminal Terpadu Kota Depok, Jalan Arief Rahman Hakim no­mor 25. Tak jauh dari pintu keluar terminal. Di lahan seluas 6 ribu meter ini ter­dapat 12 kontainer yang dipakai untuk ruang kelas, guru maupun laboratorium.

Memasuki area sekolah terda­pat gerbang selebar empat meter. Di gerbang ini dipasang plang ber­tuliskan, “Pusat Kegiatan Be­lajar Masyarakat (PKBM) Bina Insan Mandiri.” Juga dica­n­tumkan sekolah ini memberikan pendidikan gratis.

Kontainer-kontainer diletakkan mengelilingi lapangan futsal. Di sebelah kiri terdapat dua kon­tai­ner yang ditumpuk menjadi rua­ngan berlantai dua. Dinding luar kontainer dicat warna hijau. Kon­tainer ini dijadikan ruang guru. Guru-guru terlihat rapat di kon­tainer bawah.

Di sini juga terdapat empat kon­tainer yang dindingnya dicat putih. Kontainer-kontainer itu juga ditumpuk dua. Beberapa pekerja tampak mengelas dinding kontainer. Rencananya, ruang dalam kontainer bakal dipakai untuk ruang kelas.

Di depan kontainer yang te­ngah dipersiapkan untuk jadi ke­las terdapat dua kontainer ber­warna hijau yang juga ditumpuk. Kontainer bawah dipakai untuk ruang kelas. Sedangkan yang atas untuk laboratorium komputer. Di laboratorium ini terdapat tiga perangkat komputer.

Menengok ke belakang terlihat besi batangan yang dibentuk men­jadi rangka bangunan ber­lantai dua. Sejumlah pekerja ter­lihat mengelas untuk me­nyam­bung batangan besi.

Nur Rohim, pendiri Sekolah Mas­ter memanfaatkan kontainer untuk ruang kelas agar bisa cepat dipakai. Bila membangun ruang kelas dari tembok butuh waktu enam bulan sampai bisa dipakai. Sementara untuk mempermak kontainer jadi ruang kelas hanya butuh waktu kurang sebulan.

Menurut pengusaha warung Tegal (warteg) itu, kontainer-kon­tainer  ini merupakan ba­nt­uan dari PT Aneka Tambang (Antam). Se­mentara bangunan berlantai dua belakang yang ma­sih ber­ben­tuk kerangka besi di belakang me­rupakan bantuan Bank Mandiri.

Walaupun belajar  di kelas dari kontainer bekas, siswa sekolah ini memiliki cita-cita yang tinggi. Fatiya misalnya. Anak sopir ang­kot ini berharap lulus dengan nilai tinggi sehingga bisa diterima di perguruan tinggi negeri. “Moga-mo­ga bisa masuk UI dengan gra­tis pula, agar tidak menyulitkan orangtua,” kata siswi berusia 15 tahun ini.

Sekolah Master tak menarik bia­ya bagi siswa-siswi yang me­nim­ba ilmu di sini. Ini sangat mem­­bantu warga tak mampu untuk bisa memperoleh pendidikan.

Nur Rohim mengatakan siswa yang belajar di lembaga pen­di­di­kan ini mulai dari tingkatan TK sampai SMA. “Mereka yang se­ko­lah di sini tidak dipungut biaya sepeserpun. Malahan kami mem­berikan buku-buku sekolah buat mereka,” katanya.

Ini diakui Fatiya.  “Buku pela­jaran gratis. Begitu juga ujian ti­dak ditarik bayaran sepeserpun,” kata siswi yang tinggal di Beji, Depok ini.

Fatiya dan teman-temannya yang duduk di kelas 1 Paket C belajar dari pukul 1 siang sampai 5 sore. “Istirahat sekali saat Sha­lat Ashar,” katanya.

Setiap hari siswa hanya belajar dua mata pelajaran. Pelajarannya sama seperti siswa SMA. Namun siswa di sini diberi pelajaran tam­ba­han kewirausahaan seperti kom­puter, perbengkelan dan per­tanian. “Jadi, kami bisa bekerja setelah jam sekolah selesai,” kata Fatiya yang mengenakan jilbab ini.

Biayai Operasional Sekolah Dari Untung Usaha Warteg

Tenaga pengajar di Sekolah Master berjumlah 130 orang. Sembilan puluh orang guru tetap. Sisanya guru magang.

Nur Rohim, pendiri sekolah ini mengatakan, guru tetap hanya mendapat honor Rp 20 ribu setiap kali datang untuk mengajar. Honor ini sebagai pengganti uang transpor semata.

“Para guru tidak ada yang kom­plain dengan honor. Karena me­re­ka datang ke sini tujuannya un­tuk mengabdi dan bukan mencari penghasilan,” kata Nur Rohim.

Lantaran sekolah ini tidak me­mungut bayaran dari siswanya, semua biaya operasional ditang­gung Nur Rohim. Ia menyebut dana operasional sekolah ini men­capai Rp 170 juta sebulan.

Dari mana dananya? Nur Ro­him mengaku memiliki sejumlah usaha. Mulai dari warung Tegal (warteg), bengkel las, percetakan, tempat cuci kendaraan hingga pe­ternakan. Keuntungan dari usaha dipakainya untuk membiayai sekolah ini.

Bila usahanya sedang sepi, tak jarang Nur Rohim mengutang un­tuk membiayai sekolah ini. “Pa­ling lama tiga bulan setelah itu utang kami bayar. Tidak sampai menunggak berbulan-bulan,” katanya.

Sejumlah pihak juga mem­ban­tu sekolah ini. Biasanya bantuan dalam bentuk alat tulis dan buku-buku. Enam kontainer yang di­pakai jadi ruang kelas merupakan bantuan PT Antam.

Nur Rohim tak terlalu berharap bisa menerima bantuan dana ope­rasional sekolah (BOS) dari pe­merintah.

“Itu bukan masalah be­sar. Yang penting pemerintah tidak meng­halangi pendirian sekolah ini saja saya sudah sangat bersyukur,” katanya.

Dimulai Dari Emperan Masjid

Nur Rohim mendirikan Seko­lah Masyarakat Terminal (Mas­ter) lantaran prihatin melihat banyak anak jalanan yang tidak mendapat pendidikan.

Pada tahun 2000, pria asal Tegal, Jawa Tengah ini mulai me­nyediakan pendidikan untuk anak jalanan. Awalnya di em­peran masjid Al-Muttaqien yang berada di Terminal Depok.

Pengusaha warung Tegal (warteg) ini pun mengum­pul­kan 700 anak jalanan maupun anak dari kalangan tidak mam­pu. Saat itu, anak-anak diajak ikut program pesantren kilat.

Dana untuk mengadakan pro­gram pesantren kilat itu berasal dari keuntungan empat warteg milik Nur Rohim.

Dari sini, Nur Rohim mulai mengembangkan lembaga pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan dan kalangan tak mampu di wilayah Depok.

Setelah menempati emperan masjid selama lima tahun, Nur Ro­him mulai membangun ruang kelas semi permanen di lahan yang tak jauh dari pintu keluar Terminal Depok.

Kabar mengenai sekolah gra­tis ini pun mulai menyebar di Depok. Banyak orang tak mam­pu yang berminat untuk me­nye­ko­lahkan anaknya di sini.

Nur Rohim merasa perlu me­nambah kelas untuk belajar sis­wa. Lantaran dananya terbatas, sulit membangun gedung seko­lah dari tembok. Muncullah ide mengubah kontainer untuk di­jadikan kelas. Tentu saja kon­tainer itu diubah dalamnya agar bisa dipakai.

Saat ini ada 2.500 siswa yang belajar di Sekolah Master. Mu­lai dari tingkatan TK, Paket A se­tara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA. Se­mua sis­wa berasal dari kal­a­ngan tidak mampu.  

Sekolah ini tidak mewajib­kan siswa-siswa mengenakan sera­gam saat belajar. “Yang pen­ting mereka mau sekolah saja sudah sangat bersyukur,” kata Nur Rohim.

Beberapa murid yang belajar di sekolah terlihat mengenakan seragam. Menurut pria berusia 39 tahun ini, siswa itu tempat tinggalnya. Untuk ke sini mesti naik angkot. “Bila pakai sera­gam sekolah naik angkot cuma bayar setengah dari penumpang biasa,” katanya.

Sekolah ini juga me­m­be­bas­kan siswanya memilih waktu belajar. “Bisa memilih pagi, siang dan malam hari. Tergan­tung waktu kosong siswanya,” kata Nur Rohim.

Di sekolah ini siswa mem­pe­lajari beberapa mata pelajaran yang masuk dalam ujian na­sional. Yakni  Matematika, Ba­ha­sa Indone­sia, Bahasa Inggris, IPA dan IPS.

Sekolah ini juga membekali siswa dengan pelajaran kew­i­ra­u­sahaan seperti perbengkelan, pertanian dan komputer. “Jadi mereka bisa belajar sambil me­ngasah keterampilan,” kata Nur Rohim.

Lulusannya Dapat Beasiswa Kuliah Di Al Azhar Mesir

Fasilitas Sekolah Master memang jauh di bawah sekolah umum. Namun banyak lulu­sannya yang diterima di per­guruan tinggi negeri maupun luar negeri.

Menurut Nur Rohim, banyak lulusan sekolah ini yang dite­rima di Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Ja­karta, Universitas Islam Negeri Jakarta dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bahkan, kata dia, ada dua siswa yang mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir  dan di Afrika Selatan.  

Tak hanya itu, siswa sekolah ini beberapa kali mengikuti perlombaan dan menyabet piala juara. Mulai dari juara olimpia­de matematika tingkat Depok sampai tingkat Jawa Barat.

Nur Rohim bangga dengan pres­tasi ini. Ia merasa lang­kah­nya membuka akses pendidikan untuk anak jalanan dan keluarga tak mampu, telah menuai hasil.

Hasilnya tidak dinikmati Nur Rohim, tapi siswa-siswinya. Pendidikan yang diperoleh bisa menjadi bekal untuk kehidupan mereka.

Mau Bangun Kampus, Gandeng Negara Qatar

Setelah membuka pendidi­kan mulai TK hingga SMA, Sekolah Masyarakat Terminal (Master) Depok berencana mem­buka perguruan tinggi.

Pendiri Sekolah Master, Nur Rohim, mengatakan yayasan akan membangun perguruan tinggi bekerja sama dengan Qa­tar Charity. “Nanti akan diberi nama Universitas Islam Depok (UID),” katanya.

Menurutnya, pihak negara Timur Tengah sudah menye­tu­jui pembangunan perguruan tinggi Islam di area sekolah ini. “Kami menyediakan tanah. Nanti bangunan fisik akan dila­kukan Qatar Charity,” katanya.

Nur Rohim menjelaskan, gedung perguruan tinggi akan dibangun di tanah yayasan se­luas 1,2 hektare tak jauh dari Ter­minal Terpadu Kota Depok.

Saat ini di lokasi tersebut su­dah telah berdiri lembaga pen­didikan tingkat SD, SMP, dan SMA yang diselenggarakan se­cara gratis bagi anak-anak tidak mampu.

“Kami ingin mereka yang mengenyam pendidikan di sini bisa melanjutkan ke perguruan tinggi,” katanya.

Dengan melanjutkan ke per­guruan tinggi, kata Nur Rohim, diharapkan siswa bisa mem­pu­nyai masa depan yang cerah. “Me­reka tentunya mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk me­ nyongsong masa depannya,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA