Menolak Rupiah Bisa Dipidana: Ilusi Legalitas di Balik “Cashless Only”

Selasa, 23 Desember 2025, 19:55 WIB
Menolak Rupiah Bisa Dipidana: Ilusi Legalitas di Balik “Cashless Only”
Ilustrasi pembayaran cashless. (Foto: RMOL)
FENOMENA “cashless only” kini bukan lagi pengecualian, melainkan kebiasaan baru. Gerai ritel, toko modern, kafe, area parkir, hingga jalan tol secara terang-terangan menolak uang tunai dan memaksa masyarakat membayar dengan QRIS, kartu, atau e-money.

Dalihnya klasik: efisiensi, kecepatan, digitalisasi, dan transparansi. Namun di balik semua itu, tersembunyi persoalan mendasar: praktik ini bertentangan dengan undang-undang dan berpotensi pidana.

Ini bukan perdebatan soal selera pembayaran. Ini soal kepatuhan terhadap hukum dan penghormatan terhadap Rupiah sebagai simbol kedaulatan negara.

Rupiah Bukan Sekadar Nilai, tetapi Bentuk yang Dilindungi UU

Argumen paling sering digunakan pelaku usaha adalah: “cashless tetap menggunakan Rupiah, jadi legal.” Argumen ini keliru secara hukum.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tidak hanya berbicara soal nilai Rupiah, tetapi juga penyerahannya. Pasal 23 ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran.

Artinya, ketika seseorang menyerahkan uang Rupiah fisik (tunai), maka pihak yang menerima pembayaran wajib menerimanya.

Cashless memang bernilai Rupiah, tetapi cashless bukan Rupiah fisik. QRIS, e-money, dan kartu adalah instrumen sistem pembayaran, bukan mata uang itu sendiri. Undang-undang tidak pernah memberi hak kepada siapa pun untuk menolak uang Rupiah fisik hanya karena tersedia instrumen digital.

Menyamakan cashless dengan Rupiah fisik adalah penafsiran sepihak yang, jika dibenarkan, justru mengosongkan makna Pasal 23 UU Mata Uang.

Cashless Boleh, Menolak Cash Tidak

Hukum Indonesia tidak anti digitalisasi. Bank Indonesia bahkan aktif mendorong non-tunai. Namun dorongan kebijakan tidak pernah menghapus kewajiban hukum.

Prinsipnya sederhana: "Cashless adalah pilihan kebijakan, cash adalah hak hukum warga".

Memberi diskon untuk QRIS sah. Menyediakan pembayaran non-tunai sah. Namun memaksa non-tunai dan menolak tunai adalah pelanggaran hukum.

Penolakan Tunai adalah Tindak Pidana

Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang mengatur sanksi yang tidak ringan: pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda hingga Rp200 juta bagi setiap orang yang menolak menerima Rupiah.

Ini bukan sanksi administratif. Ini pidana murni. Deliknya bersifat formil—cukup terbukti ada penolakan, tanpa perlu dibuktikan adanya kerugian. Dalih “SOP”, “sistem”, atau “perintah atasan” bukan alasan pembenar dalam hukum pidana.

Efek jera dari norma ini penting agar penolakan Rupiah tidak dinormalisasi sebagai praktik bisnis biasa.

Parkir dan Tol: Ketika Efisiensi Mengalahkan Hak Warga

Persoalan menjadi lebih serius ketika parkir dan jalan tol dibuat 100% cashless tanpa satu pun gerbang atau counter tunai. Alasannya selalu sama: mempercepat arus dan mengurangi kebocoran. Namun harus ditegaskan: itu alasan manajerial, bukan dasar hukum.

Tol dan parkir bukan sekadar bisnis privat, melainkan bagian dari layanan publik dan hak mobilitas warga. Dalam prinsip pelayanan publik, sistem tidak boleh memaksa satu metode yang tidak dapat diakses semua orang.

Secara hukum dan kepatutan, harus tersedia minimal satu gerbang atau counter yang melayani pembayaran tunai. Tidak semua jalur harus tunai, tetapi akses tunai tidak boleh dihilangkan sepenuhnya.

Menutup seluruh akses tunai berarti memaksa warga masuk ke sistem tertentu—dan itu bertentangan dengan asas inklusivitas, keadilan, dan UU Mata Uang.

Mengapa Ini Terus Terjadi?

Karena pelanggaran ini: jarang dipersoalkan, dianggap “sudah biasa”, dan penegakan UU Mata Uang lemah.

Inilah contoh pelanggaran hukum yang dinormalisasi oleh kebiasaan, sampai publik lupa bahwa yang dilanggar adalah undang-undang.

Hak Warga dan Sikap yang Dapat Ditempuh

Masyarakat perlu memahami bahwa membayar dengan uang tunai Rupiah bukan sikap kuno, melainkan hak hukum. Jika menghadapi penolakan tunai, warga berhak:

menyampaikan keberatan secara santun, meminta penanggung jawab, mendokumentasikan kejadian, melaporkan ke Bank Indonesia, bahkan menempuh jalur hukum jika diperlukan.

Penutup

Digitalisasi adalah keniscayaan, tetapi negara hukum tidak boleh dikalahkan oleh mesin kasir, palang parkir, atau gerbang tol. Jika uang Rupiah saja bisa ditolak tanpa konsekuensi, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar metode pembayaran, melainkan wibawa hukum dan kedaulatan negara.

"QR code boleh berkembang, teknologi boleh maju, tetapi undang-undang tetap harus berdiri paling tinggi". rmol news logo article

Kenny Wiston
Advokat
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA