Berkurban, Bahasa Refleksi Pemimpin

Oleh: Rini Sudarmanti

Sabtu, 07 Juni 2025, 11:41 WIB
Berkurban, Bahasa Refleksi Pemimpin
HARI RAYA Iduladha diperingati setiap tahunnya dengan suka cita oleh para umat Muslim, ditandai dengan gema takbir bersahutan selama 3 hari tasyrik. 

Menariknya, hari raya yang juga seringkali disebut Hari Raya Kurban atau  Lebaran Haji ini bukan sekedar perayaan menjalankan ibadah penyembelihan hewan kurban, tetapi juga merupakan simbol kepemimpinan transformatif Nabi Ibrahim AS. 

Keteladanan dalam konsep “kurban” mengingatkan kembali pada konsep kepemimpinan manusia sebagai khalifah di muka bumi.  

Berkurban bukan hanya pelaksanaan ritual keagamaan yang rutin untuk ditaati dan diikuti oleh umatnya. Akan tetapi dibalik itu, kurban sejatinya adalah bentuk tindakan dan ekspresi yang melatih jiwa manusia untuk menjadi seorang pemimpin sejati.  

Esensi kepemimpinan bukan pada popularitas tetapi pada bagaimana dalam setiap keputusannya ia mampu menekankan pada kemaslahatan kolektif, bukan pencitraan atau kekuasaan semata. 

Iduladha memberikan refleksi selayaknya seorang pimpinan melakukan tindakan “memberi” bukan hanya “meminta”. Tindakan kepemimpinan itu hanya dapat dilakukan dengan kerendahan hati, kepatuhan pada keteraturan, dan tanggung jawab sosial yang dilakukan sepenuh hati. 

Kurban adalah Bentuk Kepemimpinan

Dalam sejarahnya, berkurban dicontohkan Nabi Ibrahim AS dimana ia harus mengambil keputusan berat sebagaimana diperintahkan Allah SWT untuk merelakan putranya tercinta, Nabi Ismail AS. 

Keputusan ini tentunya amatlah berat. Suatu keputusan yang dilakukan dengan kesadaran penuh, karena ikhlas menerima perintah meskipun membutuhkan pengorbanan besar yaitu anak yang disayanginya. Bukan tak sayang pada putranya, tetapi putusan itu tentunya hanya dapat dilakukan karena kerendahan dan ketundukkan hati dengan pikirannya yang mutlak kepada Allah SWT.  

Keputusan ini pun menguji kepemimpinannya sebagai seorang ayah, seorang kepala keluarga. Keputusan ini pun menguji bagaimana istri dan juga anaknya meyakini kepemimpinan yang ditularkan ayahnya sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah SWT. 

Kepasrahan pada Allah SWT, penguasa tertinggi mengarahkannya untuk bertanggung jawab dengan Ikhlas. Maka ketika Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS melewati ujian kepasrahan, seketika itu juga Allah SWT mengganti kepasrahannya itu dengan hewan kurban yang kemudian dapat dinikmati bersama dengan yang lainnya.  

Di sini kita dapat mengambil hikmah, seorang pemimpin bukan mereka yang seringkali memberikan perintah tetapi juga memberi dan melayani orang lain. 

Di saat banyak pemimpin yang kemudian terjebak pada proses kepemimpinan transaksional - dimana hanya memberi bila ada imbalan, momen Iduladha mengetuk hati dan pikiran bahwa sikap kepemimpinan tidak dapat didasarkan pada hawa nafsu kebendaan duniawi, kekuasaan ataupun keinginan pribadi.  

Iduladha mengajarkan bahwa menjadi seorang pemimpin adalah juga meyakini dan mengakui keberadaan sang Khalik - sang Maha Memimpin. Keyakinan ini membuat manusia para pemimpin perlu mawas diri bahwa tindakannya adalah tanggung jawab dan akan diperhitungkan pertanggungjawabannya. Maka memimpinlah dengan baik dan berikan kemanfaatan terbaik dengan juga melayani orang lain bukan melayani diri sendiri. 

Pemimpin yang baik adalah dia yang berfokus pada orientasi sosial. Pemimpin bukan yang meminta dilayani tetapi dia yang terdepan dapat memberikan layanan untuk kesejahteraan orang lain.  

Seorang pemimpin tentunya diharapkan dapat menahan ego pribadi atau kenyamanan sendiri, bukan sibuk mengambil atau menuntut hak. Akan tetapi ia juga sigap siap memberi untuk kemaslahatan yang lebih baik bagi orang lain dan masyarakat luas.

Keikhlasan yang dilakukan Nabi Ibrahim AS ini memberikan contoh kepemimpinan. Berkurban merupakan penggambaran komitmen bahwa tidak ada yang lebih utama dari rasa keteguhan hati yang mendalam. Penerimaan pada nilai-nilai ketuhanan memenuhi relung-relung kehidupan sehari-hari yang berorientasi sosial.

Kurban adalah bahagia

Berkurban menjadi lambang jiwa yang mengedepankan kepedulian sosial. Konsep Ikhlas-mengikhlaskan mengandung makna manusia itu perlu membebaskan diri dari perangkap kesenangan duniawi. Ketika manusia mampu keluar dari belenggu gemerlap dunia, akan menimbulkan rasa lega yang  menenangkan. 

Manusia yang berhasil karena mampu melawan dan mengendalikan ego sendiri, bahkan meredam yang paling disukainya di dunia itu untuk  menjalankan perintah Allah SWT. Tidak hanya itu, konsep pengikhlasan di sini juga menunjukkan tindakan nyata mengonkretkan pembebasan diri sehingga memberikan manfaat bagi sesama bukan hanya untuk diri sendiri. 

Berkurban di sini menanamkan nilai penting tentang makna hidup yang tinggi. Niat ketulusan membebaskan diri dari paksaan, dari rasa egois yang mementingkan kenyamanan diri sendiri. Manusia diajarkan untuk berjiwa prososial, berpikir untuk simpati maupun empati dan siap berkorban memberikan kemanfaatan bagi sesama manusia. 

Berbagi merupakan support system kesejahteraan masyarakat yang bukan hanya memberikan dukungan kebutuhan pada sesama manusia, tetapi juga mendorong manusia untuk menemukan bahagianya. Berbagi mengingatkan selalu bahwa manusia  yang baik adalah manusia yang paling memberikan kemanfaatan terbaiknya. 

Ketika melihat orang lain merasakan manfaat, dari apa yang diusahakan, tentunya melihat penerimaan tersenyum merupakan kebahagiaan yang sulit dilukiskan dan karenanya kemudian batin menjadi tenang.

Kurban Pengungkapan Cinta

Manusia yang terbiasa dengan semangat berkurban tentunya akan menjadi tumbuh berkembang menjadi masyarakat yang tangguh, mengerti untuk berempati, dan menghindari perbedaan dengan mengedepankan  ruang-ruang inklusif di masyarakat. Manusia yang seperti ini memahami makna kepemimpinan dan tidak akan lalai untuk  merangkul dan melayani sesamanya.

Dengan demikian, berkurban bukan hanya ritual, melainkan pelatihan kepemimpinan spiritual dan sosial. Ia menanamkan nilai-nilai keikhlasan, kesabaran, kebahagiaan dalam memberi, serta kepedulian yang mendalam terhadap sesama. Sebuah tindakan yang merefleksikan jiwa besar - harapan yang muncul dari dalam diri jiwa seorang pemimpin. 

Berkurban membutuhkan keyakinan hati untuk berani tegas menghadapi tantangan untuk mengambil keputusan pada kondisi yang sulit. Keputusan ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu memimpin hatinya. Tindakan diambil dan dilakukan dengan meyakini bahwa yang diputuskannya adalah melalui kepasrahan. Berkurban merupakan jalan upaya menuju bahagia memadukan dimensi spiritual, moral dan sosial dalam satu perilaku kepasrahan yang tinggi.  

Momen Iduladha mengajarkan kita semua merefleksi nilai kepemimpinan ini dalam setiap level kehidupan. Mulailah dari memimpin diri sendiri sebelum memimpin orang lain. Belajar menjadi pemimpin yang berani meng”kurban”kan kepentingan-kepentingan yang kurang bermanfaat dan banyak bersifat pribadi daripada tindakan sosial. Kurban merujuk pada simbol penyembelihan sikap yang buruk seperti ego, arogansi dan kepentingan sendiri.

Kurban adalah kerelaan untuk meninggalkan sifat dzalim. Sudah saatnya para pemimpin sebagai manusia terpilih belajar meng-kurban keinginan sendiri, meng-kurbankan lebih banyak waktu sendiri dan merelakan sebagian untuk mengeksplorasi kebutuhan orang lain, daripada berkurban untuk meraih jabatan dan popularitas semata demi merasa benar.

Akhirnya, berkurban adalah jalan pulang ke dalam diri. Sebuah proses meningkatkan ketaqwaan, melatih legowo, membebaskan hati dari ketidaktenangan,  berdamai dengan hati, dan mengisinya dengan rasa syukur dan cinta kasih. Dan di sanalah kebahagiaan manusia menemukan tempatnya. Wallahu’alam. rmol news logo article

Penulis adalah Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi Univ Paramadina, yang juga Ketua Aspikom Korwil Jabodetabek


EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA