Jakarta Masih Kekurangan 52 Stasiun Pengisian Gas

Presiden Belum Keluarkan Perpres Terkait BBM

Jumat, 10 Februari 2012, 08:57 WIB
Jakarta Masih Kekurangan 52 Stasiun Pengisian Gas
ilustrasi/ist
RMOL.Pemerintah berencana mengkonversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke gas bagi mobil. Tapi kebijakan ini sepertinya belum bisa direalisasikan sesuai target. Karena infrastruktur belum mendukung. Presiden juga masih mengkajinya.

Undang-Undang Anggaran Pen­dapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 Pasal 7 ayat 4 menye­butkan, pengendalian ang­ga­ran subsidi BBM 2012 dila­kukan melalui pengalokasian yang lebih tepat sasaran dan kebija­kan pengendalian konsum­sinya. Ren­cananya, pengaloka­sian BBM bersubsidi secara tepat sasaran dilakukan melalui pembatasan konsumsi premium untuk ken­daraan roda empat milik pribadi di Jawa-Bali per 1 April 2012.

Langkah ini diambil untuk mengantisipasi pem­bengkakan beban subsidi. Sebab, tiap kenaikan sebesar 1 dolar AS per barel Indonesia Crude Price (ICP), maka subsidi membeng­kak Rp 2 triliun. Tahun ini, pemerintah mematok konsumsi BBM bersub­sidi hanya 40 juta kiloliter.

Kementerian Energi dan Sum­ber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, secara bertahap Pemerintah akan mengalokasikan BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan roda 2, se­dangkan untuk kendaraan trans­portasi massal akan meng­gunakan Bahan bakar Gas (BBG). Peng­gunaan BBG selain ramah ling­kungan juga lebih efisien.

Sebetulnya, pemilik mobil bisa saja menggunakan BBM, namun pasca pemberlakuan pemba­tasan BBM subsidi itu harga belinya mengikuti hukum pasar. Jika harga pasar pertamax Rp 8.500 per liter, harga BBG hanya Rp 4.100 alias lebih irit 40 persen. Makanya, pemerintah secara ber­tahap menyediakan 250 ribu kon­venter kit untuk angkutan umum.

Pada tahap awal konversi dila­kukan di DKI Jakarta. Ditarget­kan pada tahun ini, untuk Jawa-Bali sudah dapat menggunakan BBG. Untuk dukungan infrstruk­tur, Pemerintah berencana me­nambah SPBG di Jakarta hingga bulan April tahun ini menjadi 19 SPBG dari yang tersedia saat ini 10 SPBG dan membangun se­banyak 110 SPBG untuk CNG di Jawa hingga akhir 2012.

Per 1 Januari 2012, data BP Mi­gas menyebutkan, cadangan gas Indonesia sekitar 104,5 triliun kaki kubik. Data itu menunjuk­kan, Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang bisa di­gu­nakan untuk kesejahteraan rak­yat. Dengan jumlah itu, diperki­rakan rakyat masih bisa menggu­nakan selama 60 tahun ke depan.

Namun, saat Undang-Undang telah berlaku dan ketersediaan gas lebih dari cukup, persiapan in­frastruktur sangat kurang. Sam­pai hari ini, di Jakarta baru ada delapan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang berope­rasi. Adapun untuk stasiun pengi­sian vi-gas (liquified gas for ve­hicle), hanya ada 10 yang berope­rasi. Sembilan stasiun lainnya belum beroperasi atau sedang proses kontrak dan dalam tahap konstruksi.

Padahal, menurut data Natio­nal Traffic Management Center, di Ibukota ada sekitar 3,4 juta unit mobil, yang terdiri dari 2.541.351, mobil beban atau truk 581.290, bus 363.710. Jumlah SPBG itu tentu saja sangat jauh mencukupi untuk melayani kebutuhan gas, sean­dainya konversi itu ter­laksana.

Memang, dalam waktu dekat ini PT Pertamina Gas (Pertagas) berencana membangun 1 SBPG Induk dan 4 SPBG Cabang. Du­kungan infrastruktur BBG di Ja­bodetabek ini akan menelan ang­garan Rp 90 miliar. Lokasi SPBG induknya di Bitung, Tange­rang, mendekat ke sumber gas. Se­mentara itu, lokasi SPBG cabang berada di Cililitan, Kali­deres, Ancol dan Jalan Perin­tis Kemer­dekaan.

Medio 2012, 1 SPBG induk dan 4 SPBG cabang untuk Ja­karta ditargetkan sudah berope­rasi semua. Sekalipun begitu, penam­bahan SPBG itu masih jauh dari ideal. Sebab, jika perhi­tungan ideal, satu SPBG itu mela­yani 3.700 unit kendaraan, maka 3,5 juta mobil harusnya dilayani 900-an SPBG. Selama ini, di Jakarta dilayani 720 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Sementara pemerintah menar­get­kan, tahun ini akan dibangun 54 SPBG compressing natural gas (CNG), dan 108 SPBG LGV di Jawa dan Bali.  SPBG CNG ter­banyak ber­lokasi di Jakarta, dengan rin­cian 6 unit stasiun induk dan 29 unit stasiun cabang.

Sedangkan untuk SPBG LGV, paling banyak akan dibangun di Jawa Timur sebanyak 32 unit. Di Jawa Tengah, akan dibangun 25 unit, DKI Jakarta 16 unit, Jawa Barat 15 unit, Banten 11 unit, Dae­rah Istimewa Yogyakarta 4 unit dan Bali 5 unit. Pemba­ngu­nan ini akan dilakukan secara ber­tahap. Pembangunan dalam jumlah banyak mulai dilakukan Sep­tember mendatang.

Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan, Presiden SBY be­lum meneken Peraturan Presiden soal BBM karena masih meng­kaji dan me­lakukan evaluasi. “Kan ada dina­mikanya juga. Ti­dak mung­kin satunya dimasu­kin dan mere­ka ke­mudian menga­takan belum siap. Tentu­nya kita menunggu saja du­lu,” kata Dipo di Jakarta, Rabu (8/2).

Menurut Dipo, Kementerian ESDMl masih mempertim­bang­kan dina­mika pembatasan peng­gunaan BBM. Dinamika yang dimak­sudkan antara lain kesiapan pemerintah melakukan konversi bahan bakar minyak ke gas.

Ia menjamin, meski direvisi ulang, isi rancangan peraturan itu tak akan jauh berbeda. Peme­rintah tetap menjalankan program konversi bahan bakar dari minyak ke gas. Adapun kenaikan harga BBM juga tidak termasuk dalam usulan pemerintah.

Perlu Waktu Tiga Bulan

Muhammad Harun, Jubir Pertamina

Pertamina sebagai pelak­sana kebijakan pembatasan ba­han bakar minyak yang diren­canakan dimulai April menda­tang meyakini punya pasokan gas mencukupi untuk konversi. Namun, hal itu mesti diiringi penambahan  jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas baru.

Paling tidak diperlukan wak­tu 3 bulan untuk memper­siap­kan kon­versi minyak ke gas. Periode itu di­butuhkan un­tuk membangun in­fras­truktur pen­dukung yakni stasiun pengisian bahan bakar gas.

Untuk wilayah Jakarta, saja masih diperlukan setidaknya 60 SPBG agar bisa melayani seluruh kenda­raan di ibu kota. Saat ini de­ngan pelayanan untuk Trans Ja­karta, gas yang dipasok sebanyak 3 juta kaki kubik yang dilayani 6 SPBG.

Nah kalau kita perkirakan sekitar 40 ribu angkutan umum saja di Ja­karta, taksi, bus, dan angkutan umum menggunakan bahan bakar gas, itu diperlukan sampai 30 juta kaki kubik gas. Artinya, stasiun pengisian bahan bakar gas yang harus disiapkan jumlahnya juga sepuluh kali lipat dari sekarang.

Persiapan Harus Matang

Ahmad Rilyadi, Anggota Komisi VII DPR

DPR mendukung kebijakan pe­merintah mengkonversi BBM ke BBG sebagai bagian dari pembatasan subsidi bahan ba­kar minyak. Namun persiapannya harus matang.

Saat ini persiapan masih setengah matang. Pemerintah harus bergegas membangun berbagai persiapan, termasuk infrastruktur.

Pembangunan stasiun pengi­sian bahan bakar gas di Jakarta, harus cukup sehingga warga yang nantinya memilih meng­kon­versi ke BBG tidak kesuli­tan mencari bahan bakar untuk ken­daraannya. Intinya peme­rintah bisa meyakinkan warga bahwa pilihan beralih bahan bakar adalah pilihan tepat.

Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, sebaiknya peme­rintah mempertimbangkan lagi pemba­tasan BBM. Penundaan kebija­kan itu lebih baik, diban­ding harus menaikkan harga BBM.

Diungkapkannya, minggu depan DPR akan melaksanakan rapat lanjutan dengan pemerin­tah. Saat itu rapat itu DPR akan me­nanyakan tentang kesiapan me­laksanakan pembatasan BBM bersubsidi itu.

Naikkan Premium Saja

Kurtubi, Pengamat Energi

Menaikkan harga BBM un­tuk jangka pendek lebih realis­tis dibandingkan melakukan konversi gas, karena bila pin­dah ke gas memerlukan pem­bangunan infrastruktur BBG yang memakan waktu sekitar 2 tahun.

Membangun infrastruktur BBG, memakan waku setidak­nya dua tahun. Dimulai dengan membangun receiving terminal yang sekarang berjalan di Tan­jung Priok, Semarang dan Be­lawan, selanjutnya bisa mem­bangun di luar Jawa seperti di Ampenan, Manado dan Pontia­nak. Dari situ, gas dialirkan lewat pipa ke pangkalan kenda­raan umum, bukan ke stasiun pengisian BBG (SPBBG).

Untuk membangun infras­truk­tur BBG dibutuhkan dana yang besar karena satu recei­ving terminal membutuhkan 300 juta dolar namun biaya itu harus dilihat sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi karena dapat menciptakan lapangan pekerjaan. SPBBG itu diba­ngun bila angkutan umum su­dah ada yang pindah ke BBG, jadi yang dibutuhkan adalah sambungan dari receiving ter­minal ke pangkalan taksi atau transja­karta sehingga tidak menggang­gu kelancaran jalan, bukan melakukan pembangu­nan BBG lebih dulu.

Bagi kendaraan pribadi ber­pelat hitam yang tidak perlu dipaksakan untuk pindah ke BBG sehingga BBM jenis pre­mium tidak perlu dihapus. Yang tidak mau menggunakan gas silakan menggunakan pre­mium, premium tidak boleh diha­pus karena premium kita memiliki  oktan 88 yang setara dengan bensin biasa di Ame­rika Serikat.

Dengan demikian Lebih baik naikkan harga premium sebesar Rp 1.500, sehingga harga hanya naik 33 persen, dibandingkan bila rakyat dipaksa pindah dari premium ke pertamax, artinya harga naik 100 persen. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA