Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Korupsi Sistemik di Indonesia

Oleh: Tomi Subhan*

Kamis, 13 Maret 2025, 21:47 WIB
Korupsi Sistemik di Indonesia
Ilustrasi Gambar/ICW
KORUPSI di Indonesia bukan sekadar masalah individu yang berperilaku buruk, melainkan telah menjadi sebuah sistem yang menjebak banyak pihak, termasuk pejabat, pengusaha, dan masyarakat umum. 
Selamat Berpuasa

Ibarat jaring laba-laba yang besar, semakin kita berusaha untuk bergerak, semakin kita terperangkap. Terdapat banyak kasus besar yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah, meskipun ada data terbaru yang menunjukkan perbaikan dalam pandangan terhadap korupsi, perilaku justru semakin memburuk. Lantas, mengapa Indonesia masih terjebak dalam sistem ini? 

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia memperoleh skor 37 dari 100, mengalami peningkatan dari skor 34 pada tahun 2023. Peringkat Indonesia juga menunjukkan perbaikan, dari posisi 115 menjadi 99 di antara 180 negara. Hal ini mencerminkan adanya kemajuan dalam pandangan global terhadap Indonesia terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. 

Sebaliknya, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2024, yang menilai sikap dan perilaku masyarakat terhadap korupsi, mengalami penurunan menjadi 3,85 dari 3,92 pada tahun 2023. Meskipun penurunan ini tidak signifikan, hal ini mengindikasikan bahwa meskipun secara umum terdapat perbaikan dalam pandangan, masyarakat di lapangan cenderung lebih menerima atau terpaksa terlibat dalam praktik korupsi. Terdapat perbedaan antara pandangan para ahli dan pengalaman yang dirasakan oleh masyarakat. 

Mega Korupsi 

Skandal korupsi berskala besar di Indonesia, seperti kasus Pertamina yang merugikan negara hingga diperkirakan Rp 1 kuadriliun (awalnya dilaporkan Rp 193,7 triliun) dan kasus Timah dengan kerugian Rp300 triliun akibat pertambangan ilegal, mengungkap sistem yang telah bobrok. 

Angka-angka fantastis tersebut mewakili dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial, seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit. 

Korupsi merajalela, tak terbatas pada elite pemerintahan. Tahun 2023 mencatat 187 kasus di sektor desa, menjadikannya sektor paling rentan terhadap tindak pidana korupsi. Jawa Timur, dengan 64 kasus pada tahun yang sama, merupakan provinsi dengan angka korupsi tertinggi di tingkat regional. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi terjadi di semua lapisan masyarakat, dari tingkat pemerintahan desa hingga korporasi besar. Keberadaan korupsi yang merajalela di Indonesia bukan semata karena rendahnya moral individu, melainkan juga karena sistem yang mendukung praktik tersebut. 

Beberapa faktor kunci penyebabnya antara lain, pertama, pelemahan kelembagaan dan hukum yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Revisi Undang-Undang tahun 2019 telah mengurangi kemandirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dulunya menjadi simbol harapan. Lebih lanjut, regulasi anti-korupsi yang ada saat ini dinilai belum efektif dalam memberantas korupsi modern termasuk di sektor swasta, meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) sejak tahun 2003. 

Kedua, Komitmen politik dalam pemberantasan korupsi terlihat jelas dari fokus kepemimpinan yang lebih tertuju pada perebutan kekuasaan ketimbang penegakan hukum. Pidana yang rendah bagi koruptor besar dan upaya pelemahan KPK menjadi bukti nyata keseriusan dalam memberantas korupsi masih belum optimal. 

Ketiga, Rendahnya gaji pegawai negeri sipil, diiringi kompleksitas prosedur birokrasi, menciptakan kerentanan terhadap praktik suap dan gratifikasi. Sistem yang demikian memaksa pegawai untuk mencari penghasilan tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup, sehingga menjerumuskan mereka ke dalam tindakan koruptif. 

Keempat, Praktik korupsi yang merajalela, mulai dari pungutan liar penerbitan SIM hingga praktik kolusi dalam proyek-proyek besar, telah menciptakan budaya impunitas. Ringannya hukuman dan lemahnya penegakan hukum semakin memperkuat persepsi bahwa korupsi merupakan tindakan yang berisiko rendah namun menguntungkan. 

Sebagaimana ungkapan Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB, korupsi ibarat penyakit menular yang secara perlahan namun pasti meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. 

Di Indonesia, dampak buruk korupsi telah merambat ke seluruh sistem pemerintahan. Korupsi merupakan kejahatan yang tak hanya merampas keuangan negara, tetapi juga menghancurkan masa depan bangsa. 

Defisit anggaran akibat korupsi mengakibatkan pembangunan infrastruktur terhambat, kualitas pendidikan dan layanan kesehatan menurun drastis, dan semakin memperparah kesenjangan sosial, terutama bagi masyarakat rentan. Lebih dari itu, korupsi menggerogoti sendi-sendi demokrasi dengan mengukuhkan kekuasaan elite yang korup. 

Untuk mengakhiri siklus permasalahan ini, Indonesia memerlukan strategi yang lebih komprehensif daripada sekadar penindakan hukum dan imbauan moral. 

Penguatan lembaga anti-korupsi, khususnya KPK menuju kemandirian penuh dan optimalisasi peran BPKP dalam pengawasan anggaran publik, merupakan langkah penting. Hal ini perlu diiringi pembaruan regulasi anti-korupsi yang komprehensif, mencakup sektor swasta dan percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset.

Transparansi dan digitalisasi pengadaan barang dan jasa, serta keterbukaan data publik, akan memperkuat pengawasan masyarakat. Terakhir, peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, khususnya di level bawah, disertai penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, diharapkan mampu mengatasi akar permasalahan ekonomi yang memicu tindakan koruptif. 

Pengembangan budaya integritas dapat terwujud melalui pendidikan antikorupsi sejak usia dini, perlindungan bagi pelapor, serta peran aktif media dan masyarakat sipil dalam mengubah persepsi yang keliru bahwa korupsi merupakan hal yang tak terhindarkan. 

Membangun Indonesia yang bersih bukanlah sekadar sebuah impian, melainkan memerlukan keberanian untuk merombak sistem yang telah usang. Upaya untuk memutuskan rantai korupsi dapat dilakukan, pertanyaannya adalah kapan kita akan memulainya? rmol news logo article

*Penulis adalah Aparatur Sipil Negara

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA