Ia ditembak polisi dalam sebuah insiden yang hingga kini masih diselimuti kabut alasan “tak jelas”. Bagi Prabowo, kehilangan itu bukan semata kehilangan seorang ajudan, tetapi kehilangan seorang anak didik yang ia tempa sejak remaja, seorang anak kampung dari Minahasa yang sudah ia anggap keluarga sendiri.
Prabowo kala itu hanya bisa menuturkan duka: “Saya kehilangan seorang ajudan terbaik saya. Ia ditembak tanpa alasan yang jelas.”
Kisah Fernando membuka mata tentang kenyataan getir: betapa sulitnya mencari keadilan ketika seseorang tidak berada dalam lingkar kuasa. Hingga hari ini, publik tidak benar-benar tahu apa yang terjadi pada pelaku penembakan. Apakah dihukum? Apakah dipecat? Ataukah kasusnya menguap begitu saja?
Suasana kebatinan kala itu di sekitar Prabowo penuh dengan rasa getir ada kemarahan, ada kehilangan, dan ada perasaan tidak berdaya. Itulah potret kecil bagaimana hukum sering kali terasa jauh bagi rakyat biasa yang tak punya akses kepada kekuatan politik.
Kini, Prabowo berdiri di posisi yang berbeda. Dari oposisi yang kerap merasakan kerasnya politik tanpa kuasa, ia kini menjelma sebagai presiden dengan otoritas penuh, termasuk atas institusi kepolisian.
Maka, ketika ia menyuarakan agenda reformasi Polri, publik menangkapnya bukan sekadar sebagai janji politik, melainkan sebagai refleksi pribadi yang berakar pada luka lama.
Pertanyaannya: akankah pengalaman kehilangan Fernando Wowor menjadi titik balik moral bagi Prabowo untuk membangun kepolisian yang lebih adil dan berwibawa?
Reformasi Polri tidak pernah sederhana. Lembaga ini adalah salah satu pilar utama penegakan hukum, namun sekaligus institusi yang kerap berada dalam pusaran kontroversi: mulai dari kekerasan aparat di lapangan, diskriminasi dalam penanganan kasus hukum, hingga kedekatan berlebihan dengan elite politik dan bisnis.
Rakyat sudah terlalu lama mendengar jargon, tetapi yang mereka butuhkan adalah perubahan nyata kepolisian yang kembali ke roh dasarnya: melindungi dan mengayomi masyarakat.
Inilah momen sejarah yang tak bisa dielakkan. Prabowo, dengan luka personal yang ia alami, berada di posisi unik untuk mendorong perubahan. Ia pernah merasakan getirnya ketika berada di luar lingkaran kuasa; ia tahu bagaimana rasanya ketika keadilan seakan jauh dan sunyi.
Apa yang menimpa Fernando hanyalah satu fragmen. Di luar sana, ada ribuan rakyat kecil yang mengalami nasib serupa: korban salah tangkap, korban kekerasan aparat, atau sekadar rakyat biasa yang kasusnya tak pernah menemukan jalan keadilan karena tak ada yang membela.
Jika Prabowo mampu mengubah luka pribadi menjadi energi moral, maka reformasi Polri dapat berjalan dengan pijakan yang kuat: bukan sekadar agenda politik, melainkan panggilan sejarah.
Ia bisa memastikan bahwa hukum berdiri bukan untuk segelintir orang, melainkan untuk semua: ajudan, petani, pedagang, mahasiswa, atau pejabat sekalipun.
Lebih dari sekadar restrukturisasi kelembagaan, reformasi Polri yang ideal menuntut perubahan budaya: dari mentalitas aparat, pola kepemimpinan, hingga mekanisme akuntabilitas yang benar-benar transparan.
Perlu keberanian politik untuk menyingkirkan praktik impunitas yang selama ini membayangi, sekaligus membangun sistem yang menjamin polisi tidak lagi menjadi “tuan” di hadapan rakyat, melainkan benar-benar pelayan masyarakat.
Dan di titik inilah nama Fernando Wowor menemukan makna sejarah. Ia bukan sekadar ajudan yang gugur dalam peristiwa tragis, melainkan simbol dari kebutuhan akan perubahan besar dalam tubuh kepolisian.
Jika reformasi Polri benar-benar diwujudkan, maka luka pribadi Prabowo akan menjelma menjadi warisan nasional: warisan bahwa keadilan tidak boleh lagi ditentukan oleh siapa yang berkuasa, tetapi harus hadir untuk semua yang membutuhkan.
Sejarah bangsa selalu mencari
turning point. Bagi Prabowo, mungkin inilah saatnya. Dari seorang pemimpin yang pernah merasakan getirnya ketidakadilan, kini ia memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa siapa pun, di mana pun, akan merasakan perlindungan dan keadilan yang sama di hadapan hukum.
Jika itu terjadi, maka nama Fernando Wowor akan hidup bukan hanya dalam kenangan pribadi, melainkan dalam narasi besar reformasi kepolisian di Indonesia.
Fernando Wowor adalah cermin rakyat kecil: reformasi Polri tidak boleh ditunda.
*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik
BERITA TERKAIT: