Ini cerita tentang patronase politik yang menjebak teknokrat.
Selama dua dekade terakhir, ruang sidang tindak pidana korupsi dipenuhi figur dengan latar belakang yang sama: teknokrat lulusan kampus terbaik, terutama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Mereka datang bukan sebagai politisi, melainkan sebagai ahli. Namun banyak yang pulang sebagai terdakwa—bahkan terpidana.
Masalahnya bukan kecerdasan. Masalahnya jalur masuk kekuasaan.
Daftar Nama, Sektor Rente, dan Pola yang BerulangBerikut daftar alumni ITB yang tercatat pernah terseret proses pidana (tersangka/terdakwa/terpidana) berdasarkan pemberitaan dan proses hukum. Daftar ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membaca pola struktural.
Migas, Pertambangan, dan SDARudi Rubiandini-Kepala SKK Migas (divonis suap/korupsi).
Ridwan Djamaluddin-Dirjen Minerba ESDM (terdakwa perkara RKAB/tambang Mandiodo).
Sugeng Mujiyanto-Kepala Badan Geologi (terdakwa Mandiodo).
Bambang Gatot Ariyono-Dirjen Minerba ESDM (pernah diperiksa KPK; risiko jabatan rente tinggi).
Telekomunikasi & Proyek DigitalAnang Achmad Latif-Dirut BAKTI Kominfo (divonis korupsi BTS 4G dan TPPU).
Yusrizki Muliawan-pengurus alumni ITB/swasta (divonis perkara BTS 4G).
Ibrahim Arief-konsultan teknologi Kemendikbudristek (tersangka pengadaan Chromebook).
Kementerian & FiskalJero Wacik-Menteri ESDM/Menbudpar (divonis pemerasan dan gratifikasi).
Isa Rachmatarwata-Dirjen Anggaran Kemenkeu (status penyidikan terkait Jiwasraya).
Akademisi & TeknokratProf. Made Astawa R.-Guru Besar ITB (pernah tersangka penelitian fiktif; kasus lama).
Daftar ini belum lengkap. Namun ia cukup untuk membuktikan satu benang merah: hampir semuanya berada di simpul kewenangan berisiko tinggi—sektor rente dengan diskresi besar dan tekanan politik kuat.
Bukan Negara, Melainkan PatronaseMengatakan “ini salah negara” adalah penyederhanaan yang keliru. Negara menyediakan struktur. Patronase menentukan siapa yang mengisi struktur itu.
Banyak teknokrat ITB masuk jabatan strategis bukan lewat meritokrasi murni, melainkan kompromi koalisi, rekomendasi patron politik, atau kebutuhan “penyeimbang teknis” bagi agenda kekuasaan.
Sejak hari pertama, mereka bukan profesional independen, melainkan bagian dari arsitektur loyalitas. Di titik inilah bahaya dimulai.
Teknokrat sebagai Tameng, Patron sebagai BayanganDalam banyak perkara, pola yang muncul serupa. Teknokrat menjadi penandatangan dan penjelas teknis, patron politik menjadi penentu arah.
Ketika kebijakan bermasalah, yang dipanggil aparat adalah teknokratnya. Patron berjarak aman, bahkan kerap tidak tersentuh. Teknokrat dikorbankan sendirian.
Inilah sebabnya banyak perkara tampak “teknis”, padahal akar masalahnya politis.
Regulator Sekaligus Operator: Pintu Masuk PidanaHampir semua kasus besar melibatkan peran ganda: perencana kebijakan sekaligus pengendali proyek. Dalam hukum, ini konflik kepentingan struktural. Dalam praktik, ini undangan terbuka bagi pidana.
Dalih percepatan dan kepakaran sering digunakan. Di pengadilan, dalih itu gugur. Hukum hanya menilai batas kewenangan.
IA ITB Harus Hadir: Dari Etalase Prestasi ke Pengawal KekuasaanDi sinilah Ikatan Alumni ITB (IA ITB) tidak boleh lagi sekadar menjadi etalase kebanggaan. IA ITB harus hadir di fase paling berbahaya bagi alumninya: saat memegang kekuasaan.
Tiga Peran Mendesak IA ITB
1. Pendampingan Alumni yang Menjabat
IA ITB perlu membentuk Unit Etik & Tata Kelola Kekuasaan, pemetaan risiko patronase, early warning konflik kepentingan, pendapat etik-hukum non-politis.
Ini bukan intervensi, melainkan perlindungan intelektual.
2. Advokasi Saat Alumni Terseret Kasus
Pendampingan bukan pembelaan buta, tetapi memastikan due process of law, membedakan kesalahan kebijakan dari kesalahan pidana, mencegah teknokrat dijadikan kambing hitam tunggal.
3. Kode Etik Kekuasaan Alumni
IA ITB harus berani menetapkan larangan peran regulator–operator, transparansi relasi politik, kewajiban cooling down.
Tanpa pagar etik ini, ITB akan terus melahirkan orang pintar yang rentan dijebak politik.
Jangan Biarkan Alumni Jadi Perisai Patronase
Masalah ini bukan soal kampus. Bukan pula semata soal negara.
Ini soal politik yang menggunakan kecerdasan teknokrat sebagai perisai, lalu melepaskannya saat perkara meledak.
Jika IA ITB terus absen, sejarah akan mencatat: alumni ITB bukan hanya korban patronase—tetapi membiarkannya.
Sudah waktunya IA ITB hadir sebelum jabatan diterima, mendampingi saat badai datang, dan menjaga marwah setelahnya.
Jika tidak, siklus ini akan berulang: teknokrat naik lewat patronase, jatuh lewat hukum, dan dilupakan oleh jejaringnya sendiri.
Kenny WistonPraktisi Hukum
BERITA TERKAIT: