Salah satu masalah paling menonjol adalah perluasan kewenangan penangkapan lebih dari satu hari dalam “keadaan tertentu.” Frasa yang tidak tegas ini membuka celah subjektivitas aparat dan berpotensi mereduksi prinsip
due process of law. Di saat negara modern semakin memperketat kontrol terhadap tindakan paksa, Indonesia malah melonggarkan rambu-rambunya.
Ketentuan penyamaran dan pembelian terselubung di tahap penyelidikan juga menciptakan persoalan fundamental. Praktik undercover sebelum unsur pidana terbentuk dapat mendorong entrapment?"penjebakan yang secara moral dan legal tidak dapat dibenarkan. Pendekatan seperti ini dapat menghasilkan perkara-perkara “artificial,” bukan mengungkap kejahatan nyata yang merugikan masyarakat.
Di sisi lain, pengakuan terhadap bukti elektronik dan tindakan penegakan hukum berbasis digital adalah langkah yang tak terelakkan di era teknologi. Tetapi absennya mekanisme kontrol yudisial yang kuat menjadikan kewenangan itu rawan disalahgunakan, terlebih dalam perkara-perkara politis atau berprofil tinggi.
Ironisnya, RKUHAP 2025 melemahkan peran pengawasan hakim. Hilangnya konsep Hakim Komisaris?"yang seharusnya menjadi penjaga konstitusional proses pidana?"menandai kemunduran dalam sistem checks and balances. Akibatnya, sengketa praperadilan berpotensi meningkat dan masyarakat semakin bergantung pada litigasi untuk menegakkan hak-haknya.
Restorative justice, meskipun diagungkan dalam naskah akademik, masih ditempatkan sebatas instrumen penghentian perkara. Padahal esensi sesungguhnya jauh lebih luas: pemulihan korban, pertanggungjawaban pelaku, dan perbaikan sosial. Selama pemahaman ini belum berubah, RJ hanya akan menjadi jargon tanpa substansi.
RKUHAP 2025 adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi langkah maju jika dijalankan dengan pengawasan ketat dan kemauan politik untuk menghormati hak asasi manusia. Namun tanpa kesadaran kritis dari publik dan komunitas hukum, ia berpotensi menjadi alat pembenaran tindakan koersif negara.
Di sinilah tanggung jawab moral kita bersama. Masyarakat harus melek hukum, insan hukum harus bersuara, dan lembaga negara harus diawasi. Kita tidak boleh membiarkan pembaruan hukum yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi senjata untuk menekan.
Indonesia membutuhkan KUHAP baru--tetapi yang sejalan dengan demokrasi, bukan yang menggerusnya.
Kenny Wiston
Advokat & Managing Partner Kenny Wiston Law Offices
BERITA TERKAIT: