Sebelum berganti nama menÂjadi Syamsu Rizal, jalan ini berÂnama Jalan Serang. Letaknya tak jauh dari Jalan Taman Suropati.
Tak banyak yang tahu bahwa ada peristiwa sejarah yang terjadi di rumah itu. Dulu, rumah ini diÂtempati Mayor Jenderal S ParÂman, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Empat puluh enam tahun lalu, Parman diculik oleh gerombolan tentara yang terlibat dalam GeraÂkan 30 September 1965 dari rumah ini.
Ia akhirnya dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Mayatnya dimasukkan ke dalam sumur tua bersama beberapa jenderal AngÂkatan Darat dan seorang perwira pertama yang ikut diculik geÂrakan itu.
Mereka yang jadi korban geraÂkan ini akhirnya ditetapkan seÂbaÂgai Pahlawan Revolusi. Pangkat mereka pun dinaikkan setingkat lebih tinggi. Pangkat Parman menÂjadi Letnan Jenderal Anumerta.
Kemarin, Rakyat Merdeka meÂngunjungi rumah yang dulu diÂtemÂpati S Parman. Pagar dan gerÂbang rumah bernomor 32 terbiÂlang bergaya lama. Pagar dan gerÂbangnya dicat dengan perpaduan warna putih dan biru muda.
Lurus dari gerbang difungsikan sebÂagai ruang garasi. Salah satu daun pintunya tampak terbuka. Terlihat sebuah mobil sedan berÂwarna biru muda dengan plat miÂlik TNI AL terparkir di dalamnya.
Di sisi kiri bagian depan baÂnguÂnan, difungsikan sebagai taÂman dan kolam ikan. Berbagai taÂnaman hias tertata dan terawat deÂngan baik di halaman berukuran sedang ini. Meski pekarangannya tak terlalu besar tapi kondisinya cukup asri. Suara gemericik air yang terdengar dari kolam memÂberi sensasi yang menenangkan.
Suasananya memang terlihat sepi ketika mengunjungi tempat ini. Satu gerbang sebagai akses masuk ke pekarangan rumah juga terkunci rapat. Tak terlihat tanda-tanda aktivitas yang cukup berarti di tempat ini.
Rakyat Merdeka pun kemudian mengetuk gerbang untuk menarik perhatian penghuninya. Tak lama berselang, dari dalam garasi keÂluar seorang pria. Dari raut waÂjahnya dia kelihatan sangat muda.
Pria ini kemudian mengaku seÂbagai penjaga rumah. Ketika diÂsinggung apakah benar rumah ini milik Mayjen S Parman? Dia haÂnya terdiam sambil menunjukkan raut muka bingung.
“Ini rumah Mayjen Abdul HaÂkim, bukan rumah Mayjen S ParÂman. Beliau purnawirawan jenÂdeÂral angkatan laut. Bapak sudah beÂlasan tahun tinggal di sini,†ujarnya.
Dia kemudian meminta meÂnunggu sekitar setengah jam unÂtuk dipertemukan dengan sang maÂjikan. “Kalau mau nunggu seÂbentar ya mas, soalnya bapak maÂsih tidur. Setengah jam lagi sudah bangun, nanti saya pangÂgilkan,†ujarnya.
Setengah jam kemudian, RakÂyat Merdeka dipanggil pria ini unÂtuk memasuki pekarangan ruÂmah. Seorang pria berusia lanjut dengan mengenakan sarung kemudian terlihat menunggu di teras rumah.
Dia kemudian memberikan jabat tangan yang hangat sembari mempersilahkan duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu model lawas.
Abdul Hakim menegaskan, rumah ini bukan milik keluarga S Parman. Sudah berganti keÂpemilikan pada 1992. “Rumah ini saya beli dari putra S Parman, Letjen Suyono, orang Angkatan Darat,†katanya.
“Ketika saya beli pangkat beÂliau masih Letkol (Letnan KoÂlonel). Kalau mau nanya-nanya mengenai S Parman, mending cari beliau di Angkatan Darat, karena beliau putranya,†ujarnya.
Setelah membeli rumah ini, Abdul Hakim membongkar baÂngunan bekas tempat tinggal Mayjen S Parman. Bangunan lama dirubuhkan.
“Jadi bangunan lama dibongÂkar habis, ini bangunan baru. Jadi saya mau cerita apa soal baÂnguÂnan yang lama. Prosesnya kan haÂrus ada izin, setelah dapat izin baru saya izinkan. Ketika itu proÂses perizinannya nggak lama kok,†ujarnya.
Menurut dia, rumah Mayjen S Parman yang dibelinya bukan berÂstatus cagar budaya yang tak boleh diutak-atik.
“Dulu pas beli tidak ada status bangunan cagar budaya. Setahu saya rumah di Menteng ada tiga jenis yakni A, B, dan C,†ujarnya.
Ia lalu menjelaskan satu per satu tiga jenis bangunan itu. GoÂlongan A tidak boleh dibongkar. Golongan B hanya bisa diperÂbaiki tapi hanya bagian dalam bangunan saja. Bagian luar bangunan tidak boleh diutak-atik untuk menjaga keasliannya.
Terakhir, Golongan C yang boÂleh dibongkar dan diganti dengan bangunan baru. “Status rumah ini yang C,†terang Abdul Hakim.
Tapi, dalam situs Pemerintah DKI Jakarta, rumah ini termasuk kategori cagar budaya dengan Golongan B. Dalam situs itu juga diÂsebutkan bahwa rumah ini diÂbangun sekitar tahun 1930-1940 bersamaan dengan pengemÂbaÂngan wilayah Menteng dan GonÂdangdia oleh Pemerintah Belanda.
Awalnya, rumah ini diperunÂtukÂkan bagi pejabat maskapai swasta Belanda maupun Eropa. Pada tahun 1950-an dikelola DiÂnas Perumahan Tentara. BeÂlaÂkaÂngan, ditempati Mayjen S Parman.
Abdul Hakim tak ingat berapa harga rumah ini ketika memÂbelinya dari keluarga S Parman. “Saya lupa berapa dulu harÂgaÂnya. Anda tahu kan harga rumah dan tanah di sekitar Menteng berapa. Yang pasti mahal kan,†katanya.
IMB Tak Keluar, Lahan Bekas Rumah Soeprapto Jadi Taman
Udara terasa begitu sejuk keÂtika menginjakkan kaki di peÂkarangan sebuah rumah di Jalan Besuki, Menteng, Jakarta Pusat. Maklum saja berbagai jenis pohon tumbuh merata di setiap bagian rumah.
Daunnya yang rindang meÂnuÂtupi hampir setiap bagian peÂkaÂrangan rumah ini. Sehingga, suaÂsana sejuk begitu terasa ketika berada di tempat ini.
Pohon-pohon yang tumbuh cuÂkup mudah untuk dikenali. Pohon palem dan pohon mangga tampak tumbuh merata di sepanjang paÂgar rumah ini. Dari ketinggiannya usia pohon-pohon tersebut seÂpertinya sudah tua.
Sebagai akses masuk diseÂdiaÂkan dua gerbang besi. Namun, gerÂbang setinggi dua meter bercat putih itu tampak tertutup rapat. Dari luar tak banyak yang bisa dilihat. Hanya genteng berwarna coklat yang menjulang.
Di sinilah dulu letak rumah MaÂyor Jenderal Soeprapto, DeÂputi II Menteri Panglima AngÂkatan Darat. Ia termasuk jenderal yang diculik dari rumahnya oleh Gerakan 30 September empat puÂluh enam tahun silam. Ia meÂninggal di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Tak sulit untuk menemukan Jalan Besuki. Posisinya tak jauh dari Taman Suropati. Cukup berjalan kaki sejauh 20 meter kita akan menemukan plang penanda Jalan Besuki.
Dalam catatan Rakyat MerÂdeka, Mayjen Soeprapto meÂnemÂpati rumah bernomor 19 di Jalan Besuki. Menyusuri jalan ini, kami tak menemukan nomor itu.
Kami lalu berhenti di depan di rumah yang memiliki pekarangan cukup asri tersebut. Sebuah poÂhon mangga besar dibalik pagar membuat suasana sedikit adem. Rumah itu bernomor 17.
Mengintip dari celah di antara gerbang rumah, terlihat beberapa pria terlihat sedang berkumpul di tempat ini. Seorang sedang ngaso di teras, dua lainnya sedang mencuci mobil.
Rakyat Merdeka pun mengetuk gerbang. Mendengar suara ketuÂkan di gerbang, pria yang sedang membersihkan Kijang Innova menghentikan aktivitas. Ia lalu menghampiri gerbang. Pria ini kemudian membuka kaitan besi di bagian tengah gerbang.
Ketika ditanya di mana posisi rumah bernomor 19, pria yang mengÂgunakan kaos singlet putih ini sedikit bingung. “Rumah noÂmor 17 dan 19 memang berada di sini. Rumah Letjen Suprapto dulunya kalau nggak salah di sini juga. Posisinya di sebelah sana, tapi sekarang sudah nggak ada lagi,†ujarnya.
Salah satu rekannya yang seÂdang mencuci mobil di bagian daÂlam juga ikut menghentikan aktiÂvitasnya. Pria itu kemudian mengÂhampiri dan mengantikan teÂmannya memberikan penjelasan.
Pria ini yang tak mau disebutÂkan namanya ini menuturkan, ruÂmah bernomor 19 kepunyaan Letjen Soeprapto sudah dibeli majikannya sekitar lima tahun lalu. “Memang benar dulu ruÂmah Letjen Suprapto ada di sini, poÂsisinya di sebelah sana. Persis di samping rumah ini posisi rumah itu,†ujarnya sembari menunjuk ke arah halaman yang lumayan luas.
Sangat disayangkan bangunan bersejarah itu tak bisa lagi dilihat. Rumah itu kini sudah dirubuhÂkan. “Sebelum dibeli sama bos saya memang sudah nggak ada bangunannya,†ujarnya.
Ia mendengar cerita dari peÂtugas keamanan di situ, rumah Soeprapto dibeli seorang keturuÂnan Tionghoa sepuluh tahun lalu. Setelah dibeli, semua bangunan rumah dirubuhkan. Pemilik baru hendak mendirikan bangunan baru di sini.
Pemerintah DKI Jakarta pun melayangkan teguran karena teÂlah merubuhkan bangunan berÂseÂjarah. Teguran ini diiringi dengan tidak dikeluarkannya surat izin mendirikan bangunan (IMB).
“Saya nggak ngerti, orang yang perÂÂtama kali beli tahu nggak baÂnguÂÂnan ini cagar budaya atau nggak. Karena nggak dapat izin dari Pemda, akhirnya tanahnya dibiarin kosong bertahun-tahun,†ujarnya.
Setelah lima tahun dibiarkan terÂbengkalai, akhirnya tanah beÂkas rumah Letjen Soeprapto diÂjual kepada majikannya. Kini laÂhan kosong bekas rumah Letjen Soeprapto dijadikan sebagai taman.
“Pokoknya ketika dirubuhkan ngga ada sangkut pautnya sama bos saya. Pas dibeli memang seÂngaja nggak mau dibangun lagi, dijadikan taman aja sekarang,†ucapnya.
Ketika gerbang dibuka, terlihat seÂbanyak empat buah mobil terÂparkir di tempat ini. Dua mobil diÂparkir di depan gerbang. Dua lainnya berada di bagian dalam atau depannya. Namun, lahan koÂsong bekas rumah Letjen SoepÂrapto tak terlihat.
Penasaran, Rakyat Merdeka keÂmudian mencoba mengintip taÂman yang dimaksud dari gerbang yang satunya. Namun, tak banyak yang bisa dilihat. Pandangan terÂhalangi sebuah mobil yang diÂparkir persis di balik gerbang ini.
Rumah Letjen Soeprapto terÂdafÂtar sebagai bangunan yang dilindungi Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Bangunan tersebut tercatat seÂbagai salah satu dari 129 banguÂnan cagar budaya yang harus diÂjaga keberadaannya. Namun, apa mau dinyana rumah itu kini tingÂgal kenangan saja. [rm]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.