Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pakai Nama-nama Burung, Dikembangkan Jadi Bomber

Ngintip Pesawat Tanpa Awak Buatan Lokal

Sabtu, 13 Oktober 2012, 08:57 WIB
Pakai Nama-nama Burung, Dikembangkan Jadi Bomber
ilustrasi, pesawat tanpa awak
rmol news logo .Tenda besar berdiri megah di Apron Suma 4 Base Ops Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Lima pesawat udara nirawak (PUNA) dipajang di bawah tenda itu.

“Semua (pesawat) yang diuji di sini adalah prototipe. Semua su­dah diuji terbang, dan semua auto pilot,” kata Adrian Zulkifli, pe­rekayasa Badan Pengkajian dan Penelitian Teknologi (BPPT).

Sejak Kamis (11/10) Lanud Ha­lim Perdana Kusuma mema­jang pesawat tanpa awak. Se­mua­nya buatan BPPT. Layaknya pe­sawat tempur buatan Amerika, pe­sawat tanpa awak ini juga meng­gunakan nama burung. Tapi burung yang hidup di Indonesia. Yakni Sriti, Gagak, Alap-alap, Pelatuk dan Wulung.

Adrian mengatakan, BPPT te­lah mengembangkan berbagai tipe pesawat tanpa awak. Pesawat tipe kecil yang diberi nama Sriti dan Gelatik. Burung yang dipakai namanya untuk pesawat ini me­mang berukuran kecil. Berat pe­sawat ini hanya 10 kilogram. Na­mun mampu memantau area se­kitar hingga radius 75 kilometer.

Ada juga pesawat kategori me­nengah: Alap-alap. Beratnya 25 kilogram. Pesawat ini mampu me­mantau kondisi 140 kilometer.

BPPT juga telah merekayasa pesawat tipe besar yang diberi nama Gagak, Pelatuk, dan Wu­lung. Pesawat jenis ini mampu ter­bang tanpa pilot sejauh 73 KM selama empat jam tanpa henti.

“Kalau memakai satelit, bisa terbang lebih jauh lagi. Untuk jarak 73 kilometer menghabiskan bahan bakar sebanyak 20 liter bensin,” katanya.

Pesawat tanpa awak ini mulai dikembangkan sejak 2004. Sejauh ini, BPPT telah membuat lima pesawat tanpa awak.

Adrian menambahkan, angga­ran yang dihabiskan untuk mem­buat lima pesawat tanpa awak itu Rp 6 miliar hingga Rp 8 miliar. “Itu untuk riset, pembuatan, dan uji coba,” katanya.

Walaupun dibuat di dalam negeri, tak semua komponennya buatan lokal. Pesawat-pesawat ini menggunakan mesin Limbach buatan Jerman. Sementara ka­me­ra yang dipasangkan di pesawat ini buatan Taiwan.

Karena masih tahap pengem­ba­ngan, lanjut Adrian, pesawat tan­pa awak ini masih menge­luar­kan suara bising. Suara ini berasal dari pembuangan bahan bakar (exhaust) mesin 2 tak.

Nantinya pesawat akan meng­gunakan bahan bakar Pertamax. Untuk mengurangi suara bising, di exhaust-nya akan dipasang pe­redam. “Untuk saat ini, tingkat ke­­bisingan mencapai 90 De­sible,” katanya. Tingkat kebi­si­ngannya sama seperti suara peluit kereta atau suara kumpulan truk.

Saat ini, pesawat tanpa awak ini dirancang untuk keperluan survei dan pemotretan dari udara. Me­nurut Adrian, ke depan pesa­wat tanpa awak ini akan dikem­bangkan untuk keperluan militer. Pesawat ini bisa jadi bomber se­telah dilengkapi persenjataan se­perti bom dan rudal. “Sekarang PUNA hanya dilengkapi dengan alat pemotret saja untuk me­ngam­bil gambar dari udara,” katanya.

Untuk urusan pengembangan pe­sawat tanpa awak ini, Indo­ne­sia terbilang ketinggalan. Hampir seluruh negara ASEAN sudah me­miliki pesawat nirawak.

Singapura memiliki satu skuadron pesawat tanpa awak Heron 1 buatan Israel yang mam­pu terbang 50 jam nonstop. M­a­lay­sia sudah mampu membuat pesawat tanpa awak Aludra yang mampu terbang tiga jam nonstop bekerjasama dengan Australia.

Vietnam juga telah belajar mem­buat pesawat tanpa awak Irkut 200 dari Rusia. Sementara Thailand dan Filipina telah mem­beli pesawat tanpa awak dari Is­rael untuk keperluan pengintaian.

Akhmad Rifai, Manajer Pro­gram Kegiatan Rancang Bangun PUNA BPPT mengatakan, pesawat PUNA yang diujicoba di Halim menggunakan teknologi autonomous. Teknologi ini menggantikan sistem kendali ja­rak jauh (remote control).

Sistem autonomos membe­ri­kan perintah ke pesawat me­nge­nai titik koordinat yang harus di­tuju. Se­telah sampai di titik koor­dinat, pe­sawat ini diperintahkan lagi untuk menuju titik koordinat lain­nya.  ter­sebut, pesawat bisa dipe­rin­tah­kan ke posisi koordinat lain. Atau, disuruh kembali ke landasan.

Sistem kendali ini unggul ke­timbang sistem remote control. ”Ketika masih menggunakan re­mote control, setelah jarak 5 ki­lo­meter, pesawat sudah tidak tampak,” katanya.

Selain itu, sistem autonomous memungkinkan pemantauan ke­tinggian dan kedudukan pesa­wat pada koordinat tertentu. Ke­mu­dian, hasil pemotretan dan pe­re­ka­­man video dapat disaksikan saat itu juga (real time) di stasiun pe­ngendali di darat. “Man­faat­nya penting untuk memantau wi­layah perbatasan antarnegara,” kata Rifai.

Ia menjelaskan, PUNA Wu­lung dan Pelatuk dirancang se­ba­gai pesawat tanpa awak yang stabil agar mampu diberi ber­ba­gai muatan untuk beberapa tu­juan. Misalnya, membawa ka­me­ra untuk pemotretan atau pe­re­kaman video pada suatu area. ”Bisa juga diberi muatan flare untuk menciptakan hujan bua­tan,” katanya.

Flare berbobot 2 kilogram se­tara dengan 1 ton garam (natrium klorida) yang ditebar ke awan potensial untuk menciptakan hujan buatan.

Menurut Rifai, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan kerja sama dengan Jepang untuk perekaman wilayah. Perekaman dilakukan dengan kamera cang­gih yang dipasang di pesawat Wulung. Kamera itu berharga Rp 1 miliar.

Pesawat tanpa awak yang dipamerkan di Halim disertai spesifikasinya. Wulung, pesawat tanpa awak terbesar yang dibuat BPPT sudah diujicoba. Pesawat ini berbentuk lancip berwarna pa­duan antara biru laut dan abu-abu ini dengan berat 120 kg, panjang 4,32 meter, bentang sayap 6,36 meter serta tinggi 1,32 meter.

Pesawat beroda tiga ini mampu menjangkau area sejauh 70 km dengan ketinggian 2,4 kilometer selama 4 jam. Untuk kecepatan je­lajahnya, Wulung mampu ter­bang dengan kecepatan 52 hingga 69 knot atau 96,3-127,8 km/jam.

Karena pesawat ini tidak me­miliki pilot on board, pen­er­ba­ngan dikendalikan dari Ground Control Station (GCS). Stasiun ini mampu mengendalikan pe­sawat sampai jarak 73 Kilometer. “Jika dikembangkan, dapat juga dikontrol melalui satelit,” katanya.

Badan pesawat terbuat dari serat kaca, fiber dan karbon yang membuat berat pesawat ini ri­ngan. Namun kelemahannya sua­ra­nya cukup berisik. Sama seperti pesawat Super Tucano.

Selanjutnya, pesawat Pelatuk yang bermotif loreng dengan warna putih, abu-abu dan krem. Bobotnya 120 kilogram.

Di badan pesawat terdapat logo BPPT dan Kementerian Pertaha­nan. Pesawat mampu terbang sejauh 73 kilometer dengan ke­ting­gian 2,4 kilometer dan kece­patan 96-127 kilometer/jam. Pe­sa­wat ini mempunyai kemam­puan menukik dan terbang tinggi.

Pesawat tanpa awak Gagak juga bermotif loreng dengan war­na oranye dan putih. Ukuran dan spesifikasinya sama seperti pesawatelatuk. Namun kelebihannya mampu terbang rendah dalam waktu lama.

Pesawat Alap-Alap dicat lo­reng mirip pakaian tentara. Pe­sa­wat ini mampu menjangkau jarak 140 kilometer. Pesawat untuk ke­butuhan surveilance ini mampu terbang setinggi 2,1 kilometer se­lama lima jam dengan kecepatan maksimal 101 kilometer/jam.

PUNA Sriti merupakan pesa­wat tanpa awak terkecil dengan berat hanya 8,5 kilogram dan mam­pu terbang dengan kecepa­tan 55 kilometer per jam. Pesawat warna putih ini hanya mampu ter­bang selama 1 jam dengan ke­ting­gian maksimal 914 meter.

Kepala Permesinan BPPT, Muhamad Dahsyat mengatakan, PUNA Sriti digunakan untuk surveillance, karena bisa take off dengan peluncuran dan landing di jaring. “Maka bisa dipakai untuk melengkapi peralatan di kapal KRI Angkatan Laut. Sriti ini bisa melihat ke depan sejauh 60-75 km. Jadi bisa dikatakan sebagai mata KRI,” katanya.

Selain itu, kata Dahsyat, pesa­wat ini juga bisa digunakan untuk pengamanan lokal area seperti bandara. Bisa juga dipakai untuk keperluan SAR di daerah pe­gu­nungan.

BPPT: Lebih Murah Dari Buatan Israel

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Aziz Iskandar me­nga­ta­kan lima pesawat tanpa awak yang akan dibuat ilmuwan dalam negeri diprediksi menghabiskan dana sekitar Rp 6 miliar.

Biaya pembuatannya, kata Mar­zan, lebih murah diban­ding­kan dengan harga pesawat pe­ngintai yang pernah hendak dibeli dari Israel. Harga empat pesawat tanpa awak buatan Israel 16 juta dolar AS atau lebih dari Rp 150 miliar.

Tahun depan, kata Marzan, BPPT sudah merencanakan akan membuat satu skuadron pesawat tanpa awak. Fungsinya untuk pe­ngintaian, penginderaan dari uda­ra. “Jadi menggunakan kamera, dia bisa mengambil video dari kondisi di darat dan udara dan mengirimnya secara langsung ke stasiun pengamat di darat secara real time,” katanya.

Marzan mengatakan, dari lima pesawat prototipe yang dibuat BPPT dengan menghabiskan dana Rp10 miliar hanya satu yang diuji coba terbang di Halim.

PUNA mulai dikembangkan pada abad 20 di India yang ke­mu­dian banyak dimanfaatkan untuk kepentingan militer. PUNA pun se­makin intens dikembangan seiring perkembangan doktrin pertahanan.

“BPPT mulai mengembangkan PUNA ini sejak 2004, secara in­ten­sif setelah adanya kerja sama de­ngan Badan Litbang Ke­men­han tahun 2011 lalu. Hingga saat ran­cangan bangun sesuai misi pener­bangan dikembangkan PUNA jenis Gagak, Pelatuk, dan Alap-alap,” katanya.

Menurutnya pengembangan PUNA di lingkungan TNI dapat di­man­faatkan untuk target drone, sur­veillance, rudal, intelijen, pengin­taian, SAR dan perang elektronika.

Suaranya Bising, Menteri Gusti Nggak Puas

Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta kurang puas dengan pesawat udara nir awak (PUNA) buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Tek­nologi (BPPT). Menurut dia, suaranya terlalu bising.

“Seharusnya pesawat nir awak tidak mengeluarkan suara. Bisa-bisa ditembak musuh ka­lau pesawat nir awak kita sua­ra­nya seperti itu,” katanya.

Untuk tahap awal, pesawat tan­pa awak akan digunakan un­tuk keperluan sipil seperti me­mantau wilayah di Indonesia. Na­mun dalam perkem­ba­ngan­nya pesawat tersebut bisa di­ja­dikan sebagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.

Ia berharap BPPT dan Ke­men­terian Pertahanan bisa me­la­kukan pengembangan yang lebih baik jika pesawat tanpa awak terse­but hendak dija­di­kan alutsista. “Un­tuk itu pe­sa­wat ini ha­rus canggih, dan saya yakin BPPT bisa mem­­buat­nya,” katanya.

Selain dari segi suara, Gusti juga mengkritik bahan dasar badan pesawat tersebut yang ter­buat dari serat fiber. Meski ri­ngan, namun kekuatannya kalah dibandingkan komposit kevlar yang dipakai pesawat nirawak Amerika Serikat, Predator.

Ia berharap bahan dasar pe­sawat bisa diganti dengan bahan yang lebih kuat dan tidak ter­deteksi radar. “Layaknya pe­sa­wat intai tanpa awak milik ne­ga­ra lain,” katanya.

Namun demikian, Menristek tetap bangga dengan hasil karya ini dan siap mempromosikan pe­sawat tanpa awak made in In­donesia. “Saya siap mem­pro­mo­sikan karya anak bangsa itu tahun de­pan, dan saya berharap teknol­ogi untuk pesawat intai tadi tidak menggunakan tek­nologi dari negara lain,” katanya.

Menhan Bercita-cita Bangun 1 Skuadron

MENTERI Pertahanan (Men­han) Purnomo Yusgiantoro be­rencana membangun skua­dron pesawat tanpa awak  guna pe­nga­manan daerah perbatasan.

“Kita hentikan penelitian ka­rena akan terjadi pem­beng­ka­kan biaya. Lebih baik kita lang­sung membangun satu skuadron pesawat tanpa awak,” katanya.

Menurut Purnomo, pem­bu­atan pesawat PUNA secara mas­sal ini diserahkan kepada PT Dirgantara Indonesia (DI).

Namun pesawat tanpa awak ini harus dirancang untuk memenuhi kepentingan untuk TNI Angkatan Udara (AU). Makanya untuk tahap awal, skuadron ini hanya untuk pe­ngintaian saja.

Kedepan, kata Purnomo , PUNA buatan dalam negeri ini akan digunakan untuk keper­luan tempur. Pesawat akan di­per­senjatai untuk menggantikan peran pasukan tempur di me­dan-medan tertentu.

Ia mengatakan, biaya pro­duksi pesawat tanpa awak ini ma­sih mahal. Perlu dicari harga ekonomis agar bisa memenuhi kebutuhan TNI.

Dalam situasi perang, PUNA dapat digunakan dalam misi Ka­mikaze atau bunuh diri. Se­perti yang dilakukan pesawat-pesawat Jepang saat menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai

PUNA juga dapat digunakan sebagai pesawat pengelabuh mu­suh. Pesawat ini sengaja diumpan untuk sasaran seperti yang dilakukan tentara Amerika Serikat ketika menyerang Irak. “Pesawat tanpa awak Amerika diterbangkan menjadi target senjata anti pesawat Irak. Di be­lakangnya (PUNA) ada pesawat bombing yang langsung menge­bom Irak,” katanya.

Di masa damai, lanjut Pur­nomo, PUNA dapat digunakan sebagai pesawat pembuat hujan buatan, pemetaan lokasi, dan me­ngatasi kebakaran di hutan “Kegunaan PUNA sangat ba­nyak dan dapat menjangkau dae­rah yang tidak dapat dije­lajah manusia,” katanya.

Purnomo mengatakan, Un­dang-Undang Industri Per­ta­hanan (Inhan) sangat membantu dalam pengembangan PUNA. “Dengan majunya Inhan me­lalui PUNA, kita akan mem­bantu perekonomian nasional,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA