Trump digambarkan sebagai presiden yang arogan, egois, narsis bahkan memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Bagi Trump, semua kebijakan yang ia keluarkan semata untuk kepentingan AS lewat slogan Make America Great Again (MAGA).
Kepribadian Trump yang narsis ini pula yang membuat ia dengan percaya diri mempatenkan slogan MAGA sebagai merek jasa untuk keperluan politik. MAGA oleh masyarakat global dinilai melahirkan hirarki sosial, seolah masyarakat global sangat membutuhkan AS disemua bidang seperti ekonomi, perdagangan, bahkan pertahanan dan keamanan.
Di bidang pertahanan dan keamanan Trump selalu sesumbar akan menciptakan suatu hal yang buruk jika keinginannya tidak terwujud. Pernyataan bernada ancaman tersebut ia lontarkan saat Iran tidak mau menghentikan pengayaan uranium, ia sampaikan pula kepada Afghanistan saat negara tersebut tidak mau menyerahkan pangkalan udara Bagram.
Bagi Trump, Iran dapat merusak keamanan di Timur Tengah, sementara Afghanistan dinilai tidak tahu diri karena tidak mau menyerahkan pangakalan udara tersebut kepada pihak yang telah membangunnya yaitu AS. Bagaimanpun Trump telah melanggar batasan dalam menghormati kedaulatan negara, dan justru disinilah AS dibawah kepemimpian Trump seperti menjadi negara magnet konflik yang terus menarik negara lain untuk saring bersiteru, terkadang tanpa penyebab yang tidak jelas.
Masih berbicara di timur Tengah, AS sangat percaya diri bisa menguasai wilayah Palestina lewat bantuan sekutu dekatnya Israel. AS bahkan telah memveto resolusi PBB untuk menekan Israel pada 18 September silam, pada akhirnya tidak ada gencatan senjata, kendati Palestina sudah hampir dibatas akhir menanggung kekerasan panjang dari Israel yang berlangsung sejak tahun 1967.
Pasca mengeluarkan veto, tidak lama kemudian Trump menawarkan gencatan senjata versi AS, seperti prediksi, pujian dari banyak negara diarahkan ke Trump. Trump sesumbar lagi mengklaim bahwa ia adalah negosiator ulung yang dapat menyelesaikan banyak konflik.
Trump dengan segala keistimewaannya sebagai presiden dapat membentuk politik global semakin kompleks. Hampir setiap hari headline utama dari raksasa berita dunia memuat berita tentang Trump, ia menjadi selebritis global berkat self confident melebihi peran para aktor utama.
Sementara di belahan dunia lain, masyarakat global melalui Gerakan Global Sumud Flotilla (GSF) berusaha membuka blokade Israel untuk memberikan bantuan kebutuhan dasar manusia. Terdapat 50 kapal dan lebih dari 500 aktivis dari 44 negara melakukan perjalanan laut semua dilakukan atas dasar kemanusiaan untuk memperjuangkan keamanan manusia bagi masyarakat Palestina.
Salah satu aktivis iklim, Greta Thunberg turut serta di dalamnya, membuat GSF semakin mendapatkan dukungan luar biasa secara global. Pada dasarnya, gerakan aksi damai Greta selalu mendapat dukungan masyarakat, terutama dari para remaja yang jengah dengan perilaku (orang tua) pemimpin yang dinilai menciptakan nilai moral yang rusak namun dianggap benar hanya karena mereka orang tua (pemimpin).
Greta merasa wajib membela kemerdekaan palestina, kemerdekaan palestina baginya seiring dengan cita citanya untuk menyelamatkan lingkungan. Greta lantang menyampaikan bahwa tidak menyatakan posisi dalam kejahatan yang dilakukan Israel di wilayah Palestina berarti mendukung genosida. Greta sudah berkali kali diamankan oleh pihak kemanan dari berbagai negara karena menggelar aksi damai tentang lingkungan dan dukungannya kepada palestina, misalnya Belgia, Belanda, Denmark dan Jerman.
Atensi global terhadap Greta ternyata menyita perhatian Trump, terutama keikutsertaanya dalam pelayaran Medleen dan GSF pada Juni dan Oktober 2025. Trump sepertinya tidak suka sorotan kamera berubah haluan ke Greta, terutama semenjak Greta melakukan pelayaran menuju palestina. Sikap Trump yang condong mendukung kekerasan Israel membuat ia menyatakan penyataan agresif dan seksis.
Menurut Trump, Greta adalah perempuan gila yang tidak konsisten dengan perjuangannya, harusnya ia fokus menjadi aktivis lingkungan saja. Trump bahkan menyatakan, Greta memiliki masalah manajemen emosi, pembuat onar dan gila. Lontaran sinis dan terkesana menghina diucapkan oleh presiden AS berumur 79 tahun kepada aktivis 22 tahun tepat setelah Greta dideportasi oleh Israel.
Greta sepertinya memiliki manajemen emosi yang baik, dari perjalanannya menuju Palestina hingga ditangkap oleh Israel, sekalipun ia tidak pernah menuliskan atau menyampaikan perlakuan buruk yang diterimanya dari israel. Berulangkali yang ia sampaikan poin utama perjalannnya bukanlah menceritakan perlakuan Israel secara personal namun usaha untuk menembus blokade.
Di sisi lain, rekan aktivis yang menyampaikan kepada media perlakuan Israel kepada Greta. Perlakuan seperti menarik rambut, memukul dan dipaksa mencium bendera Israel sengaja dilakukan karena Greta memiliki pengaruh yang luar biasa secara global dibandung aktivis lainnya.
Greta hanya merespon ucapan Trump alih alih mempersoalkan perilaku Israel kepadanya. Greta lugas menyatakan di Instagram miliknya bahwa ia berterimakasih pada Trump telah peduli terhadap kesehatan mentalnya dan sepertinya ia dan Trump memiliki masalah yang sama mengenai masalah manajemen emosi mengingat track record Trump yang sering meledak dan meledek siapapun tanpa menyesuaikan pada situasi dan kondisi.
Greta sepertinya tidak perlu menjadi presiden AS untuk mewujdukan gencatan senjata, hanya perlu menjadi perempuan yang berkarakter untuk memimpin pergerakan mereformasi nilai dan moral yang sudah usang namun dianggap benar oleh para orang tua (pemimpin). Greta Thunberg sepertinya juga tidak perlu menjadi Presiden AS untuk menjadi actor utama, hanya cukup menjadi manusia yang berpihak pada keadilan dan kesetaraan.
*Penulis adalah peneliti dan pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeritas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
BERITA TERKAIT: