RMOL. Selain belum ditahan, tujuh tersangka kasus Chevron juga belum digiring Kejaksaan Agung ke tahap penuntutan. Padahal, Korps Adhyaksa sudah cukup lama menangani perkara yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp 200 miliar ini. Kejagung memulai penyelidikan kasus ini
pada Oktober 2011.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman beralasan, peÂnyidik masih mengembangkan peÂnyidiÂkan terhadap para terÂsangÂka kaÂsus proyek fiktif norÂmalisasi (bioÂremediasi) bekas laÂhan eksplorasi PT Chevron PaÂsific Indonesia (CPI).
“Kami berupaya agar seÂgera bisa naik ke penuntutan, agar seÂgera ke pengadilan,†ujar bekas Kepala Kejaksaan Tinggi KeÂpuÂlauan Riau ini.
Kejaksaan Agung sudah meneÂtapkan tujuh tersangka kasus ini. Lima tersangka dari PT Chevron, yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua terÂsangka lainnya dari perusahaan kelompok kerjasama (KKS) yakÂni Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan HerÂlan (Direktur PT Sumigita Jaya). Enam tersangka sudah menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan. TerÂsangka yang belum menjalani peÂmeriksaan adalah Alexiat.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw, jajaÂrannÂya sudah mengantongi alat bukti yang cukup. “Kami tinggal melihat hasil uji laboratorium terhadap bukti-bukti yang dibawa dari kunjungan ke lokasi proyek bioremediasi,†katanya di GeÂdung Bundar.
Arnold yakin, hasil laboratoÂrium bakal mendukung bukti-bukÂÂti yang sebelumnya sudah ada, sehingga akan memperkuat proÂses penuntutan di pengaÂdilan. PeÂkan depan, menurutÂnya, hasil uji laÂboÂratorium itu akan ketahuan.
Kendati begitu, dia belum bisa memastikan kapan para tersangka kasus ini bakal ditahan. PenaÂhaÂnan para tersangka dari PT ChevÂron, Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya bergantung pertimbangan tim penyidik.
“Kita tunggu saja, sebab peÂnyidikan masih berlangsung. Kami sudah berkomitmen untuk menuntaskan perkara proyek bioremediasi ini sampai ke akarÂnya,†tandas dia.
Sejauh ini, enam tersangka baru sebatas dicegah ke luar neÂgeÂri. Satu tersangka, yakni AleÂxiat berada di Amerika Serikat dengan alasan mengurus suaÂmiÂnya yang sakit. Kasus proyek fikÂtif pemulihan lingkungan ini, berÂawal dari perjanjian antara Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Chevron. Salah satu poin perÂjanÂjian itu mengatur tentang biaya unÂtuk melakukan pemulihan lingÂkungan (cost recovery) deÂngan cara bioremediasi.
Namun, menurut Adi ToeÂgaÂrisÂman, kegiatan bioremediasi yang seharusnya dilakukan selama perjanjian berlangsung, tidak diÂlaksanakan dua perusahaan swasta yang ditunjuk Chevron, yaitu PT GPI dan PT SJ.
Padahal, anggaran untuk proÂyek bioremediasi itu sudah diÂcairÂkan BP Migas sebesar 23,361 juta Dolar Amerika Serikat. “Akibat proyek fiktif ini, negara dirugikan sekitar Rp 200 miliar,†ujarnya.
Menurut Adi, penyelidikan atas kasus proyek fiktif ini dimulai sejak Oktober 2011 berdasarkan laporan masyarakat.
PT Chevron menampik apa yang dilontarkan Kejaksaan Agung, bahwa anggaran proyek bioremediasi sebesar 270 juta Dolar AS atau Rp 2,43 triliun. “TiÂdak ada itu angka 270 juta Dolar AS. Total anggaran dari proyek bioremediasi PT Chevron adalah 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar,†kata Vice President Policy Government and Public Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yanto Sianipar.
Lantaran itu, Yanto mengaku bingung dengan angka-angka yang dikeluarkan pihak KejakÂsaan Agung dan angka kerugian negara yang diduga mencapai Rp 200 miliar.
REKA ULANG
Orang BP Migas Dan PT Chevron Diperiksa Penyidik Sebagai Saksi
Penyidik Kejagung masih mengorek keterangan para saksi kasus proyek fiktif normalisasi laÂhan bekas eksplorasi PT ChevÂron yang diduga merugikan neÂgara sekitar Rp 200 miliar. Pada Senin lalu (7/5) misalnya, penyiÂdik memeriksa dua saksi, yakni Vice President PT Chevron Yanto Sianipar dan Agung P Budiono dari BP Migas. Namun, seusai diÂperiksa, mereka tidak mau memÂbeberkan materi pemeriksaan.
Direktur Penyidikan pada JakÂsa Agung Muda Pidana Khusus Arnold Angkouw pun meÂnegasÂkan, Yanto dan Agung memang diperiksa sebagai saksi. “Iya, meÂreka diperiksa sebagai saksi,†katanya. Proyek bioremediasi beÂkas lahan eksplorasi Chevron diÂduga tidak membuahkan hasil seÂbagaimana yang ditentukan, yakÂni menormalkan kembali tanah yang terpapar radiasi minyak dan gas hasil pengeboran.
Imbasnya, dalam proyek mulÂtiyears yang dikerjakan pada taÂhun 2003 hingga 2011 itu terÂdapat indikasi korupsi.
Menurut Kejagung, negara diÂrugikan sebesar 23 juta Dolar AmeÂrika Serikat atau setara deÂngan Rp 200 miliar dari biaya proÂyek yang nilainya 270 juta DoÂlar Amerika atau berkisar Rp 2,5 triliun itu.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, penyidikan dalam kasus ini masih berjalan dan dievaluasi. Pihaknya juga masih menganalisa uji laÂboÂratorium barang bukti tanah yang dibawa tim penyidik dari loÂkasi pengeboran di Riau. “KaÂsus ChevÂron jalan terus,†katanya.
Ahli bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Edison Nababan yang memimpin uji laboratorium itu, enggan memÂbeberkan hasil analisa seÂmentara. “Jangan tanya saya, taÂnya penyiÂdik. Mana mungkin Kejaksaan Agung menetapkan terÂsangka tanÂpa ada masalah,†katanya.
Sebelumnya, pihak BP Migas merasa sudah melakukan tugas pengawasannya dalam proyek bioremediasi ini. “Selama ini, kegiatan bioremediasi Chevron justru kami anggap sebagai proÂyek percontohan,†ujar Humas BP Migas Gde Pradnyana, keÂpada Rakyat Merdeka.
Bahkan, lanjut Gde, Chevron terikat dengan regulasi ketat anti korupsi Amerika. “Chevron adaÂlah perusahaan yang terikat deÂngan undang-undang anti korupsi Amerika. Mereka tidak akan berani main-main dalam melaÂkuÂkan proses pelelangan,†ujarnya.
BP Migas, kata Gde, tidak meÂnemukan kerugian negara seperti yang disangkakan Kejagung. “Sebab, itu menggunakan daÂnaÂnya Chevron. Baru akan dibayar kembali jika tidak ada temuan audit atau pelanggaran yang meÂreka lakukan sendiri,†ujarnya.
Proses cost recovery itu, lanjut Gde, berlaku reversible. Artinya, masih harus direkonsiliasi deÂngan temuan-temuan audit dan seÂbagainya. “Sepanjang kita maÂsih berkontrak dengan Chevron, maka proses rekonsiliasi cost recovery itu bisa dilakukan kapan saja dalam masa kontrak kita dengan mereka,†katanya.
Yang Terlalu Lama Akan Masuk Angin
Alex Sato Bya, Pensiunan Jaksa Agung Muda
Pensiunan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato Bya, mengingatkan para juniorÂnya di Kejaksaan Agung agar tidak berputar-putar dalam meÂnangani kasus Chevron yang diÂduga merugikan negara sekitar Rp 200 miliar.
Jika alat buktinya sudah cukup, lanjut Alex, maka berkas para tersangka kasus Chevron mesti segera dilengkapi dan diÂnaikkan ke penuntutan.
“Sudah seharusnya dilimpahÂkan ke peÂngadilan. Kalau terÂlalu lama, akan masuk angin, berÂbahaya. Selain itu, akan menÂcoreng nama baik kejakÂsaan jika tidak segera naik ke peÂnuntutan,†ujarnya.
Alex pun mengingatkan, apaÂrat penegak hukum lain juga sedang giat mengusut sejumlah kasus korupsi di sektor perÂtamÂbangan, minyak dan gas (miÂgas). Jika Kejaksaan Agung tiÂdak cekatan, maka kasus ChevÂron bisa diambil alih penegak hukum lain.
“Kalau kasus Chevron diÂambil alih penegak hukum lain, itu artinya Kejaksaan Agung tidak mampu menanganinya,†tandas bekas Ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (Kappi) Sumatera Selatan ini.
Lantaran itu, dia mendorong agar proses penyidikan tidak berlama-lama lagi. Soalnya, membawa kasus ini segera ke peÂngadilan, berarti menunÂjukÂkan kepada masyarakat bahwa Kejaksaan Agung serius memÂbukÂtikan kerugian negara yang sampai Rp 200 miliar itu. SeÂlain itu, menunjukkan keÂseÂriusan KeÂjagung mengemÂbaliÂkan kerugian negara tersebut ke kas negara.
“Miris kalau kasus ini diÂambil alih penegak hukum lain, seperti KPK. Segeralah KÂeÂjakÂsaan Agung menaikkan kasus ini ke penuntutan,†sarannya.
Jangan Mau Diatur Tersangka
Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding mengingatÂkan Kejaksaan Agung agar jaÂngan mau diatur tersangka.
Pemeriksaan tersangka kasus Chevron Alexiat Tirtawidjaja harus dilakukan seperti terhaÂdap enam tersangka lainnya. “Sungguh saya sesalkan, kareÂna Kejagung memberikan keÂsempatan enam bulan bagi terÂsangka untuk menunda pemeÂrikÂsaan. Saya tidak terima keÂjakÂsaan diatur-atur tersangka seÂperti itu,†tegasnya.
Sikap Kejaksaan Agung yang lembek seperti itu, kata SyaÂriÂfuddin, membuat proses peÂnguÂsutan kasus ini akan meÂngÂganÂtung. “Bagaimana penyiÂdiÂkan akan berjalan baik, ketika terÂsangka mengatur jadwal pemeÂriÂksaannya? Ini suatu preseden buruk dalam penegakan huÂkum,†ujarnya.
Lantaran itu, Syarifuddin meÂminta Jaksa Agung Basrief Arief mengingatkan anak buahÂnya agar tidak melakukan komÂpromi dalam pengusutan kasus ini. “Jangan membuka ruang unÂtuk diatur-atur tersangka. KreÂdibilitas Kejaksaan Agung diÂpertanyakan karena mau diÂatur-atur tersangka,†tandasnya.
Makanya, Syarifuddin meÂnyaÂrankan Kejaksaan Agung agar memeriksa Alexiat yang kini berada di Amerika Serikat secepatnya. “Seharusnya keÂjakÂsaan menetapkan yang berÂsangÂkutan dalam DPO, keÂluarÂkan red notice supaya ada tinÂdakan konkret. Atau perlu upaÂya menghadirkan secara pakÂsa,†ucapnya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman menyampaikan, penyidik mempertimbangkan pengaturan penjadwalan pemeÂriksaan terhadap tersangka AleÂxiat Tirtawidjaja dengan alasan kemanusiaan.
“Kebetulan suaminya sedang sakit yang butuh perawatan hingga enam bulan. Dalam proÂses perawatan itu dia harus meÂnunggui suaminya,†ujarnya.
Menurut Adi, pemanggilan terhadap Alexiat sudah dilakuÂkan, namun yang bersangkutan meminta waktu pemerikÂsaanÂnya diundur. “Keterangan yang bersangkutan dilampiri keteÂraÂngan dokter yang merawat suaÂmiÂnya. Yang bersangkutan meÂnyaÂtakan siap hadir dan datang ke Indonesia untuk diperiksa. Tentunya kami menyikapi, membÂeri waktu,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: