Ada yang ingat 21 tahun silam ketika Perdana Menteri Australia Jhon Howard berkunjung Ke Indonesia pada tanggal 7-9 Februari 2002, muncul reaksi pro dan kontra terhadapnya. MPR/DPR melalui Amien Rais menolak menerima kedatangannya, berbagai elemen mahasiswa, masyarakat berdemontrasi di istana negara maupun juga di kedutaan besar Australia, demikian pula Mahasiswa UGM menolak menerimanya hingga akhirnya aksi bentrokan yang menyebabkan Wakapolres Sleman berdarah.
Penolakan terhadap Perdana Menteri Australia disebabkan oleh sikap Australia atas konflik di Papua. Sejak saat itu Indonesia mulai merintis untuk membentengi diri dengan sebuh agreement antara Indonesia dan Australia bidang Pertahanan. namun demikian perjanjian pertahanan tersebut tidak mampu membungkam Australia dalam menyikapi berbagai persoalan di Papua. Beberapa laporan dari lembaga-lembaga NGO maupun pihak gereja telah melaporkan bahwa di Papua sedang terjadi pemusnaan etnik secara perlahan-lahan (
slow motion genocide), atau Partai Hijau Australia tetap juga menyuarakan sikap kritisnya atas Papua.
Demikian pula Selandia baru baik pemerintah maupun berbagai NGO dan gereja senantiasa bersuara atas jeritan kemanusiaan yang diderita di Papua Barat. Pada saat ini juga disaat Pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional OPM pimpinan Egianus Kogoya Australia dan Selandia Baru belum menunjukkan respons, bahkan terlihat semacam melihat dan menguji apakah Indonesia mampu membebaskan tawanan OPM tersebut.
Seringkali Indonessia cenderung reaktif (parno) melihat Australia sebab Australia selalu gencar menyuarakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi bahkan telah mendorong bebagai elemen di Timor Timur untuk melepaskan diri dari Indonesia, Sedangkan Papua New Guinea disamping merupakan sebuah negara yang berbatasan dengan ujung timur kartografis negara Indonesia, PNG juga memiliki hubungan pertalian etnis yang sangat kuat dengan penduduk asli masyarakat Papua.
PNG adalah negara satelitnya para aktivis politik Organisasi Papua Merdeka baik disayap diplomasi maupun sayap militer TPN (Tentara Pembebasan Nasional). Dimana wilayah perbatasan dijadikan garis terdepan (
front liner) para aktivis menuju daerah sasarannya maupun juga
front liner menuju tempat proteksi. PNG didukung oleh Australia juga memberikan publisitas internasional bagi perjuangan Papua Barat, melalui masalah-masalah; pelintas batas, penyanderaan, pengungsian, gerilya dll. Maka secara geopolitik PNG memiliki posisi yang strategis bagi labilitas integrasi bangsa ini.
Harus dipahami pula bahwa PNG merupakan salah satu negara yang paling besar dan terluas di kawasan Pasifik Selatan, baik jumlah penduduk, perekonomian, pertahanan keamanan juga memiliki sumber daya alam yang berlimpah ruah.
Namun demikian secara ekonomi PNG dan Indonesia belum dapat berpengaruh dan pendapatan negaranya tidak ada signifansi dalam APBN Indonesia. Demi stabilitas politik itulah maka ada kecendrungan dari pihak Depatemen Luara Negeri RI dan Dephankam membuka kasat mata ke PNG dan Kawasan Pasifik Selatan dalam intensifikasi diplomasi dan intelijennya.
Yang menjadi persoalannya adalah sejauh mana suksesnya dari upaya yang dibangun oleh Deplu, apakah PNG telah menerima bujukan Indonesia? Dimanakah posisi PNG dan bagaimana realisasi hubungan diplomatik PNG-Indonesia selama ini? Dan bagaimana dampak positif dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke PNG?.
Papua Dibingkai Melanesia: Marape “Joko Widodo Asian Leader, Me Pasific Leader”. Mungkin dalam surat kabar Indonesia tidak muncul namun jika baca media berbahasa Inggris sebenarnya kata-kata Perdana Menteri Marape adalah batas demarkasi secara tegas tentang posisi Papua sebagai rumpun Melanesia dan Indonesia (minus Papua) sebagai Asia.
Namun Sikap politik cukup dilematis bagi Australia dan PNG saat ini, sebagai sebuah negara modern dan terdepan di kawasan Pasifik Selatan. Mereka berdiplomasi untuk mempertahankan keharmonisan hubungan dengan Indonesia. Disamping memperoleh keuntungan bagi negara dan menjaga stabilitas kawasan, suara kedua negara inipun berpengaruh dan mencerminkan representasi kawasan Pasifik Selatan baik di forum PBB maupun forum internasional lainnya. Tetapi pertimbangan sosial kultur juga amat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan baik di Departemen Luar Negeri (
ekternal security) maupun kebijakan dalam negeri termasuk soal ketertibaan negara (
internal order).
Bagi pemerintah PNG, mereka sadar bahwa mereka adalah orang Melanesia yang terdiri dari Kep, Bismark, Salomon, Santa Cruz, New Hebriden, Fiji, Luasiade dan New Carolina karena itu dapat disebut juga "Kawasan Air" (
aquatic zone) dan orang Melanesoid yang hidup di Pulau Papua dalam kapasitasnya sebagai penduduk terbanyak dan pulau terbesar di antara kepulauan Melanesia.
Mereka adalah sebagai kesatuan individu yang memiliki rasa saling atas dasar ikatan budaya. Biasanya kombinasi agama, bahasa, ras, adat istiadat dan suatu perasaan demi nenek moyang yang sama. Kesamaan itu diakui pula oleh seorang Teolog PNG Simeon Samunu bahwa cara-cara hidup tradisional masyarakat Melanesia berkisar sekitar dunia roh, kehidupan sosial, emosi, pendidikan, politik dan religi didasarkan atas sikap serta perasaan dan kepercayaannya terhadap roh-roh, di dalam tradisi ini membentuk atau mempengaruhi dan mengendalikan arah tingka laku masyarakat (
Sprits in Melanesia and Sprits in Cristianity, Giay, 1996).
Pertalian etnis Papua-Melanesoid antara orang Papua Barat sebagai Melanesia nampak dalam ungkapan-ungkatan tertentu, misalnya rakyat PNG sering menyapa kepada orang Papua dengan sebutan
Wantok sebuah sapaan yang diberikan oleh orang PNG kepada orang yang dianggap saudara terdekatnya. Ada istilah lain di kawasan itu yang menyatukan mereka misalnya
Vaka i Taukei yang berarti "cara hidup orang Fiji", kalau di Samoa di sebut Fa'a Samoa artinya "dunia orang Samoa". Istilah-istilah ini menunjukan sikap komunal dan kebersamaan mereka yang disebut
"The Melanesian Way" atau "Pasific Way" . Di PNG perjuangan OPM ini mendapat simpati karena beberapa hal:
Pertama, ada ikatan kebersamaan etnis yang sangat kuat sebagai orang Melanesoid. Kedua di PNG terdapat ribuan orang yang sudah terlebih dahulu lari dan menjadi warga negara PNG serta menduduki posisi strategis di pemerintahan pusat
Port Moresby sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah demi kepentingan tanah leluhur mereka
Ketiga, pihak oposisi di parlemen PNG yang dulu tahun 1980-an dimotori oleh Iambkey Okuk dan Ted Diro mantan Panglima AB PNG memberikan tekanan dengan berbagai tuduhan kepada para penguasa untuk menarik simpati dan suara dari para masyarakat di kawasan perbatasan pada pemilihan umum misalnya yang dilakukan oleh Jhon Tek Wie Gubernur Sandaun Province yang juga anggota Parlemen PNG. Demikian pada saat ini Gubernur Metropolitan
Port Moresby ikut memberi dukungan atas perjuangan Papua Merdeka.
Dalam kondisi ini, PNG berada pada posisi yang dilematis, keberpihakan pada Indonesia musti meninggalkan saudaranya (moyangnya) yang telah lama terjalin tali persahabatan mereka. Begitu pula menempatkan kepentingan pertalian etnis dengan meninggalkan stabilitas kawasan menjadi tantangan utama bagi negaranya.
Karena itu netralitas politik luar negeri sangat dibutuhkan, namun sebagai negara dominiun Australia, PNG tidak dengan otoritas menentukan misi yang jelas dan tegas dalam politik luar negeri mereka. Australia sebagai kulit putihnya ada muatan-muatan politik yang seringkali menggoncangkan Indonesia membuat Indonesia mesti memandang Papua New Guinea dengan profil politik yang sama.
Karena itu yang paling penting adalah bagaimana menentukan formula yang tepat, cemat dan menentu untuk mencari alternatif penyelesaiannya, bukan memaki-maki dengan sikap yang emosional yang justru memperburuk hubungan diplomatik kedua negara, seperti yang di lakukan ketika kedatangan Jhon Howard atau juga kata-kata rasis yang ditujukkan kepada Perdana Menteri Marape dan rombongan Ketika kunjungan Kenegaraan ke Indonesia tahun 2022.
Marape Jenius Berubahnya visi perjuangan OPM dari konfrontatif dan gerilya ke politik diplomasi seperti yang dirintis dan dimainkan awal tahun 2000 oleh Thom Beanal dan Theys Eluay (almarhum) serta Presidium Dewan Papua lainnya ini, dalam 2000-2014 PNG kurang berpengaruh bagi perjuangan Papua Bagian Barat.
Sebab pengaruh PNG selama ini adalah seputar perlindungan terhadap pelarian politik, para pengungsi politik, aktivitas gerilya, latihan militer, penyanderaan yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari profil perjuangan orang Papua pada masa silam. Berubahnya model perjuangan OPM yang semula dari hutan ke kota dengan cara berdiplomasi lewat kampanye HAM dan gugatan atas keganjilan integrasi politik (pelurusan sejarah politik) kelihatannya mendapat simpati, baik dari negara-negara lain maupun juga lembaga-lembaga internasional yang bergerak masalah hak asasi manusia, termasuk lembaga lembaga keagamaan dunia.
Namun sejak 2014 dan terlebih sejak Marape menjadi Perdana Menteri Papua New Guinea diplomasi yang dimainkannya sedikit menggoncang sanubasi politisi, pengamat militer dan pertahanan di Indonesia. Apalagi Marape dalam Sidang Umum PBB di New York dalam pidatonya menyatakan bahwa “kami memiliki masalah keluarga kami yang ada di sebelah barat di wilayah perbatasan negara kami”.
Pernyataan Marape tersebut bukan tanpa akar dan alasan tetapi mengerti betul persoalan Papua Barat termasuk berbagai pelanggaran HAM dan deployment militer secara berlebihan di Papua akhir-akhir ini. Oleh karena itu semula Joko Widodo menganggap PNG bukan apa-apa dan siapa-siapa tetapi dengan kunjungan Jokowi baru baru ini mengindikasikan bahwa dimasa yang akan datang PNG akan memainkan peran penting baik di kawasan Pasifik Selatan, Indo Pasifik juga soal Papua yang akan menjadi ancaman perubahan kartografi Indonesia.
Bagaimana tidak mungkin kehadiran militer Amerika di
Port Moresby telah membentuk segitiga triangle Darwin di Selatan, Philipina/Okinawa di Utara dan
Port Moresby di Timur terlihat semacam membentengi Papua.
Hubungan Diplomatik Yang Tak Menentu Kenyataan menunjukan bahwa hubungan diplomatik Indonesia dan Australia/PNG hingga kini masih tidak menentu, hal ini disebabkan oleh berbagai peristiwa yang terjadi secara sporadis maupun bersama di wilayah perbatasan. Peristiwa besar dengan memberikan gaung internasional bagi OPM terjadi di tahun 1984, ketika pelarian besar-besaran warga masyarakat Irian ke wilayah PNG. Pada bulan Desember 1984 sebanyak 7640 dari wilayah perbatasan bagian selatan sedangkan dari daerah utara sebanyak 3360 orang. Mereka ditampung di kamp-kamp pengungsi di Vanimo.
Ada upaya dari Departemen Luar Negeri kedua negara untuk menyelesaikan ketidakpahaman ini dengan beberapa kali mengdakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri kedua negara Prof Mochtar Kusumaatmaja dan Rabie Namaliu di Jakarta, tahun 1984 sesudah itu dilanjutkan dengan pertemuan intersif antar kedua negara, dengan menagadakan
Border Liaision Meeting (BLM) yang diadakan setiap tahun secara bergantian.
Konflik selubung antara Indonesia dan PNG ini berlanjut terus, sehingga untuk menyelesaikan secara tuntas sehingga tahun 1986 mengagas upaya penyelesaian masalah-masalah keamanan maka Jendral Benny Meoerdani dan Jendral Toni Huai mengadakan pertemuan di Jayapura. Hasilnya mengambil garis keras terhadap para aktivis Organisasi Papua Merdeka.
Kemudian pertemuan dengan hal yang sama dilanjutkan di Jakarta anata kedua Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja dan Levu Vagi, menghasilkan
Treaty of Mutual Respect, sesudah itu hubungan kedua negara mulai membaik, mulai memulangkan para pelintas batas dan pengungsi itu dengan prosedur yang normal.
Walaupun demikian apakah persoalannya usai? Tentu ada sekat-sekat konflik tetap timbul sebab para aktivis politik OPM selalu dilindungi demi keselamatan mereka sebab Indonesia telah memberikan stigma sebagai kelompok kriminal.
Walaupun hingga tahun 1992 hubungan Indonesia dan PNG dianggap baik yang ditandai dengan penandatanganan beberapa perjanjian seperti
Treaty of Mutual Respect and Cooporation dan Status of Force Agreement (SOFA). Namun persoalan di wilayah perbatasan belum kunjung usai, para aktivis OPM terutama sayap militer leluasa gerilya di wilayah perbatasan.
Medan yang cukup berat dan persediaan dana dan yang terbatas dan teknologi yang kurang memadai di Papua New Guinea membuat para militer sulit melacak keberadaan mereka. Adanya pro dan kontra bagi para penentu kebijakan dalam menyikapi keberadaan OPM di PNG mengakhibatkan tiadanya keputusan yang tegas dan dimungkinkan persoalan ini berlanjut terus dikemudian hari.
Adanya misi moril Australia dan PNG untuk membebaskan wilayah-wilayah di kawasan Pasifik Selatan sesuai dengan tujuan pembentukan South Pasific Comission (SPC) Forum Pasifik Selatan yang saat ini dikenal dengan nama Melanesian Spreadhead Group (MSG). Disini kita mesti memahami bahwa Papua Bagian Barat merupakan wilayah yang termasuk dalam Kawasan Pasifik Selatan, hingga kini hanyalah Papua Barat dan bererapa wilayah yang masih merupakan daerah koloni.
Misalnya Polinesia Perancis, Willis & Futuna dan Kaledonia Baru, masih merupakan wilayah seberang lautan (
Frenc Overseas Territories), sementara Samoa Amerika, Guam dan Mariana Utara, Rep. Palau merupakan
Commonwealth of the US, Tokelau dengan Selandian Baru, Pitcairn dengan Inggris dan Norfolk dengan Australia. Dan sesuai dengan perjanjian South Pasific Commision 1947, Papua masih dihitung sebagai daerah koloni Indonesia.
PNG masih terkait dengan imajinasi kartografis kawasan melanin dengan konsep segitiga "Triangle" yakni
Port Numbay (nama lain Jayapura),
Port Moresby ibukota PNG dan
Port Villa ibu kota Vanuatu yang disebut "Micro Melanesia".
Karena itu PNG dan disokong oleh Australia kini berada pada posisi yang dilematis. Meskipun Departeman Luar Negeri bisa mamahami kebijakan Luar Negeri Australia maupun juga PNG secara cermat, namun persoalan tidak akan berkesudahan kalau tidak disertai dengan pemahaman terhadap Pandangan hidup orang Melanesia (
the Melanesian Way), Religi Melanesia (
Cargoistic Ideas), Kebudayaan Melanesia (
Melanesian Culture), Demokrasi bergaya Melanesia (
The Melanesian Political Way) yang hampir mirip dari Sorong ujung Barat hingga ujung timur kepulauan Papua ini.
Pada akhirnya saya sarankan, tetap bersuara dan tetap anjurkan agar Indonesia mesti membuka diri untuk dialog yang bermartabat dan demokratis untuk mencari penyelesaian masalah Papua Barat.
BERITA TERKAIT: