Semua perokok tahu nikotin yang terdapat dalam tembakau itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Maka mengingatkan perokok dengan alasan rokok itu berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian, seperti ditulis di bungkus-bungkus rokok, benar-benar sia-sia.
Bahkan bila kita terlalu banyak ngingatkan, seorang perokok bisa membalas secara lebih meyakinkan dan (seolah) ilmiah bahwa merokok itu tidak masalah bagi kesehatan, dan membantu meningkatkan pendapatan pajak, dll.
Pasti bukan sebab sebagian besar kiai NU (Nahdlatul Ulama) perokok, dan bukan juga karena basis terbesar NU ada di Jawa Timur, tempat pabrik-pabrik rokok besar berada, dan di Jawa Tengah, yang banyak petani tembakaunya, bila karakter tokoh-tokoh NU seperti perokok bila dikaitkan dalam konteks kedekatannya dengan rezim penguasa.
Pada pertengahan tahun 1960-an, misalnya. Ketika rezim Sukarno kian bengis dan otoriter, NU masuk dalam kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).
Demikian pula saat rezim orde baru menggunakan Pancasila sebagai alat penekan kelompok yang berseberangan, NU secara cepat menerimanya sebagai asas tunggal.
Sekarang, ketika penguasa banyak meninggalkan janji dan kian marak melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), NU tampak menjadi bagian dari kekuasaan. Bahkan pimpinan tertinggi NU, KH Said Agil Siradj, merasa nyaman ditempatkan di posisi pimpinan salah satu BUMN, yang secara politik kastanya jauh di bawah menteri kabinet.
Kesadaran PerokokApabila orang di luar (komunitas) NU mempertanyakan langkah mereka bersama pemerintah, niscaya akan menggelontor sejumlah dalil (keagamaan) yang bisa melegitimasinya.
Kita bisa maklum, karena di NU memang banyak ahli ilmu fiqih yang sangat paham bagaimana idealnya hubungan antara
umaro (penguasa) dengan ulama dan umat.
Bahkan dalam kepemimpinan, acuannya
Tasharruf al-Imam ala ar-ra’iyah manuthun bi al-maslahah (setiap tindakan dan kebijakan seorang pemimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya).
Namun di sisi lain, banyak ulama NU mengikuti pikiran ahli fiqih terkemuka Ibnu Taimiyah yang meyakini bahwa “60 tahun berada di bawah penguasa zalim lebih baik daripada satu malam tanpa penguasa..!â€
Akan tetapi sebagaimana perokok yang bisa secara mengejutkan (mungkin setelah terkena serangan jantung atau sebab lain) meninggalkan kebiasaan merokok, begitu juga hubungan NU dengan rezim penguasa.
Tidak pernah ada yang menduga bahwa pada 1966/1967 itu NU dengan Banser-nya menjadi kekuatan sipil yang berada di garda terdepan dalam memberangus PKI, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Demikian juga perlawanan terhadap orde baru secara sistematis dan terstruktur dilakukan oleh NU dengan kepemimpinan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Semua orang tahu ketika itu PBNU merupakan payung utama gerakan sipil melawan orde baru. Mulai dari aktivis lingkungan, HAM hingga kelompok pro-demokrasi.
Kekuatan Tanpa AmbisiKenapa Gus Dur menggunakan NU, baik secara langsung maupun tidak, dalam manuver politiknya?
Gus Dur sangat paham bahwa NU adalah kekuatan civil society besar yang senantiasa tidur. Maka ia bangunkan. Dibawa keluar dari kamar sempit partai politik (PPP). Disuntik “ambisi†mengeluarkan bangsa ini dari kemiskinan, kebodohan, dan sejumlah ketertinggalan dari bangsa lain.
Sayang ambisi besar Gus Dur meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia tidak didukung Megawati, pasangannya di pemerintahan yang memiliki kekuatan besar di parlemen (PDIP). Bahkan tidak sedikit juga tokoh NU yang diam-diam berada di kubu lain.
Pasca Gus Dur memang tidak ada lagi pemimpin NU yang memiliki ambisi meningkatkan harkat dan martabat bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Indonesia.
Para pimpinan NU hari-hari ini merasa sudah cukup berjuang keras karena bisa menjaga eksistensi (kepengurusan) PBNU sebagai ormas keagamaan tua dan terbesar di Indonesia.
Semangat “mempertahankan eksistensi pengurus PBNU inilah yang kini sedang dipertahankan para kandidat pimpinan PBNU di Muktamar PBNU ke-34 di Lampung.
Tentu saja mereka paham apa saja yang bisa dilakukan NU demi kemaslahatan bangsa yang sedang terpuruk di semua sektor ini.
Tentu saja kita berharap dalam muktamar kali ini NU tidak jadi seperti perokok yang setelah terkena serangan jantung baru meninggalkan kebiasaan merokok, karena
recovery untuk itu memakan waktu dan biaya tinggi.
Sayang organisasi besar jika tidak memilki ambisi untuk mengentaskan bangsa ini dari keterpurukan yang sudah menahun.
Kalau saja KH As’ad Said Ali secara ajaib di Muktamar Lampung ini ditakdirkan memimpin PBNU, tulisan ini hanya akan menjadi seperti bunga liar di luar pagar.
Penulis adalah anggota tim pemenangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Muktamar PBNU ke-31, Boyolali, Jawa Tengah, 2004
BERITA TERKAIT: